Menurut Kantor Berita ABNA, Ketua Umum Majelis Ukhuwah Sunni-Syiah Indonesia [MUHSIN], Dr. H. Daud Poliraja dalam penyampaiannya ketika ditemui disela-sela kunjungannya selama berada di Qom, Republik Islam Iran menyebutkan, alasan paling utama yang mendasarinya turut terlibat dalam pembentukan MUHSIN adalah memenuhi seruan Al-Qur’an yang meminta umat Islam untuk menjalin ukhuwah dan persaudaraan Islam. “Itu adalah perintah Al-Qur’an yang tegas, dan saya mewakafkan diri didalam menjalankan perintah ini,” ungkapnya.
“Dalam kunjungan ini, saya lihat dengan mata kepala sendiri, apa yang selama ini dituduhkan terhadap Iran dan Syiah adalah dusta besar. Dan karena dusta besar, maka dosanya juga besar,” tambahnya lagi.
“Sebelum ke Iran pun saya sudah meyakini, bahwa Syiah tetap bagian dari Islam, karena Tuhan, Nabi, kiblat dan kitabnya dengan umat Islam yang lain tetap sama. Karenanya, mengapa saya memilih jalan untuk mengupayakan persatuan umat dan ukhuwah Islamiyah ini? Karena memang itu adalah perintan agama. Tidak sedikit yang menentang saya, terutama diawal-awal saya membentuk MUHSIN, tapi mereka tetap tidak punya hujjah kuat untuk menghalangi saya. Saya hanya mengajukan pertanyaan sederhana, niat saya kan mempersatukan ummat, apakah itu saya menentang agama?. Dan karena pada AD/ART Dewan Masjid, organisasi yang juga saya geluti itu memiliki poin tegas yang menyebutkan masjid harus menjadi tempat pemersatu ummat, maka tentu tindakan saya juga tidak bertentangan dengan aturan organisasi. Atau memang Islam ini tidak mengajarkan ukhuwah?”, jelas tokoh Islam yang juga menjabat sebagai ketua Dewan Masjid DKI Jakarta tersebut.
Daud Poliraja dalam pernyataannya selanjutnya menolak dakwaan sebagian kelompok yang menyebutkan, Syiah berpura-pura menyerukan persatuan karena mereka saat ini minoritas, namun ketika menjadi mayoritas mereka akan menzalimi pengikut mazhab lain. Ia mengatakan, “Justru yang terjadi sebaliknya, Syiah sepanjang sejarah menjadi kelompok yang terzalimi. Di Iran, Syiah yang menjadi kelompok mayoritas tidak pernah kita mendengar mereka menzalimi kelompok Sunni. Yang ada justru Iran menjadi bangsa terdepan yang membela, Palestina padahal mayoritas Palestina itu Sunni. Negara-negara di Timur Tengah yang menjadi backing AS justru Negara-negara mayoritas berpenduduk Sunni. Ini bukti yang tidak terbantahkan, tapi kita tidak pernah melihat itu. Kita lebih disibukkan dengan isu-isu perselisihan. Padahal sekiranya, umat Islam ini bersatu, maka insya Allah akan menjadi kekuatan digdaya yang luar biasa.”
Untuk menjawab tudingan Syiah bukan Islam, karenanya tidak diperlukan adanya ajakan ukhuwah untuk mereka, Daud Poliraja mengatakan, “Justru pernyataan Syiah itu sesat dan kafir itulah yang sesat. Syiah diakui kok di dunia Islam. Mereka menunaikan ibadah haji ke Mekah. Warga Iran yang mayoritas Syiah menamakan Negara mereka Republik Islam Iran, dan tidak ada yang memprotes itu. Karena masih sesama muslim, maka wajib untuk menjalin ukhuwah dengan mereka.”
Ketika ditanyakan, bahwa upaya-upaya kelompok yang gencar mengkampanyekan gerakan anti Syiah justru mengklaim diri sebagai pejuang agama dan penegak syariat, Daud Poliraja menanggapinya dengan mengatakan, “Untuk melihat itu perjuangan atau bukan, lihat apa di dalamnya yang ada unsur akhlak atau unsur amarah. Jika yang mendominasi adalah unsur amarah dibanding akhlak, lebih baik mengaji dulu, jangan berjuang dulu. Pejuang itu dilihat dari kegigihannya untuk lebih mengedepankan akhlak dari amarah dalam perjuangannya. Jika yang lebih dikedepankan adalah amarah, emosional dan arogansi, maka dia tidak pantas disebut pejuang agama, harusnya dia mengurusi diri sendiri dulu untuk berjuang menang atas kendali hawa nafsunya. Berjuang untuk agama ini terlalu besar. Untuk berjuang bisa mengalahkan diri sendiri dulu belum bisa, kok mengaku-ngaku sebagai pejuang agama? Kita bisa banyak belajar dari Sayyidina Ali. Ketika beliau hendak membunuh musuhnya yang sudah tidak berdaya, namun wajahnya diludahi, ia tidak melanjutkan tindakannya. Ia tinggalkan musuh itu, karena khawatir niatnya membunuh bukan karena perjuangannya menegakkan agama, tapi karena amarah. Itu yang disebut pejuang, itu akhlak. Bukan mereka yang meledak-ledakkan kemarahannya dengan mengumpat kelompok lain sesat dan kafir hanya karena berbeda.”
“Saya selalu mengatakan kepada mereka yang selalu mengakui diri sebagai pejuang. Bahwa pejuang Islam itu tidak mengaku, tapi diakui. Rasulullah itu tidak pernah mengakui diri sebagai al-Amin, tapi orang-oranglah yang memberikan sendiri pengakuan akan kejujuran Rasulullah. Berjuang itu bukan merasa tapi dirasa. Nabi Saw tidak pernah merasa diri sebagai al-Hamid, tapi ia dirasakan oleh orang-orang bahwa betapa terpujinya akhlak beliau,” lanjutnya.
Dipenghujung pembicaraannya ketika diminta menyampaikan pesan untuk rakyat Indonesia, mengenai pentingnya ukhuwah Islamiyah, mantan Panglima Pam Swakarsa tersebut mengatakan, “Sederhana sekali, kalau masyarakat Indonesia betul syahadatnya, maka pasti lebih mengedepankan akhlak dan lebih membutuhkan ukhuwah. Jika ada yang lebih mempersoalkan perbedaan mazhab dari pada ajakan untuk lebih mengedepankan ukhuwah, maka kepada mereka saya nasehatkan, perbanyak istighfar dan perbanyaklah memperdalam ilmu agama.”
Dr. H. Daud Poliraja sedang berada di Iran [22-29/9] dalam rangka memenuhi undangan Lembaga Internasional Pendekatan antar Mazhab Islam [Majma Jahani Taqrib Mazahib Islami] beserta sejumlah ulama Indonesia lainnya. Pada hari pertama kunjungannya, ia menjadi salah satu pembicara dalam Dialog antar Mazhab di Auditorium Pazyuhesgah Taqrib Qom, Republik Islam Iran selasa [22/9] dengan membawakan makalah “Peran Masjid dalam Membangun Ukhuwah Islamiyah”. Turut hadir selaku pembicara dalam acara dialog tersebut, Ayatullah Dr. Muhsin Araki [Ketua Lembaga Pendekatan antar Mazhab], K.H. Dr. Mustamin Arsyad [Ketua Umum MUI Makassar], dan KH. Mudrik Al-Qari [Pimpinan Pondok Pesantren al-Ittifaqiyah Palembang].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar