Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Sabtu, 04 Mei 2024

Tuduhan: Tahrif Al-Qur’an di Kalangan Syiah

 

Referensi: Tim Ahlul Bait Indonesia, Syiah Menurut Syiah, hlm. 55-64, penerbit DPP Ahlul Bait Indonesia, cetakan III, Oktober 2014/Dzulhijjah 1435 H.

 

Perhatikan kutipan dari buku Panduan MUI halaman 45-46, “Menurut seorang ulama Syiah Al-Mufid dalam kitab Awail Al-Maqalat, menyatakan bahwa Al-Qur’an yang ada saat ini tidak orisinil. Al-Qur’an sekarang sudah mengalami distorsi, penambahan dan pengurangan. Tokoh Syiah lain mengatakan dalam kitab Mir’atul ‘Uqul Syarah Al-Kafi, menyatakan bahwa Al-Qur’an telah mengalami pengurangan dan perubahan.

Al-Qummi, tokoh mufassir Syiah menegaskan dalam mukadimah tafsirnya, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dirubah sehingga tidak sesuai dengan ayat aslinya seperti ketika diturunkan oleh Allah. Abu Manshur Ahmad bin Ali Al-Thabarsi, seorang tokoh Syiah abad ke-6 H menegaskan dalam kitab Al-Ihtijaj bahwa Al-Qur’an yang ada sekarang adalah palsu, tidak asli dan telah terjadi pengurangan.

Ni’matullah Al-Jazairi menyatakan dalam kitabnya Al-Anwar Al-Nu’maniyah, semua imam Syiah menyatakan adanya tahrif (perobahan) Al-Qur’an kecuali pendapat Murthada, Al-Shaduq dan Al-Thabarsi yang berpendapat bahwa tidak ada tahrif. Dalam keterangan selanjutnya dia menjelaskan bahwa ulama yang menyatakan tidak ada tahrif pada Al-Qur’an itu sedang bertaqiyah.”

Tanggapan:

Sayangnya, buku yang mengatasnamakan MUI tidak berlaku jujur dalam menyampaikan halaman rujukan pernyataan para ulama Syiah tersebut. Alangkah baiknya jika pernyataan para ulama mazhab Ahlul Bait yang muktabar dituangkan di sini:


1.  Syaikh Al-Shaduq (w. 381 H/991 M) dalam Al-I’tiqadat menyatakan, “Al-Qur’an dalam keyakinan kami adalah kalam, wahyu, perkataan, dan kitab yang diturunkan Allah. “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) tidak datang kepadanya kebatilan dari depan maupun dari belakangnya.” (QS. Fusshilat [41]: 42). “Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar” (QS. Ali Imran [3]: 62). “Sesungguhnya Al-Qur’an itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil, dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau.” (QS. Al-Thariq [86]: 13-14). “Sesungguhnya Allah yang berbicara atasnya, menurunkannya, menjaganya dan Tuhan-Nya.”

 

Lebih jauh dia melanjutkan, “Keyakinan kami adalah sesungguhnya Al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya Muhammad Saw yang berada di antara dua sisi sampul, yaitu yang ada di tangan manusia saat ini. Tidak lebih dari itu. Surahnya berjumlah 114. Barang siapa menuduh kami bahwa kami beranggapan Al-Qur’an lebih dari itu, maka dia telah berbohong.”[1]

 

2. Syaikh Mufid (w. 413 H/1022 M) dalam Awa’il Al-Maqalat menyatakan, “Mayoritas ulama Imamiyah mengatakan bahwa (Al-Qur’an) tidaklah berkurang satu kata, satu ayat, atau bahkan satu surah pun. Akan tetapi yang terhapus dari mushaf Amirul Mukminin adalah takwil ayat dan tafsir makna dari hakikatnya ketika diturunkan.”[2]

 

Dari sini jelas terlihat bagaimana kerancuan dan kutipan curang dilakukan oleh ulama sekaliber MUI.


3. Syarif Al-Murtadha (w. 436 H/1045 M) menjelaskan secara panjang lebar tentang dalil-dalil tidak adanya tahrif dalam Al-Qur’an. Secara ringkas ia menyatakan, “Sesungguhnya mayoritas sahabat seperti Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan selain mereka telah mengkhatamkan Al-Qur’an berulang kali di hadapan Nabi Saw. Hal ini menunjukkan kuatnya dugaan bahwa Al-Qur’an telah terkumpul secara rapi tanpa terputus dan terpisah-pisah.” Sebelumnya dia juga mengatakan, “Dan ulama Islam telah menghafalnya dan menjaganya secara seksama. Sehingga mereka mengenali secara i’rab, bacaan, huruf dan ayat-ayat yang berbeda. Bagaimana mungkin ia berubah atau berkurang dengan perhatian serius dan koreksi yang ketat?”[3]

 

4.    Syaikh Al-Thusi (w. 460 H/1068 M) dalam Tafsir  Al-Tibyan fi Tafsir Al-Qur’an menyatakan, “Adapun isu terdapat penambahan dan pengurangan dalam Al-Qur’an tidaklah laik atasnya. Isu (hipotesis) penambahan di dalamnya jelas batil berdasarkan ijmak (kesepakatan). Sedangkan hipotesis tentang berkurangnya, maka dari yang terbaca dari referensi sebagian besar Islam berbeda. Ini yang lebih baik dianggap sebagai yang benar (valid) dalam mazhab kami. Inilah yang dikuatkan oleh (Syarif) Al-Murtadha sebagaimana jelas pada berbagai riwayat.”[4]


5.    Al-Thabarsi (w. 548 H/1153 M) dalam Al-Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an menyatakan, “Isu tentang penambahan dan pengurangan Al-Qur’an, sesungguhnya tidaklah layak untuk dibahas, karena adanya tambahan dalam Al-Qur’an telah disepakati kebatilannya, sementara pengurangan dari Al-Qur’an telah diriwayatkan oleh sahabat kami, “Sesungguhnya dalam Al-Qur’an terdapat perubahan dan pengurangan” dan yang paling benar dalam mazhab sahabat kami kebalikannya dari itu.”[5]

 

Kemudian dia menegaskan kembali dalam tafsirnya atas ayat, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dzikr, yaitu Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya dari penambahan dan pengurangannya.”[6]

 

6. Sayyid Ali bin Thawus Al-Hilly (w. 664 H/1266 M) menyatakan, “Sesungguhnya pendapat Imamiyah adalah tidak ada tahrif.”[7]

 

7. Al-Hasan bin Yusuf bin Al-Muthahhar (w. 726 H) yang dijuluki Allamah Al-Hilly menyatakan dalam Ajwibah Al-Masail Al-Mihna’iyyah, “Sesungguhnya Al-Qur’an tidak ada perubahan dan pemutarbalikkan di dalamnya. Bahkan tidak bertambah dan tidak berkurang. Oleh karena itu, kita berlindung kepada Allah Swt dari keyakinan semacam itu, sebab berkonsekuensi kepada pertentangan dengan mukjizat Rasul yang disampaikan secara mutawatir.”[8]


8.  Syaikh Zain Al-Din Al-‘Amili Al-Nabathi Al-Bayazhi (w. 877 H/1472 M) menyatakan dalam kitab tafsirnya, Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9), maksudnya, sesungguhnya Kami benar-benar menjaganya dari tahrif, perubahan, penambahan, dan pengurangan.”[9]


9.  Syaikh Ali bin Abd Al-‘Ali (w. 938 H/1532 M) menuliskan sebuah risalah khusus tentang tidak adanya pengurangan dalam Al-Qur’an. Salah satunya berbunyi, “Sesungguhnya riwayat-riwayat yang menunjukkan adanya pengurangan mesti ditakwil atau diacuhkan. Karena jika sebuah hadis bertentangan dengan Al-Qur’an, Al-Sunnah yang mutawatir dan kesepakatan ulama sehingga tidak mungkin untuk ditakwil dari berbagai sisi, maka wajib untuk diacuhkan.”[10]


10. Syaikh Nurullah Al-Tustari (w. 1019 H/1610 M) dalam Mashaib Al-Nawashib menyatakan, “Adanya perubahan dalam Al-Qur’an sebagaimana dituduhkan atas keyakinan Syiah Al-Imamiyah bukanlah pendapat mayoritas ulama Imamiyah. Tetapi hanyalah golongan kecil yang tidak perlu diperhitungkan.”[11]


11.   Syaikh Muhammad bin Husein Al-‘Amili (w. 1030 H/1621 M) yang lebih dikenal dengan julukan Syaikh Al-Baha’i menyatakan, “Terdapat perbedaan pendapat dalam hal penambahan dan pengurangan di dalam Al-Qur’an, dan yang benar adalah Al-Qur’an  Al-Karim terjaga dari hal itu. Sebagaimana dalam ayat, “dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. A-Hijr [15]: 9). Adapun yang tersiar di kalangan ulama bahwa nama Amirul Mukminin terdapat dalam sebagian tempat (dalam Al-Qur’an) tidaklah muktabar di kalangan ulama. Sebagaimana terekam dalam sejarah, hadis dan riwayat bahwa Al-Qur’an telah terangkum secara mutawatir oleh ribuan sahabat dan bahwa Al-Qur’an Al-Karim terkumpul pada masa Rasul.”[12]


12. Abdullah bin Muhammad Al-Tuni (w. 1071 H/1661 M) menyatakan dalam kitabnya Al-Wafiyah fi Ushul Al-Fiqh, “Yang masyhur bahwa Al-Qur’an terpelihara dan terhapal sebagaimana ia diturunkan, tidak pernah terganti dan berubah. Ia dijaga oleh Yang Maha Bijak lagi Maha Mengetahui. Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dzikr dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9).[13]


13. Fakhr Al-Din Al-Thuraihi (w. 1085 H/1674 M) menyatakan, “Sesungguhnya Al-Qur’an dijaga dari setiap penambahan dan pengurangan, perubahan dan tahrif. Berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya yang tidak terjamin keterpeliharaannya, Al-Qur’an dihafal orang-orang yang telah mencapai derajat makrifat dan tidak ditimbang dari selain yang dihafal.”[14]


14. Syaikh Ja’far bin Kamal Al-Din bin Muhammad Al-Bahrani Al-Ula (w. 1088 H/1677 M) telah menulis sebuah kitab bernama Al-Kamil fi Al-Shina’ah yang terdiri dari tiga puluh bab sempurna. Di antaranya adalah bab pertama tentang keutamaan Al-Qur’an, bab kedua tentang tiada tahrif, dan bab ketiga tentang kemutawatiran qira’at.[15]

 

15. Al-Faidh Al-Kasyani (w. 1091 H/1680 M) dalam Tafsir Al-Shafi menyatakan, “Kalau seandainya sebagian ayat Al-Qur’an itu muharraf (mengalami perubahan), kita sama sekali tidak akan dapat bersandar kepadanya, dan Al-Qur’an bukan hujjah yang asli, sehingga akan hilanglah manfaat untuk mengikuti serta berpegang teguh kepadanya… dst, dan banyak riwayat dari Nabi dan para Imam Ahlul Bait tentang keharusan dikembalikannya hadis kepada Al-Qur’an agar dapat diketahui keshahihannya dengan persetujuan Al-Qur’an, dan kepalsuannya dalam pertentangannya dengan Al-Qur’an, maka wajib menolaknya dan menghukumi kebatilannya.”[16]

 

16.  Syaikh Muhammad bin Al-Hasan Al-Hurr Al-‘Amili (w. 1104 H/1693 M) penulis kitab Wasail Al-Syi’ah menyatakan, “Para penulis sejarah, hadis dan atsar mengetahui dengan yakin bahwa Al-Qur’an secara mutawatir diriwayatkan oleh ribuan sahabat dan bahwasanya Al-Qur’an telah terbukukan pada masa Rasulullah Saw.”[17]

 

17. Syaikh Muhammad Baqir Al-Majlisi (w. 1111 H/1700 M), penulis kitab Bihar Al-Anwar berkata, “Disebutkan dalam Al-Masail Al-Sarwiyyah bahwa Syaikh Mufid ditanya apakah benar pernyataan  bahwa yang ada di dalam sampul buku itu adalah kalam Allah sebenarnya tanpa penambahan dan pengurangan, sementara anda meriwayatkan dari para Imam as bahwa mereka membaca, “Kalian adalah Imam terbaik yang dilahirkan untuk manusia,” begitu pula, “Kami jadikan kalian para Aimmah wasatha.” Bukankah ini bertentangan dengan mushaf yang ada di tangan manusia? Jawabannya adalah bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan tersebut adalah hadis-hadis ahad dan tidak bisa disandarkan kebenarannya atas Allah. Oleh karena itu, kami memilih diam.”[18]

 

18. Syaikh Ja’far bin Khidr Al-Najafi (w. 1228 H/1813 M) yang dijuluki Kasyif Al-Ghitha karena bukunya yang terkenal, Kasyif Al-Ghitha’ an Mubhamat Al-Syari’ah Al-Gharra’ menyatakan, “Sudah pasti Al-Qur’an terpelihara dari pengurangan dengan hafalan para cendekiawan agama sebagaimana ditunjukkan oleh penjelasan Al-Furqan, dan kesepakatan ulama sepanjang masa dan tidak perlu contoh atas ketidaklaziman. Hal-hal yang diriwayatkan tentang pengurangan jelas tertolak oleh akal.”[19]

 

19. Sayyid Muhammad Mujahid Abu Al-Ma’ali Al-Thabathaba’i (w. 1242 H/1827 M) menyatakan, “Tidak ada perbedaan pendapat bahwa seluruh bagian Al-Qur’an bersifat mutawatir pada asal dan bagian-bagiannya. Begitu pula secara urutan tempat menurut peneliti Ahlus Sunnah. Karena Al-Qur’an yang penuh mukjizat agung ini adalah asal agama dan jalan yang lurus. Banyak sekali bukti-bukti yang menunjukkan periwayatan global dan rinci secara mutawatir. Jika diriwayatkan secara ahad pastilah ia bukan Al-Qur’an.” (Mafatih Al-Ushul).

 

20. Muhammad bin Ibrahim Al-Kalbasi (w. 1262 H/1846 M) menyatakan, “Sesungguhnya riwayat yang menunjukkan adanya tahrif bertentangan dengan kesepakatan umat, kecuali bagi orang yang tidak perlu diperhatikan. Pengurangan Al-Kitab tidak memiliki akar, tidak terkenal dan tidak mutawatir, mengingat jumlah besar hadis bahkan mayoritas (yang menyatakan kemutawatiran Al-Qur’an).[20]

 

21. Muhammad Jawad Al-Balaghi (w. 1352 H/1933 M) menyatakan dalam tafsirnya Ala’ Al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an, “Tidak ada kesepakatan atas kemutawatiran dalam hal yang bersifat sejarah dan kebenaran abadi seperti kemutawatiran Al-Qur’an Al-Qarim. Sebagaimana telah dijanjikan Allah dengan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Dzikr dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9), dan firman-Nya yang lain, “Sesungguhnya atas tanggungan Kami pengumpulannya dan bacaannya.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 17). Oleh karena itu, jika Anda mendengar keanehan dalam suatu riwayat tentang tahrif Al-Qur’an dan hilang bagiannya, maka jangan perdulikan.”[21]

 

22. Syekh Muhammad Al-Husain Kasyif Al-Githa’ (w. 1373 H/1954 M) dalam kitab Ashl Al-Syi’ah wa Ushuliha menegaskan, “Sesungguhnya kitab yang ada di tangan muslimin adalah kitab yang telah Allah turunkan kepada Nabi-Nya sebagai mukjizat, untuk mengajarkan hukum-hukum, membedakan halal dari yang haram, dan sesungguhnya tidak ada pengurangan di dalamnya, tidak ada tahrif, tidak ada tambahan. Oleh karena itu, kesepakatan mereka dan orang yang berpendapat dari mereka atau selainnya dari kelompok muslimin mengenai adanya pengurangan dalam Al-Qur’an atau tahrif, maka dia orang keliru yang nantinya akan berbenturan dengan nas Al-Qur’an yang berbunyi, “Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami pula yang menjaganya.”[22]

 

23.  Syaraf Al-Din Al-Musawi (w. 1377 H/1958 M) menyatakan dalam bukunya Al-Fushul Al-Muhimmah fi Ta’lif Al-Ummah, “Al-Qur’an Al-Karim yang tidak datang kepadanya kebatilan dari depan maupun dari bekalangnya hanyalah yang terdapat dalam dua sampul buku itu. Yaitu yang ada di tangan manusia saat ini. Tidak ada penambahan dan pengurangan satu huruf pun. Tidak ada perubahan kata dan huruf di dalamnya.”[23]

 

24. Syaikh Muhammad Ridha Al-Muzhaffar (w. 1383 H/1963 M) menyatakan dalam ‘Aqaid Al-Imamiyyah, “Kami berkeyakinan bahwa Al-Qur’an Al-Karim adalah wahyu Ilahi yang turun dari Allah Swt melalui lisan Nabi-Nya yang mulia. Di dalamnya terdapat penjelas segala sesuatu, yaitu mukjizat abadi yang membuat takjub manusia dari bahasa, kefasihan dan kandungan hakikat kebenaran dan puncak pengetahuan. Tidak ada penggantian, perubahan dan tahrif di dalamnya. Ia adalah yang berada di tangan kita saat ini, yang kit abaca sebagaimana Al-Qur’an yang diturunkan oleh Nabi. Barang siapa menuduh selain dari itu, maka ia seorang pander, penipu atau penyamar. Mereka semua itu tidak mendapat petunjuk, karena Al-Qur’an adalah kalam Allah yang “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) tidak datang kepadanya kebatilan dari depan maupun dari belakangnya.” (QS. Fusshilat [41]: 42).[24]

 

25. Agha Bozorg Tehrani (w. 1390 H/1970 M), penulis ensiklopedi kitab-kitab Syiah, Al-Dzari’ah ila Tashanif Al-Syi’ah, juga penulis buku Al-Naqd Al-Lathif fi Nafy Al-Tahrif (Analisis atas Tahrif).

 

26. Sayyid Muhammad Hadi Al-Milani (w. 1395 H/1975 M) menyatakan, “Tidak ada tahrif dengan penambahan atau pengurangan dalam Al-Qur’an Al-Karim, bahkan dengan perubahan lafaz sekali pun. Jika ada riwayat yang menjurus kepada bentuk tahrif, maka mestilah bertujuan perubahan makna menurut beberapa pandangan dan cara takwil yang batil dan bukan perubahan pada lafaz dan kalimat.”

 

27. Al-Lankarani (w. 1402 H/1982 M) dalam kitab Madkhal Tafsir Abhats haula I’jaz Al-Qur’an menegasan, “Dalil tidak adanya tahrif dalam Al-Qur’an merupakan riwayat mutawatir dari Nabi dan ‘Itrah yang suci… dst.”[25]

 

28. Muhammad Husein Thabathaba’i dalam Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an menjelaskan banyak argumentasi penolakannya atas isu tahrif Al-Qur’an. Di antaranya ia mengatakan, “Secara mutlak, Al-Qur’an terjaga dalam pengawasan Allah dari segala penambahan, pengurangan dan perubahan dalam hal lafaz dan urutan.” Selanjutnya ia juga menegaskan, “Banyak hadis Nabi dari banyak jalur periwayatan dari dua kalangan (Sunnah dan Syiah) yang justru menunjukkan tidak adanya tahrif. Juga hadis perintah untuk merujuk kepada Al-Qur’an manakala terjadi fitnah dan sebagai jalan keluar dari pelbagai masalah. Sebagaimana hadis mutawatir, “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian Al-Tsaqalain, Kitab Allah dan ‘Itrahku, Ahlul Baitku, yang jika kalian berpegang atas keduanya, maka kalian tidak akan tersesat setekahku selamanya.” Perintah hadis ini tidak akan bermakna jika berpegang kepada kitab yang mengalami tahrif.”[26]

 

29. Al-Khu’i (w. 1412 H/1992 M) menjelaskan secara panjang lebar bantahannya atas riwayat-riwayat dalam khazanah Islam tentang adanya tahrif Al-Qur’an dalam kitab Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an kemudian menyatakan, “Sebagaimana telah kami jelaskan kepada pembaca, sesungguhnya orang-orang menganggap adanya tahrif berlawanan dengan akal sehat. Seandainya ia membenarkannya, maka ia tidaklah berakal.”[27]

 

30. Ruhullah Khomeini (w. 1409 H/1989 M) dalam Anwar Al-Hidayah menyatakan, “Adanya tahrif dalam Al-Kitab menurut hadis-hadis tidaklah mungkin dijadikan sandaran sebagaimana banyaknya petunjuk global dalam hal ini. Terjadinya tahrif sangatlah tidak mungkin sebagaimana disampaikan oleh para peneliti, ulama muktabar dari kedua pihak sebagaimana telah disampaikan oleh Allamah Al-Balaghi dalam pembukaan Tafsir Ala’ Al-Rahman.”[28]

 

31. Murtadha Muthahhari (w. 1399 H/1979 M) menyatakan dalam bukunya Al-Ta’arruf ‘ala Al-Qur’an Al-Karim, “Sesungguhnya ayat-ayat Al-Qur’an telah mencapai tingkatan yang tidak mungkin terjadi perubahan, penambahan atau penghapusan satu huruf pun di dalamnya.”[29]

 

32. Muhammad Husein Ali Al-Shaghir (lahir 1940 M), seorang professor studi Al-Qur’an dari Universitas Kufah menjelaskan dengan gamblang bagaimana isu tahrif Al-Qur’an terjadi di kalangan kaum muslimin dan menolaknya dengan berbagai argumentasinya. Bahkan, beliau juga menulis sebuah buku bantahan atas Theodore Noldeke (w. 1930 M) dan kaum orientalis lainnya, yang menganggap Al-Qur’an telah berkurang.”[30]

 

Tuduhan lainnya yang selalu mengemuka terkait keaslian Al-Qur’an hingga saat ini, tidak akan pernah terlepas dari kitab Al-Fashl Al-Khithab yang disusun oleh salah seorang ulama Syiah yang bernama Al-Nuri. Akan tetapi, kitab tersebut jug telah disanggah dengan keras dan kritik tajam oleh Al-Khomeini, sebagaimana yang beliau sampaikan dalam kitabnya berikut ini:

 

1. Dalam kitab Anwar Al-Hidayah fi Ta’liqah ‘ala Al-Kifayah beliau menyatakan, “Sesungguhnya jika suatu urusan sebagaimana yang telah digambarkan oleh pengarang kitab Fashl Al-Khithab yang telah ditulisnya tidak bermanfaat dari sisi keilmuan dan perbuatan. Dia selalu membawakan riwayat-riwayat yang dhaif dan aneh, yang tidak diterima oleh akal sehat. Dan satu hal lagi yang mengherankan dari mereka yang hidup sezaman dengannya (Al-Nuri), mengapa lalai dan lengah akan hal semacam ini (membiarkan karyanya tersebut).[31]

 

2.    Bukan hanya itu, riwayat tersebut juga telah disanggah oleh salah seorang murid Al-Nuri sendiri, Syekh Thahrani dalam kitabnya Al-Dzari’ah ila Tashanif Al-Syi’ah, “Dia menukil dari gurunya, “Bahwasanya kitab tersebut (Al-Fashl Al-Khithab fi Tahrif Al-Kitab) maksudnya bukan tentang tahrif Al-Qur’an penambahan dan pengurangan… dst, sepantasnya dinamakan Fashl Al-Khithab fi ‘Adami Tahrif Al-Kitab (tidak adanya tahrif dalam Al-Qur’an).”[32]

 

3. Al-Husain Al-Nuri dalam kitab Mustadrak Al-Wasail wa Mustanbath Al-Masail menyatakan, “Apa yang telah kami dengar dari lisan guru kami (Al-Nuri) di akhir hidupnya, beliau berkata, “Saya keliru dalam member nama kitab tersebut yang seharusnys saya namakan dengan “Fashl Al-Khithab bi ‘Adami Tahrif Al-Kitab.”[33]

Sekali lagi, prinsip Syiah yang telah dikemukakan di atas ialah mengembalikan keshahihah hadis kepada Al-Qur’an. Bukankah Allah Swt sendiri telah berfirman, “Sungguh Kami yang telah menurunkan Al-Qur’an dan Kami pula yang akan menjaganya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9).■



[1] Syaikh Al-Shaduq, Al-I’tiqadat, h. 83-4, cet. 2, Dar Al-Mufid, Beirut, Lebanon, 1993 M (1414 H).

[2] Syaikh Al-Mufid, Awa’il Al-Maqalat, h. 81, cet. 1, Al-Mu’tamar Al-‘Alami, Qom, Iran, 1413 HQ.

[3] Al-Thabarsi, Abu Ali Al-Fadhl bin Al-Hasan, Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz 1, h. 14-15, cet. 1, Dar Al-Ulum, Beirut, Lebanon, 2005 M (1426 H).

[4] Muhammad bin Al-Hasan Al-Thusi, Al-Tibyan fi Tafsir Al-Qur’an, j. 1, h. 3, Dar Ilya Al-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, TT.  

[5] Al-Thabarsi, Abu Ali Al-Fadhl bin Al-Hasan, Majma’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz 1, h. 15, cet. 1, Dar Al-Ulum, Beirut, Lebanon, 2005 M (1426 H).

[6] Ibid., juz 6, h. 80.

[7] Ali bin Thawus, Sa’d Al-Su’ud, h. 144, penerbit Amir, Qom, Iran, 1363 HQ.

[8] Ibnu Muthahhar, Allamah Hilly, Ajwibah Al-Masail Al-Mihna’iyyah, h. 121, masalah 13, Matha’ah Al-Khayyam, Qom, Iran, 1401 H.

[9] Rahmatullah bin Khalil Al-Rahman Al-Hindi, Izhar Al-Haqq, j. 2, h. 113, cet. 2, Dar Al-Jil, Beirut, Lebanon, TT. Atau j. 2, h. 98, Maktabah Al-Tsaqafah Al-Diniyyah, Kairo, Mesir, TT. Atau Maktabah Syamilah, (2/126-7). Lihat juga Rasul Ja’farian, Ukdzubah Tahrif Al-Qur’an baina Al-Syi’ah wa Al-Sunnah, h. 101, Salman Al-Farisi, Qom, Iran, 1413 H.

[10] Muhammad Jawad Al-Balaghi Al-Najafi, Ala’ Al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an, j. 1, h. 26, Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, Beirut’ Lebanon, TT.

[11] Syahid Nurullah Al-Tustari, Mashaib Al-Nawashib, h. 121, cet. 1, Muassasah Qaid Al-Ghurr Al-Muhajjalin, Dzi Qar, Irak, 1426 H.

[12] Muhammad Jawad Al-Balaghi An-Najafi, Ala’ Al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an, j. 1, h. 26, Dar Ihya Al-Turats, Beirut, Lebanon, TT. Lihat juga Syaikh Ja’far Subhani, Mafahim Al-Qur’an, j. 10, h. 441, cet. 3, Muassasah Al-Imam Al-Shadiq, Qom, Iran, 1328 HQ.

[13] Abdullah bin Muhammad Al-Tuni, Al-Wafiyah fi Ushul Al-Fiqh, h. 147-8, cet. 1, Majma’ Al-Fikr Al-Islami, 1412 HQ.

[14] Fakhr Al-Din Al-Thuraihi, Mu’jam Majma Al-Bahrain, h. 307, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 2009 M (1430 H).

[15] Agha Bozorg Tehrani, Al-Dzari’ah ila Tashanif Al-Syi’ah, j. 17, h. 256, cet. 2, Dar Al-Adhwa’, Beirut, Lebanon, 1978 M.

[16] Al-Faidh Al-Kasyani, Tafsir Al-Shafi, j. 1, h. 42-44, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 2008 M (1429 H).

[17] Rahmatullah bin Khalil Al-Rahman Al-Hindi, Izhar Al-Haqq, j. 2, h. 130, cet. 2, Dar Al-Jil, Beirut, Lebanon, TT. Atau Maktabah Syamilah, (2/128). Lihat juga Rasul Ja’farian, Ukhzubah Tahrif Al-Qur’an baina Al-Syi’ah wa Al-Sunnah, h. 101, Salman Al-Farisi, Qom, Iran, 1413 H. Bandingkan dengan Syaikh Ja’far Subhani, Mafahim Al-Qur’an, j. 10, h. 441, cet. 3, Muassasah Al-Imam Al-Shadiq, Qom, Iran, 1328 HQ.

[18] Syaikh Muhammad Baqir Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, j. 89, h. 53, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, cet. 1, 2008 M (1429 H).

[19] Syaikh Ja’far bin Khidr Al-Najafi, Kasyf Al-Ghitha’ ‘an Mubhamat Al-Syari’ah Al-Gharra’, juz 2, h. 299, Intisyarat Mahdawi, Isfahan, Iran, TT.

[20] Sayyid Abu Al-Qasim Al-Musawi Al-Khu’i, Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, h. 234, cet. 8, Anwar Al-Huda, Qom, Iran, 1981 M (1401 H).

[21] Muhammad Jawad Al-Balaghi An-Najafi, Ala’ Al-Rahman fi Tafsir Al-Qur’an, j. 1, h. 18, Dar Ihya Al-Turats, Beirut, Lebanon, TT.

[22] Syekh Muhammad Al-Husain Al-Kasyif Al-Ghitha’, Ashl Al-Syi’ah wa Ushuliha, h. 220, cet. 1, Muassasah Al-Imam Ali, Qom, Iran, 1415 H.

[23] Sayyid Syaraf Al-Din Al-Musawi, Mausu’ah Al-Imam Al-Sayyid ‘Abd Al-Husein Syaraf Al-Din, j. 3, Al-Fushul Al-Muhimmah fi Ta’lif Al-Ummah, h. 1157/195, cet. 2, Dar Al-Muarrikh Al-‘Arabi, Beirut, Lebanon, 2010 M (1431 H).

[24] Syaikh Muhammad Ridha Al-Muzhaffar, ‘Aqaid Al-Imamiyyah, h. 47, TP, Najaf, Irak, 1380 H.

[25] Muhammad Al-Fadhil Al-Lankarani, Madkhal Al-Tafsir: Abhats haula I’jaz Al-Qur’an, h. 217, cet. 2, Maktabah Al-A’lam Al-Islami, Qom, Iran, 1413 H.

[26] Sayyid Muhammad Husein Al-Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, juz 12, h. 102-7, cet. 1, Muassasah Al-A’lami, Beirut, Lebanon, 1997 M (1417 H).

[27] Sayyid Abu Al-Qasim Al-Musawi Al-Khu’i, Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, h. 220, cet. 8, penerbit Fururdin, Anwar Al-Huda, Qom, Iran, 1981 M (1401 H).

[28] Sayyid Al-Khomeini, Anwar Al-Hidayah fi Ta’liqah ‘ala Al-Kifayah, juz 1, h. 243-4, Maktab Al-‘Alami Al-Islami, 1413 H.

[29] Murtadha Muthahhari, Al-Ta’arruf ‘ala Al-Qur’an Al-Karim, h. 16, Munazzhamah Al-A’lam Al-Islami, Tehran, Iran, 1403 H.

[30] Lihat, Muhammad Husein Ali Al-Shaghir, Al-Mustasyriqun wa Al-Dirasat Al-Qur’aniyyah, cet. 1, Dar Al-Muarrikh Al-‘Arabi, Beirut, Lebanon, 1999 M (1420 H) dan Tarikh Al-Qur’an, cet. 1, Dar Al-Muarrikh Al-‘Arabi, Beirut, Lebanon, 1999 M (1420 H).

[31] Sayyid Al-Khomeini, Anwar Al-Hidayah fi Ta’liqah ‘ala Al-Kifayah, juz 1, h. 244-5, Maktab Al-‘Alami Al-Islami, 1413 H.

[32] Agha Bozorg Tehrani, Al-Dzari’ah ila Tashanif Al-Syi’ah, j. 16, h. 231-2, cet. 2, Dar Al-Adhwa’, Beirut, Lebanon, 1978 M.

[33] Hajj Mirza Husein Al-Nuri Al-Thabarsi, Mustadrak Al-Wasail wa Mustanbath Al-Masail, j. 1, h. 50, Muassasah Ali Al-Bayt li Ihya Al-Turats, TT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar