Referensi: Tim Ahlul Bait
Indonesia, Syiah Menurut Syiah, hlm. 179-182, penerbit DPP Ahlul Bait
Indonesia, cetakan III, Oktober 2014/Dzulhijjah 1435 H.
Bersyahadat berarti mengungkapkan keyakinan secara verbal. Secara etimologis, syahadat berasal dari kata bahasa Arab yaitu syahida, yang artinya ia telah menyaksikan.
Asal kata syahida-yasyhadu artinya menyaksikan, penyaksian. Ketika seseorang bersyahadat untuk memeluk agama Islam dia bersaksi atau menjadi saksi akan terhadap dan adanya Allah. Seseorang yang bersaksi di sebuah pengadilan tentu dia telah paham terhadap peristiwa yang disidangkan. Orang yang bersaksi dalam pengadilan telah melihat atau menyaksikan kejadian dengan sebenarnya (dengan kata lain dengan mata kepalanya sendiri) sehingga dapat memberikan keterangan atau kesaksian dengan benar.
Bersyahadat secara terminologis dalam teologi, berarti pernyataan kepercayaan dalam keesaan Tuhan (Allah) dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya.
Sebagian orang mengangggap muslim Syiah memiliki tiga syahadat. Maka perlu diperjelas bahwa syahadat adalah konfirmasi terhadap sesuatu. Misalnya mengkonfirmasi bahwa seseorang adalah orang yang jujur dan baik. Maka, ia bisa bersyahadat bahwa ia adalah orang jujur dan baik. Hal itu bukan berarti bahwa ia memiliki tiga syahadat; Asyhadu an La ilaha illa Allah, wa Asyhadu anna Muhammad Rasulullah, dan (misalnya) wa asyhadu anna Fulan shaduq (aku bersaksi bahwa si Fulan adalah orang jujur dan baik). Lantas apa salahnya jika muslim Syiah meyakini bahwa Ali seorang wali Allah? Sementara disebagian keyakinan muslim di Indonesia juga banyak yang mengakui seseorang sebagai wali. Padahal kalau kita mau menunjukkan bahwa Ali adalah wali dan segala keuatamaannya, diantaranya:
1. Sebuah
hadist panjang yang berasal dari Ibnu Abbas, diantaranya, Rasulullah Saw
bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Engkau waliku di dunia dan akhirat.” Dalam
hadis yang sama beliau juga bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, “Engkau
waliku bagi setiap mukmin setelahku.”[1]
2. Dari
Imran bin Hushain, Rasulullah Saw bersabda, “Biarkanlah Ali, biarkanlah Ali,
biarkanlah Ali. Sesungguhnya Ali dariku dan aku dari Ali. Ali wali setiap
mukmin setelahku.”[2]
3. Dari
Imran bin Hushain, Rasulullah bersabda, “Jangan persoalkan Ali. Sesungguhnya
Ali dariku dan aku dari Ali, dan wali setiap mukmin.”[3]
4. Dari
Anas bin Malik, “Aku diutus Nabi Saw kepada Abu Barzah Al-Aslami, Nabi
berkata kepadanya dan aku mendengarnya bersabda, “Wahai Abu Barzah, sesungguhnya
Tuhan semesta bersumpah kepadaku tentang Ali bin Abi Thalib, “Sesunguhnya ia
adalah panji petunjuk, penerang iman, pemimpin para wali-Ku, dan cahaya seluruh
yang taat kepada-Ku.” Wahai Abu Barzah, Ali bin Abi Thalib adalah kepercayaanku
kelak di hari Kiamat, pemegang panjiku di hari Kiamat, kepercayaanku atas
kunci-kunci khazanah kasih sayang Tuhanku azza wa jalla.”[4]
Apakah kemudian kita bisa menyebut syahadat dalam Islam lebih dua? Lantas apa makna dari dua syahadat sesungguhnya? Dua kalimat syahadat adalah password, kata kunci terjaminnya seseorang sebagai muslim dan selamat jiwa dan kehormatannya. Ketika ia bersyahadat, maka haram darahnya untuk dibunuh meskipun ia berdusta. Bagaimana dengan Syiah yang membangun syahadatnya sendiri? Selama ia tidak bertentangan dengan syariat, maka bisa dibenarkan bagi muslim Syiah. Karena kalau tidak mengimani Ali sebagai wali Allah, berarti ia bukanlah seorang Syiah. Meskipun hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Ali wali Allah banyak tercatat dalam literatur Islam, muslim syiah juga dilarang keras memaksa orang lain untuk mengimaninya, karena tidak ada paksaan dalam beragama. Hal ini jelas menunjukkan adanya perbedaan di dalamnya, tapi ia bukan merupakan bagian dari pokok agama. Titik temunya adalah pada dua kalimat syahadat tersebut sesuai dengan ijmak seluruh Muslim dari mazhab mana pun.
Syiah tidak mengakui adanya tambahan lain atas teks syahadat sebagaimana ijmak muslim diatas. Tambahan teks “wa ‘Aliyyan waliyyullah” sama sekali tidak ditemukan dalam buku-buku rujukan Syiah. Bahkan, penambahan teks tersebut, sebagaimana yang dituduhkan kepada Syiah dalam azan, adalah bid’ah menurut jumhur ulama Syiah.
Sebagian awam yang menambahkan kalimat sebagaimana yang dituduhkan di atas tidaklah dapat dijadikan sebagai dasar, karena perilaku awam bukanlah sumber hukum atau pun otoritas yang dapat dipegang dalam menilai mazhab mana pun.
Di dalam kitab Wasail Al-Syi’ah bab 19 tentang azan dan ikamah disebutkan larangan untuk menambah teks “wa ‘Aliyyan waliyullah” dalam azan. Bahkan, hal ini dianggap sebagai sesuatu yang dimasukkan dengan tidak sahih dalam kitab-kitab Syiah. Hal yang sama disebutkan dalam semua referensi Syiah lain. Kalau pun dibenarkan, hukum tambahan “wa ‘Aliyyan waliyullah” dalam azan adalah sama dengan hukum pendengar azan bershalawat ketika mendengar kata Muhammad disebutkan dalam syahadat.[5]■
[1] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad,
juz 3, h. 331-3, hadis 3062, syarh Ahmad Muhammad Syakir, cet. 1, Dar Al-Hadits
Kairo, Mesir, 1995 M (1416 H).
[2] Ahmad bin Hanbal, Al-Musnad,
juz 5, h. 350-1, 358-61, juz 33, h. 154, hadis 19928, cet. 1, Muassasah
Al-Risalah, Beirut, Lebanon, 1999 M (1420 H); Ahmad bin Hanbal, Kitab
Fadhail Al-Shahabah, h. 749-750, hadis 1035, cet. 2, Dar Ibn Al-Jauzi,
Jeddah, Saudi Arabia, 1999 H (1420 M); Ibnu Abi Syaibah, Al-Mushannaf,
juz 12; Abu Dawud, Musnad, hadis 829; Tirmidzi, Jami’ Al-Tirmidzi,
hadis 3712; Ibnu Abi ‘Ashim, Al-Sunnah, hadis 1187; Al-Nasa’i, Al-Sunan
Al-Kubra, hadis 8147, 8474 dan Al-Khashais Amir Al-Mu’minin Ali bin Abi
Thalib, hadis 68, 89. Abu Ya’la Al-Maushili, Al-Musnad, hadis 355.
Al-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Wasith, juz 18, 265. Abu Nu’aim, Hilyah
Al-Awliya, juz 6, h. 294.
[3] Al-Hakim, Al-Mustadrak
‘ala Al-Shahihain, juz 3, h. 119, hadis 4579, cet. 2, Dar Al-Kutub
Al-‘Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, 2002 M (1422 H); Al-Albani, Al-Ta’liqat
Al-Hisan ‘ala Shahih Ibn Hibban, j.
10, h. 67-8, hadis 6890, cet. 1, Dar Bawazir, Jeddah, Saudi Arabia, 2003 M
(1424 H).
[4] Muhammad bin Yusuf
Al-Kanji Al-Syafi’i, Kifayah Al-Thalib fi Manaqib Ali bin Abi Thalib, h.
215, cet. 3, Dar Ihya Al-Turats Ahl Al-Bait, Tehran, Iran, 1404 H.
[5][5] Tahrir Al-Wasilah, Bab Azan
dan Ikamah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar