Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Rabu, 08 Mei 2024

Bersedekap Dalam Shalat, Apakah Wajib, Sunnat, Makruh, atau Bid'ah?

 

Sekalipun para ulama fiqih telah bersepakat bahwa bersedekap dalam shalat itu tidak wajib, namun masalah tersebut telah mewariskan satu bentuk kesulitan di tengah masyarakat Islam. Ahlul Bait (keluarga Nabi) misalnya mengikuti larangan bersedekap dari para imam suci, demikian pula mazhab Maliki. Mereka meluruskan (ke bawah) tangan mereka ketika sedang shalat. Tetapi kebanyakan masyarakat awam memandang mereka dengan pandangan tertentu. Kadang-kadang orang-orang awam itu menyebut mereka sebagai para ahli bid’ah karena meninggalkan bersedekap ini. Walaupun di kalangan mereka, bersedekap itu hukumnya sunah. Padahal meninggalkan perbuatan sunah tidak dipandang sebagai bid’ah. Bahkan mazhab Maliki memandang bersedekap itu sebagai makruh.

Bagaimanapun, hendaklah para penyeru pendekatan antar mazhab yang ikhlas berusaha agar jangan menjadikan masalah meluruskan tangan ke bawah dan menyedekapkannya sebagai sumber perpecahan.

Kadang-kadang menjadi penyebab saling mencaci, saling menyerang, dan menumpahkan darah di antara kaum muslimin, dengan dalih bahwa imam masjid ini menyedekapkan tangannya ketika shalat, imam yang lain menggenggamkan telapak tangannya, dan imam yang satu lagi meluruskan tangannya ke bawah.

Muhammad shalih al-'Utsaimin berkata, “Pada suatu tahun di Mina, terjadi sebuah insiden di hadapan saya dan beberapa orang teman. Barangkali insiden itu terasa ganjil bagi Anda. Ketika itu, datang dua kelompok orang. Masing-masing kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Setiap orang melemparkan tuduhan kafir dan laknat kepada yang lain, padahal mereka itu sedang melaksanakan ibadah haji. la memberitahukan bahwa salah satu dari dua kelompok itu melaksanakan shalat dengan bersedekap dan meletakkan tangannya di atas dada. Ini mengingkari sunah. Karena yang disunahkan menurut kelompok ini adalah meluruskan tangan ke bawah. Sedangkan kelompok yang lain mengatakan bahwa meluruskan tangan ke bawah (tidak bersedekap) adalah kufur dan patut dilaknat. Terjadi perdebatan sengit di antara mereka”.

Pemimpin dan juru dakwah setiap kelompok meyakini bahwa pendapat imam mazhabnya dalam masalah fiqih adalah wahyu yang tidak bercacat. Kemudian hal itu berujung pada ketidak-tahuan kaum Muslim terhadap hukum-hukum shalat. Sehingga akhirnya sebagian mereka mengafirkan sebagian yang lain. Mereka itu orang-orang yang malang yang tidak mengetahui Islam sedikit pun.

Selain itu, hadis-hadis yang mereka jadikan dalil pendukung sunah, ternyata tidak cukup untuk membuktikannnya sebagai sesuatu yang disunahkan. Berikut ini adalah hadis-hadis yang mereka jadikan dalil bahwa bersedekap merupakan sesuatu yang disunahkan, padahal hal itu adalah bid'ah.

Yang mungkin dijadikan dalil bahwa bersedekap itu merupakan sunah dalam shalat tidak lepas dari tiga riwayat berikut:

1.  Hadis dari Sahal bin Sa'ad yang diriwayatkan oleh al-Bukhari.

2.  Hadis dari Wa'il bin Hujur yang diriwayatkan oleh Imam Muslim. Al-Baihaqi menukilnya melalui tiga sanad.

3.  Hadis dari 'Abdullah bin Mas'ud yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sunan-nya.

Berikut ini kami ketengahkan kepada Anda kajian terhadap masing-masing hadis di atas:

1.   Hadis dari Sahal bin Sa'ad

Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hazim bin Sahal bin Sa'ad, “Orang-orang diperintahkan agar bersedekap dalam shalat-bagi laki-Iaki." Selanjutnya Abu Hazim berkata, "Saya tidak mengetahuinya kecuali ia menisbatkan (yamni) hal itu kepada Nabi Saw.” Isma'il berkata, “Hal itu dinisbatkan (yumna), bukan ia menisbatkan (yamni)."

Riwayat tersebut menjelaskan tata cara bersedekap. Namun, yang menjadi persoalan adalah periwayatannya dinisbatkan dari Nabi Saw. Hadis itu tidak bisa dijadikan dalil karena dua alasan berikut:

Pertama, kalau Nabi Saw yang memerintahkan bersedekap, lalu apa makna kalimat, “Orang-orang diperintahkan..."? Apakah tidak lebih tepat kalau kalimat itu berbunyi, “Nabi Saw memerintahkan ..."? Bukankah ini menunjukkan bahwa hukum tersebut muncul setelah wafat Nabi Saw, lalu para khalifah dan para gubernur mereka memerintahkan kepada orang-orang untuk bersedekap dengan anggapan bahwa hal itu lebih dekat pada kekhusyukan. Oleh karena itu, setelah hadis ini al-Bukhari mencantumkan satu bab yang disebut bab “kekhusyukan".

‘Ibnu Hajar berkata, “Hikmah bersedekap adalah karena hal itu merupakan sikap peminta-minta dan orang hina. Hal tersebut dapat mencegah hal-hal yang tak berguna dan lebih mendekatkan diri pada kekhusyukan. Al-Bukhari telah memperhatikan hal itu dan menyambungnya dengan bab kekhusyukan."

Kedua, pada lampiran as-Sanad terdapat keterangan yang menegaskan hal itu dilakukan oleh orang-orang yang memerintah, bukan Rasulullah Saw. Isma’il berkata, “Saya tidak mengetahuinya kecuali hal itu dinisbatkan kepada Nabi Saw mengingat kata kerja itu dibaca dalam bentuk pasif."

Artinya, ia tidak mengetahui bahwa bersedekap itu adalah sesuatu yang disunahkan dalam shalat. Melainkan ia hanya dinisbatkan kepada Nabi Saw.

Maka hadis yang diriwayatkan Sahal bin Sa’ad ini adalah marfu atau terputus. Ibnu Hajar berkata, ”Menurut istilah ahli hadis, apabila perawi mengatakan menisbatkannya, maksudnya adalah hadis itu marfu' kepada Nabi Saw."

Ini semua apabila kita membaca kata kerja dalam hadis tersebut dibaca dalam bentuk pasif. Akan tetapi, jika kita membacanya dalam bentuk aktif, berarti Sahal menisbatkan hal ini kepada Nabi Saw. Dengan asumsi bahwa bacaan ini benar dan tidak merupakan hadis mursal dan marfu', maka kalimat, ”Saya tidak mengetahuinya kecuali...” menunjukkan lemahnya penisbatan itu.

la mendengarkan dari orang lain teteapi nama orang itu tidak disebutkan.

2.   Hadis dari Wa’il bin Hujur

Diriwayatkan dengan beberapa redaksi:

a.      Muslim meriwayatkan dari Wa'il bin Hujur bahwa ia melihat Nabi Saw mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat sambil bertakbir. Lalu beliau berselimut dengan pakaiannya. Kemudian beliau bersedekap. Ketika hendak rukuk, beliau mengeluarkan kedua tangannya dari pakaiannya, kemudian mengangkatnya sambil bertakbir, dan rukuk.

Berdalil dengan hadis tersebut berarti berdalil dengan perbuatan. Perbuatan tidak bisa dijadikan dalil kecuali diketahui maksudnya. Padahal, perbuatan tersebut tidak jelas tujuannya karena lahiriah hadis itu menyebutkan bahwa Nabi Saw menyambungkan ujung-ujung bajunya, lalu ditutupkan pada dadanya dan bersedekap. Apakah perbuatan itu dimaksudkan agar menjadi sunah dalam shalat? Apakah beliau melakukannya semata-mata agar pakaian itu tidak lepas. Atau apakah beliau melekatkan pakaian itu pada badannya hanya untuk menjaga dirinya dari hawa dingin? Perbuatan itu tidak jelas maksudnya. Karenanya perbuatan itu tidak bisa dijadikan dalil kecuali diketahui bahwa hal itu dilakukan agar menjadi sunah.

    Nabi Saw telah melaksanakan shalat bersama kaum Muhajirin dan Anshar selama lebih dari sepuluh tahun. Kalau hal itu terbukti datang dari Nabi Saw, tentu akan banyak periwayatan dan tersebar luas, dan niscaya periwayatannya tidak hanya terbatas pada Wa'il bin Hujur saja. Oleh karena itu, periwayatan oleh Wa'il bin Hujur memunculkan dua kemungkinan itu.

Memang terdapat periwayatan hadis yang sama melalui sanad yang lain, tetapi tanpa menyebutkan kalimat, "Kemudian beliau menyelimutkan pakaiannya".

b.  Al-Baihaqi meriwayatkan hadis itu melalui sanadnya dari Musa bin ‘Umair, ”Menyampaikan kepada kami ‘Alqamah bin Wa'il dari bapaknya bahwa Nabi Saw, ketika berdiri dalam shalat, menyedekapkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Saya juga melihat ‘Alqamah melakukannya.”

Kalau masalah ini berputar di antara orang-orang yang suka melebih-lebihkan dan yang suka mengurangi, maka yang kedua yang dipilih.

Cermatilah hal ini seperti kajian pada bagian pertama, maka akan tampak bahwa maksud perbuatan itu tidak jelas.

Padahal, kalau Nabi Saw terus-menerus melakukan perbuatan tersebut, pastilah hal itu diketahui oleh masyarakat luas. Sedangkan kalimat "Saya melihat ‘Alqamah melakulkannya" menunjukkan bahwa perawi tersebut mempelajari sunah itu darinya.

c.  Al-Baihaqi meriwayatkan hadis dengan sanad yang lain dari Wa'il bin Hujur . Di dalamnya terdapat masalah seperti yang telah kami sebutkan dalam hadis sebelumnya.

d.  Al-Baihaqi meriwayatkan hadis musnad dari Ibnu Mas’ud bahwa ia melaksanakan shalat dengan menyedekapkan tangan kiri di atas tangan kanannya. Kemudian Nabi Saw melihatnya. Maka ia menyedekapkan tangan kanan di atas tangan kirinya.

Catatan:

Tidak mungkin orang seperti Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat mulia, tidak mengetahui apakah hal itu disunahkan dalam shalat atau tidak. Padahal ia termasuk orang-orang yang pertama masuk Islam. Dalam sanad hadis itu terdapat nama Hasyim bin Basyir yang dikenal sebagai mudallis (pembuat hadis palsu).

Oleh karena itu, kita perhatikan bahwa para imam ahlulbait as menjaga diri dari hal itu dan memandangnya sebagai perbuatan orang-orang Majusi di hadapan raja mereka.

Muhammad bin Muslim meriwayatkan hadis dari Imam Ja’far as-Shadiq as atau dari Imam Muhammad al-Baqir as, “Saya katakan kepadanya, "Seorang laki-laki bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya." Imam as menjawab, "Hal itu adalah takfir yang tidak boleh dilakukan."

Zurarah meriwayatkan hadis dari Abu Ja’far as (Imam Muhammad al-Baqir), “Kalian harus menghadap kiblat ketika shalat dan jangan bersedekap, karena bersedekap hanya dilakukan oleh orang-orang Majusi."

Ash-Shaduq meriwayatkan hadis melalui sanadnya dari Imam Ali as, “Seorang Muslim yang sedang shalat berdiri di hadapan Allah Azza wa Jalla tidak menyedekapkan tangannya menyerupai orang-orang kafir, yakni orang-orang Majusi."

Maka, bersedekap dalam shalat merupakan sesuatu yang baru (bid’ah) yang dibuat sepeninggal Nabi Saw.

Orang-orang diperintahkan untuk melakukan hal itu pada zaman para khalifah. Barangsiapa yang mengatakan bahwa bersedekap itu merupakan bagian dari shalat sebagai fardu atau sunah, ia telah membuat sesuatu yang baru dalam agama yang bukan bagian darinya.

RASUL SAW MELARANG BERSEDEKAP DALAM SHALAT

Dari Jabir bin Samara yang berkata, “Rasul Saw keluar mendekati kami dan berkata, “Mengapa kalian melipat tanganmu seperti tali kuda? Kalian harus menurunkannya dalam shalat.” (Musnad Ahmad bin Hanbal juz 5, hlm. 93).

Syeikh Shaib Al-Aranut menyatakan tentang riwayat di atas, “Sanadnya shahih menurut Muslim”.

Imam Syaukani mencatat dalam Nail Al-Authar,  Juz 2, hlm. 200, “Mereka yang tidak melipat tangan dalam shalat bersandar pada riwayat Jabir bin Samara, “Mengapa kalian melipat tanganmu?”

Syaukani dalam Nail Al-Authar Juz 2 hlm. 67 menyatakan Ahlul Bait Rasulullah Saw shalat dengan meluruskan tangan.

Mazhab Maliki juga meluruskan tangan ketika shalat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar