Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Minggu, 26 Mei 2024

Sejarah Munculnya "Hadist Sepuluh Sahabat Masuk Surga"

 


 Referensi: O. Hashem, Saqifah - Suksesi Sepeninggal Rasulullah Saw - Awal Perselisihan Umat, hlm. 51-53, penerbit YAPI, cetakan III, Agustus 1994.

 

Hadist ini menyangkut sepuluh orang yang telah dinyatakan akan masuk surga (sepuluh yang mendapat kabar gembira masuk surga), yang dilaporkan oleh Sa’îd bin Zaid, ipar Umar bin Khaththâb, di zaman Mu’âwiyah.  Baiklah kita ikuti riwayat munculnya hadist ini di zaman “pengucilan” Alî bin Abî Thâlib ini.

Sa’îd meninggal dunia tahun 51 H, 671 M. Di tahun itu juga Mu’âwiyah membunuh Hujur bin Adî bersama dua belas kawan-kawannya. Ibnu Atsîr meriwayatkan bahwa pemulanya ialah Mughîrah bin Syu’bah, gubernur yang diangkat Mu’âwiyah di Kûfah, melaknat Alî dan Hujur membantahnya.

Pada tahun 40 H, 660 M, Mughîrah bin Syu’bah digantikan oleh Ziyâd bin Abih yang mengejar dan menganiaya siapa saja yang tidak mau mencerca Alî bin Abî Thâlib.

Hadist ini timbul pada masa itu, dengan lafal: “Pada suatu ketika, di masjid (Kûfah), seseorang telah menyebut (melaknat, pen.) Alî bin Abî Thâlib. Maka berdirilah Sa’îd bin Zaid seraya berkata: “Aku bersaksi dengan nama Rasûl Allâh Saw. Bahwa sesungguhnya aku mendengar beliau bersabda, “Sepuluh orang masuk surga: Nabî, Abû Bakar, Umar, Utsmân, Alî, Thalhah, Zubair, Sa’d bin Abî Waqqâsh dan Abdurrahmân bin Auf.

Kemudian orang bertanya, “Siapa yang kesepuluh?” Setelah ditanyakan berkali-kali, Sa’îd bin Zaid menjawab, “Aku”.

Dalam lafal yang lain, nama Abû Ubaidah bin al-Jarrâh disebut, sedang Nabî tidak dimasukkan.[1]

Dalam kemelut seperti itu, “Sa’îd bin Zaid” telah bertindak sangat berani. Orang-orang yang disebut oleh Sa’îd bin Zaid sudah tepat. Abû Bakar, Umar dan Abû Ubaidah pernah bergesekan dengan Alî, mengepung dan hendak membakar rumah “penghulu wanita mu’minîn” Fâthimah, meskipun Fâthimah ada di dalam, sebagaimana nanti akan terbaca dalam peristiwa Saqîfah. Utsmân adalah dari marga Umayyah, marganya Mu’âwiyah. Thalhah dan Zubair memerangi Alî dalam perang Jamal. Alî menyebut mereka sebagai kelompok Nâkitsin, yaitu kelompok yang membatalkan baiat, karena mereka berdua merupakan orang-orang pertama yang membaiat Alî, tetapi kemudian berbalik memeranginya. Sa’d bin Abî Waqqâsh tidak mau membaiat Alî setelah Utsmân meninggal dunia. Abdurrahmân bin Auf, meskipun kemudian menyesal, pernah mengancam akan membunuh Alî dengan pedang bila Alî tidak membaiat Utsmân dalam Syurâ yang dibentuk oleh Umar.

Dengan cerdiknya, Sa’îd memasukkan nama Alî untuk mencegah para penguasa mengutuk Alî di mimbar-mimbar di seluruh desa dan kota dan secara tidak lansung berusaha menyelamatkan kaum Syî’ah agar tidak dibantai seperti Hujur.

Dan untuk menyelamatkan dirinya, “ia” memasukkan namanya pula. Hadis ini, ditinjau dari segi sejarah, tidak dapat ditafsirkan lain dari itu. Hadis yang merupakan “pemberontakan” terhadap penguasa yang zalim seperti ini, tidak dapat dikatakan salah, tetapi tidak juga dapat dikatakan benar. Riwayat di atas kemungkinan besar dibuat orang dengan mengatas namakan Sa’id bin Zaid.

Imâm Mâlik, misalnya, meriwayatkan: Rasûl Allâh Saw. bersabda kepada para Syuhada Perang Uhud: “Aku menjadi saksi mereka (bahwa mereka telah mengorbankan nyawa mereka) di jalan Allâh”. Dan berkatalah Abû Bakar ash-Shiddîq: “Wahai Rasûl Allâh, bukankah kami saudara-saudara mereka? Kami memeluk Islam seperti mereka, dan kami berjihad seperti mereka berjihad!”. Dan Rasûl Allâh menjawab: “Ya, tetapi aku tidak tahu apa yang akan kamu lakukan sesudahku.” Dan menangislah Abû Bakar sambil berkata: “Apakah kami akan masih hidup sesudahmu?”[2]

Perawi “sepuluh orang masuk surga” tidak menceritakan kepada kita dalam hubungan apa Rasûl Allâh Saw Menyampaikan hadis ini, dan siapa saja yang ikut mendengarkan. Dan mengapa Sa’îd, misalnya, tidak berdiri di depan massa yang sedang mengepung rumah Utsmân yang berakhir dengan pembunuhan khalîfah ketiga itu dan mengatakan kepada mereka hadis yang penting ini?

Mengapa Sa’îd bin Zaid, misalnya, tidak menasihati Abdullâh bin Umar agar membaiat Alî tatkala terjadi pembaiatan terhadap Alî sesudah Utsmân terbunuh, karena bagaimanapun juga Alî termasuk sepuluh orang yang dijamin masuk surga oleh Rasûl Allâh? Malah membaiat Mu’âwiyah, Yazîd dan Abdul Mâlik serta Hajjâj bin Yûsuf?

Mengapa tidak menasihati ummu’l-mu’minîn Âisyah dan menyampaikan hadis itu agar ia tidak memerangi Alî dan agar menetap di rumahnya sebagaimana diperintahkan Al-Qur’ân?

Mengapa pula Thalhah dan Zubair dimasukkan ke dalam sepuluh masuk surga dan bukan, misalnya, Abû Dzarr al-Ghifârî dan Hamzah paman Rasûl? Mengapa pula Sa’d bin Abî Waqqâsh dimasukkan ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan misalnya Miqdâd atau Abû Ayyûb al-Anshârî?

Begitu pula Abû Ubaidah bin al-Jarrâh, seorang penggali kubur di Madînah dimasukkan pula ke dalam Sepuluh Masuk Surga dan bukan, misalnya Salmân al-Fârisî?

Meskipun menyesal di kemudian hari Sa’d bin Abî Waqqâsh tidak mau membaiat Imâm Alî sedang Rasûl mengatakan bahwa, “Barang siapa tidak mengenal imam pada zamannya ia mati dalam keadaan jahiliah.” Dan hadis ini diakui sebagai hadis shahîh di semua mazhab?

Apakah surga ini hanya diperuntukkan bagi para khalîfah dan mereka yang ikut dalam pergolakan kekuasaan dan bukan orang-orang seperti Ammâr bin Yâsir, Miqdâd, Abû Dzarr al-Ghifârî, Salmân al-Fârisî?

Lagi pula dalam Al-Qur’ân, Allâh SWT telah berfirman: “Dan barang siapa melakukan amal kebajikan, laki-laki maupun perempuan, sedang ia orang beriman, mereka itu masuk surga.”[3]

Rasûl Allâh juga telah bersabda: “Jibril datang kepadaku dan berkata: “Sampaikanlah kabar gembira kepada umatmu, bahwa barang siapa meninggal dunia tanpa menyerikatkan sesuatu kepada Allâh SWT, maka ia akan masuk surga”. Aku bertanya: “Hai, Jibril, meskipun ia pernah mencuri dan berzina?” Jibril menjawab, “Betul”. (sampai tiga kali). Akhirnya Jibril menjawab, “Betul, meskipun ia peminum minuman keras.”[4]

Nabî juga bersabda: “Sampaikanlah kabar gembira, bahwa barang siapa mengaku bahwa tiada Tuhan selain Allâh secara tulus, maka ia akan masuk surga.”[5]

Nabî juga bersabda: “Sesungguhnya Allâh SWT telah menjanjikan kepadaku, bahwa Ia akan memasukkan ke dalam surga 70.000 (ada yang mengatakan 700.000) orang dari umat-Ku tanpa hisab.”[6]

Rasûl Allâh juga berkata: “Ali dan Syî’ahnya masuk surga.”[7]

Hadis seperti ini banyak diriwayatkan.[8] Juga hadis shahîh lainnya, seperti Shuhaib, Shahabat Rasûl yang orang Roma, masuk surga, Bilal Sahabat dari Habasyah, masuk surga, Salmân yang dari Persia masuk surga, Hasan dan Husain masuk surga, Amr bin Tsâbit masuk surga, Tsâbit bin Qais dan berpuluh-puluh lainnya yang tidak mungkin disebut disini. Yang masuk surga tidak dapat dibatasi pada mereka yang berhasil menduduki kekhalifahan atau yang ikut dalam pergolakan politik dan tidak dapat dibatasi pada sepuluh orang. Alangkah banyaknya umat Muhammad yang akan masuk surga.

Lalu, dapatkah orang-orang yang akan masuk surga ini, termasuk para Sahabat, berbuat salah? Tidak ada satu ayat pun yang mengatakan sebaliknya. Tiada sebuah hadis pun yang mengatakan bahwa para Sahabat atau Ibu-ibu Kaum Mu’minîn (ummahât al-mu’minîn) tidak dapat berbuat salah. Kemudian, apakah penghormatan kita kepada para Sahabat atau para Ibu Kaum Mu’minîn akan berkurang dengan menulis sejarah sebagaimana adanya? Tidak, kita akan tetap menghormati para Sahabat dan para Ibu Kaum Mu’minîn sebagaimana mestinya. Ibu kita adalah tetap ibu yang kita hormati, andai kata pun dia berbuat salah kepada anaknya sendiri. Alî bin Abî Thâlib mengatakan demikian terhadap ummu’l-mu’minîn Âisyah. Hisab dan pengampunan ada pada Allâh. 



[1] Tirmidzî, dalam Jâmi’-nya, hlm. 13, 183, 186, dan lain-lain. Hadis ini melalui Abdurrahmân al-Akhnas, yang didengarnya sendiri di masjid Kûfah. Jalur lain melalui Abdurrahmân bin Hâmid yang didengarnya dari ayahnya; ayahnya mendengar dari Abdurrahmân bin Auf. Hadis yang disebut ini dianggap batil, karena ayah Abdurrahmân bin Hâmid, yang bernama az-Zuhrî, adalah seorang tabi’în (generasi kedua), bukan Sahabat. Ia lahir 32 H.,653 M. dan meninggal 105 H.,723 M. dalam usia 73 tahun, sedang Abdurrahmân bin Auf meninggal 31 ,652 M.atau 32 H.,653 M. Dengan kata lain, Zuri lahir pada saat Abdurrahmân bin Auf meninggal atau setahun sesudahnya. Dengan demikian maka satu-satunya jalur adalah yang melalui Sa’îd bin Zaid.

[2] Ibn Abîl-Hadîd, Syarh Nahju’l-Balâghah, jilid 15, hlm. 37, al-Wâqidî, Maghâzî, jilid 1, hlm. 310; berasal dari Thalhah bin Ubaidillâh, Ibnu Abbâs dan Jâbir bin Abdullâh.

[3] Al-Qur’ân, s. an-Nisâ’ (IV), 124; lihat juga, s. al-Baqarah (II), 25; at-Taubah (IX), 21; Hûd (XI), 23; al-Hajj (XXII), 14; as-Sajdah (îII), 19; alFath (XLVIII), 5; ath-Thalâq (LXV), 11; at-Taubah (IX), 72.

[4] Hadis ini sangat terkenal, diriwayatkan oleh Imâm Ahmad bin Hanbal, Tirmidzî, Nasâ’î Ibnu Hibban, yang berasal dari Abû Dzarr al-Ghifârî.

[5] Diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dan Thabrânî, melalui jalur Abû Mûsâ al-Asy’arî.

[6] Diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim dalam Shahîh mereka.

[7] Rasûl bersabda: “Aku adalah gudang ilmu, dan Alî adalah pintunya.” Orang menganggap Alî sebagai tempat bertanya sesudah Rasûl. Teman-teman Alî ini disebut Syî’ah Alî. Dalam menafsirkan ayat, “Sungguh orang-orang yang beriman dan melakukan amal kebaikan, merekalah makhluk yang sebaik-baiknya.” (Al-Qur’ân, 97:7) Suûythî meriwayatkan dari Ibnu Mardawaih dari Alî bin Abî Thâlib yang berkata: “Rasûl Allâh saw. bersabda kepadaku: "Apakah engkau tidak mengetahui firman Allâh SWT: “Sungguh orang-orang yang beriman dan melakukan amal kebaikan, merekalah makhluk yang sebaik-baiknya? (Mereka itu adalah) engkau dan Syî’ahmu. Aku dan kamu telah dijanjikan tempat di Haudh”. Juga Suûythî dari Ibnu Asâkir yang berasal dari Jâbir dari Ibnu Abbâs: “Kami berada bersama An-Nabî dan muncullah “Alî dan Nabî bersabda: “Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya. (Yang datang) ini, beserta Syî’ahnya, merekalah yang menang pada hari kiamat.” Dan turunlah ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan melakukan amal kebajikan, merekalah makhluk yang sebaik-baiknya. Demikianlah para Sahabat Nabî bila (melihat) Alî muncul, mereka berkata: Telah datang khairul Bariyyah.”

[8] Lihat Khwarizmî dalam Manâqib, hlm. 66; Suûythî dalam ad-Durru’l Mantsûr, jilid 6, hlm. 379; 392; Syablanji dalam Nûrul Abshar, hlm. 78 dan 112; Ibnu Hajar dalam Shawâiq dan lain-lain.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar