Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Jumat, 10 Mei 2024

Fitnah Keji Wahabi Nashibi: Syiah Pinjamkan Anak Perempuan Untuk Disetubuhi



 

Fitnah Pertama

Beberapa waktu lalu seorang Wahabi Nashibi dengan percaya diri meng-copy paste tulisan para Nashibi lainnya seperti di bawah ini, dengan alasan ia mengutip dari al-Kafi:

“Muhammad Ibnu Mudharrib berkata: "Berkata kepadaku Abu Abdullah: “Hai Muhammad, ambillah putri ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku.” (Furu al-Kafi hlm. 200).

Sepintas orang yang membaca akan tercengang dengan fitnah yang sangat keji ini, orang awam seperti saya akan kaget membaca apa yang dia bawakan, dan sebagian orang mungkin akan mengatakan, “Jadi seperti ini Syiah, mengahalalkan anak perempuan untuk disetubuhi orang lain, pantas aja sesat..!”

Sekarang saatnya kita bongkar satu persatu fitnah Nashibi tersebut, dengan membawakan teks asli dari al-Kafi. Saya akan mengutip dari Al-Kafi jilid 5 halaman 470 (Darul Kitab Islamiyah) dan teks aslinya ada dalam bab, “Seorang laki-laki boleh menghalalkan budak wanitanya untuk saudaranya, dan seorang wanita boleh menghalalkan budak wanitanya untuk suaminya.”:

 باب الرَّجُلُ يُحِلُّ جَارِيَتَهُ لِأَخِيهِ وَ الْمَرْأَةُ تُحِلُّ جَارِيَتَهَا لِزَوْجِهَا وَ بِإِسْنَادِهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُضَارِبٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) يَا مُحَمَّدُ خُذْ هَذِهِ الْجَارِيَةَ إِلَيْكَ تَخْدُمُكَ فَإِذَا خَرَجْتَ فَرُدَّهَا إِلَيْنَا

Dengan sanad sampai kepada Muhammad Ibnu Mudharib, yang berkata, “Berkata Abu Abdillah (as), “Wahai Muhammad ambillah jariyah (budak wanita) ini untuk melayanimu dan untuk kamu setubuhi. Maka bila kamu telah selesai menyetubuhinya, kembalikan dia kepadaku." (Teks yang sama juga terdapat dalam “Al-Istibshar”, jilid 3, hlm. 136, riwayat no. 488). Si Nashibi tersebut telah melakukan kebohongan besar dan fitnah yang keji, dengan menerjemahkan kata “jariyah” sebagai “putri”, padahal seharusnya “budak wanita".

Catatan: Al-Kafi jilid 5 sama dengan Furu’ al-Kafi jilid 3.

Fitnah Kedua

Lagi, si Nashibi tersebut membawa copy paste tangan-tangan Nashibi lainnya seperti di bawah ini:

"Abu Ja’far Muhammad Ibnu Hasan At-Thusi menyebutkan dari Muhammad bin Muslim dari Abu Ja’far, ia berkata, “Aku tanyakan kepadanya, “Halalkah laki-laki meminjamkan pada temannya tubuh putrinya untuk disetubuhi?” 

Jawabnya:

“Boleh". Bahwa halal bagi dia sebagaimana halal bagi temannya meminjamkan kemaluan putrinya untuk disetubuhi." (Al-Istibshar, Juz III, hal. 136).

Mari kita lihat kalimat/tesk asli dari Al-Istibshar jilid 3, halaman 136, riwayat 487:

عنه عن جعفر بن محمد بن حكيم عن كرام بن عمرو عن محمد بن مسلم عن أبي جعفر(ع) قال قلت له الرجل يحل لاخيه فرج جاريته قال: نعم لا بأس به له ما أحل له منها.

Al-Thusi meriwayatkan dari jalur Muhammad bin Muslim, dari Abu Ja’far as, “Aku bertanya kepada beliau, “Apakah boleh seseorang menghalalkan (menjadikan halal) kemaluan budak wanita (jariyah)-nya bagi saudaranya?” Beliau menjawab, “Ya, tidak masalah. Hal itu halal bagi saudaranya, sebagaimana halalnya ia terhadap budak wanitanya.” (Al-Istibshar, jilid 3, hlm. 136, riwayat no. 487).

Sekali lagi Si Nashibi tersebut melakukan kebohongan besar mengartikan Kata “jariyah” sebagai “putri” dan seharusnya “jariyah” berarti “budak wanita”, dan tidak ada kata “meminjamkan”, yang ada adalah “menghalalkan”.

Catatan:

1. Al-Kafi jilid 5 sama dengan Furu’ al Kafi jilid 3.

2. Kesimpulannya adalah Nashibi tersebut telah berbohong dan memfitnah Syiah dengan merubah kata “jariyah” yang berarti “budak wanita” menjadi “putri” (anak kandung perempuan).

Halal Dengan Pernikahan

Dalam Tahdib al-Ahkam (jilid 7 hlm. 244) tercatat ucapan Imam Musa Al-Kadzim (as) ketika ditanya mengenai Budak Wanita:

"Ali bin Yaqtin meriwayatkan, Abu al Hasan (as) ditanya mengenai budak. Apakah diperbolehkan berhubungan intim dengan budak wanita tanpa pernikahan dimana pemilik (pemilik budak tsb) menghalalkan baginnya (utk org lain): Imam (as) menjawab, “Tidak diperbolehkan baginya” (tanpa pernikahan)." 

Catatan:

Allamah Hilli dalam Mukhtalaf al-Syiah jilid 7 hlm. 275, Syaikh Jawahiri dalam Jawahir al-Kalam jilid 30 hlm. 231, Sayyid Khu’i dalam kitab al-Nikah jilid 2 hlm. 119, menyatakan riwayat di atas shahih.

يجوز للرجل أن يبيح مملوكته لغيره على معنى أنه يعقد عليها عقد النكاح الذي الذي فيه معنى الإباحة ، ولا يقتضي ذلك أن النكاح ينعقد بلفظ الإباحة

“Diperbolehkan untuk seseorang laki-laki menghalalkan budak wanitanya untuk orang lain, dengan arti (org lain tsb) melakukan pernikahan untuk menjadikannya halal untuknya. Dan tidak cukup menghalalkannya hanya dengan mengucap kata "Halal." (Referensi: Syarif Murtadha dalam Al-Intisar hlm. 281, Syaikh Mufid dalam al-Muqana:

“Jika seorang laki-laki menikahkan budak wanitanya dengan orang bebas (merdeka) atau budak, maka dilarang baginya (pemilik yang menikahkan budak tsb) untuk melakukan hubungan intim dengannya.” (Refefensi: Al-Muqana hlm. 543).

Masih banyak riwayat yang menjelasakan mengenai keharusan menikahkan budak wanita yang ia miliki jika ingin menjadikannya halal bagi orang lain, namun riwayat di atas tsb sudah cukup jelas.

“Dari Ruwaifi Al-Anshariy –ia berdiri di hadapan kita berkhuthbah- ia berkata, “Adapun sesungguhnya aku tidak mengatakan kepada kamu kecuali apa-apa yang aku dengan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan pada hari Hunain, beliau bersabda, “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air (maninya) ke tanaman orang lain (menyetubuhi wanita yang sedang hamil) dan tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyetubuhi wanita dari tawanan perang sampai perempuan itu bersih (catatan: versi syi’ah artinya sah menjadi istrinya). Dan tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menjual harta rampasan perang sampai dibagikan. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia menaiki kendaraan dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila binatang tersebut telah lemah ia baru mengembalikannya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia memakai pakaian dari harta fa’i kaum muslimin sehingga apabila pakaian tersebut telah rusak ia baru megembalikannya.” (HR. Abu Dawud (no. 2158 dan 2150) dan Ahmad (4/108-109), sanad Hasan).

“Meminjamkan” atau “Menjadikan Halal” (Yu’hillu)?

Perlu diketahui bahwa dalam Syiah, hanya dengan “meminjamkan al-furuj” (budak wanita) kepada orang lain dan hanya mengatakan “halal” (lalu keduanya melakukan hubungan intim) tanpa ada pernikahan, maka hal tersebut adalah haram. Jadi Pengertian yang benar adalah “Menjadikannya halal dengan cara Pernikahan”.

Syarif Murthadha mencatat dalam Al-Intisar hlm. 208, “Apa yang telah digunakan untuk memfitnah Imamiyah adalah (klaim) bahwa mereka membolehkan peminjaman kemaluan (I’arat al-furuj) dan “kemaluan” dapat sah atas nama pinjaman.”

“Menurut penelitian dalam hal ini, kami tidak menemukan ahli hukum (fiqih) yang membolehkannya ataupun mereka menulis tentangnya (diperbolehkannya hal tsb) dalam kitab manapun."

Lebih lanjut:

“Tidak diperbolehkan meminjamkan budak wanita untuk kepentingan seksual."


Referensi: 

1. Allamah al-Hili dalam Al-Tadkira, jilid 2 hlm. 210.

2. Muhaqiq al-Kurki dalam Jami’ al-Maqasid, jilid 6 hlm. 62.

3. Ali Asghar Mirwarid dalam Yanabi al-Fiqya, jilid 17 hlm. 87. Syaikh Thusi dalam al-Mabsut, jilid 3 hlm,. 57 menyatakan, “Tidak diperbolehkan meminjamkan (budak wanita) untuk tujuan “kenikmatan”, karena hubungan intim tidak sah melalui peminjaman”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar