Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Senin, 07 Juli 2025

Israel Ekspor Konflik: Dari Gurun Suriah ke Warung Kopi Indonesia?



Israel itu seperti pedagang gelap yang jualan "bom waktu sektarian". Pasar utamanya? Timur Tengah. Tapi matanya kini juga melirik gerai baru, yakni Indonesia. "Devide et Impera" bukan cuma taktik kolonial Belanda tempo dulu—itu menu utama politik Israel. Mereka paham betul: negara multikultural Indonesia yang bersatu adalah mimpi buruk bagi agenda mereka. Sebaliknya, masyarakat yang sibuk bertikai soal SARA adalah ladang subur buat intervensi.

Senjata mereka canggih tapi licik. Di Suriah dan Lebanon, Israel pakai "jasa titip" konflik: dukung kelompok tertentu, dukung para Takfiri yang hobi kofar-kafirkan orang, bikin isu lokal jadi perang agama, lalu duduk manis sambil jual senjata ke semua pihak. Media jadi amplifier-nya, algoritma sosial media jadi distributornya.

Resep ini mau diekspor kemana? Tengoklah bagaimana isu Palestina tiba-tiba dibelokkan jadi debat Sunni-Syiah di grup WA kelas tarkam, atau bagaimana ujaran intoleran tiba-tiba viral persis saat tekanan global ke Israel memuncak. Di sini, di Indonesia, kok ya bisa-bisanya ada ormas sektarian Aliansi Anti Syiah yang entah bagaimana prosesnya bisa dapat izin dari pemerintah. Kemana perginya “Bhineka Tunggal Ika”?

Dulu, kita sering berkata, "Ah, Indonesia kan beda! Kita punya Pancasila!" Benar. Tapi Israel bukan main halus. Mereka tak perlu invasi militer. Cukup kirim 'konten sampah' sektarian lewat buzzer bayaran, biarin influencer gadungan sebar hoax, atau dukung kelompok yang gemar impor konflik Timur Tengah. Tujuannya satu: bikin kita sibuk berselisih internal, alih-alih fokus pada penjajahan Zionis di tanah Palestina. Seperti tukang sulap, mereka ingin kita terkagum-kagum pada ilusi "musuh sesama muslim", sembari mengabaikan penjajahan nyata.

Indonesia ini pasar empuk: populasi besar, gencar digital, tapi rentan hoax. Israel bisa pakai proxy. Bayangkan: dana dari NGO "pendamai" Timur Tengah tiba-tiba mengalir ke ormas Islam radikal lokal. Atau grup media "moderat" di Jakarta tiba-tiba gencar bangun narasi permusuhan atas nama solidaritas Palestina—padahal ujungnya memecah-belah Umat. Mirip jualan obat palsu, bungkusnya agama, isinya racun perpecahan, dan jangan salah, organisasi sektarian ini pada akhirnya akan menyasar semua kelompok, termasuk komunitas non Muslim.

Bahayanya? Konflik impor ini bakal jadi "cap cai" beracun. Isu Syiah-Sunni dari Suriah dicampur sentimen lokal, ditambah politik identitas, dikasih kuah hoax. Hasilnya? Kerukunan jadi korbannya. Mereka bisa terprovokasi jadi "tentara bayaran" perang proxy Timur Tengah—berkelahi sesama anak bangsa, sementara penjajah di Gaza tertawa lebar. Persatuan Indonesia diadu domba seperti kambing kurban.

Solusinya? Waspadai "dangdut politik" Israel. Setiap ada isu sektarian mendadak panas, tanya: Siapa yang nyetel lagunya? Setiap ada kelompok yang gemar impor konflik luar, kritisi: Dapat kiriman minyak goreng dari mana? Jangan sampai NKRI jadi panggung baru drama mereka. Solidaritas Palestina harus tetap murni: satu suara menentang penjajahan, bukan malah pecah belah karena provokasi siluman.

Kita punya senjata ampuh: Pancasila itu perisai, Bhinneka Tunggal Ika itu pedang. Jangan mau dijajah ulang oleh perpecahan gaya baru. Sebab Zionis paling takut pada satu hal: Umat Islam dan bangsa Indonesia yang bersatu padu. Mereka bisa adu domba Suriah, mereka bisa pecah-belah Lebanon—tapi di sini? Gunakan kebhinekaan kita sebagai benteng. Biar Israel gigit jari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar