Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Sabtu, 04 Mei 2024

Tuduhan: Seputar Dugaan Pemalsuan Al-Qur’an

 

Referensi: Tim Ahlul Bait Indonesia, Syiah Menurut Syiah, hlm. 50-55, penerbit DPP Ahlul Bait Indonesia, cetakan III, Oktober 2014/Dzulhijjah 1435 H.

 

Al-Qur’an mempunyai beberapa nama yang kesemuanya menunjukkan kedudukannya yang tinggi dan luhur, dan secara mutlak Al-Qur’an adalah kitab samawi yang paling mulia. Karenanya dinamailah kitab samawi itu dengan: Al-Qur’an, Al-Furqan, Al-Tanzil, Al-Dzikr, Al-Kitab, dan sebagainya. Seperti halnya Allah juga telah memberi sifat tentang Al-Qur’an sifat-sifat yang luhur antara lain; nur (cahaya), hudan (petunjuk), rahmah, syifa’ (obat), mau’izhah (nasihat), ‘aziz (mulia), mubarak (yang diberkahi), basyir (pembawa berita gembira), nadzir (pembawa berita buruk) dan sifat-sifat lain yang menunjukkan kebesaran dan kesuciannya. Alasan penamaan:


1. Alasan diberi nama Al-Qur’an ialah karena kata Al-Qur’an banyak terdapat dalam ayat, antara lain firman Allah Swt, “Qaf. Demi Al-Qur’an yang sangat mulia.” (QS. Qaf [50]: 1), dan firman-Nya, “Sesungguhnya Al-Qur’an ini member petunjuk pada jalan yang amat lurus.” (QS. Al-Isra’ [17]: 9).

 

2. Alasan dinamakan Al-Furqan, sebagaimana tertera dalam firman Allah Swt, “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al-Furqan [25]: 1).


3. Alasan dinamakan Al-Tanzil, sebagaimana tertera dalam firman Allah Swt, “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan Semesta Alam, ia dibawa turun oleh Al-Ruh Al-Amin (Jibril as).” (QS. Al-Syu’ara [26]: 192-193).


4.  Alasan dinamakan dengan Al-Dzikr, sebagaimana firman Allah Swt, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9).


5. Sedangkan dinamakan dengan Al-Kitab, sebagaimana tertera dalam firman Allah Swt, “Ha Mim. Demi kitab (Al-Qur’an) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Al-Dukhan [44]: 1-3). 

Adapun mengenai sifat-sifatnya sungguh tertera dalam sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an, bahkan sedikit sekali (jarang) surat-surat dalam Al-Qur’an yang tidak menyebutkan sifat-sifat yang indah dan mulia terhadap kitab yang diturunkan oleh Tuhan yang Maha Mulia yang dijadikan mukjizat (tiada tanding) yang abadi bagi seorang Nabi yang terakhir. Kami sebutkan di antaranya:


1. Firman Allah Swt, Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Quran).” (QS. Al-Nisa’ [4]: 174).

 

2.  Firman Allah Swt, “Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’ [17]: 82).


3.  Firman Allah Swt, Katakanlah: "Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushshilat [41]: 44).


4. Firman Allah Swt, Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus [10]: 57).

Kata Al-Qur’an adalah sama halnya dengan kata qira’at adalah masdar dari kata qara’a, qira’atan dan qur’anan. Demikianlah menurut sebagian ulama dengan mengambil alasan Firman Allah Swt, Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 17-18).

Pengertian qur’anahu di sini sama dengan qira’atuhu. Maka, lafazh qur’an menurut pendapat ini adalah musytaq (pengambilan dari kata kerja). Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa lafazh Al-Qur’an bukanlah musytaq dari qara’a, melainkan ism ‘alam (nama sesuatu) bagi kitab yang mulia sebagaimana halnya nama Taurat dan Injil. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i.[1]

Pada dasarnya mengonfirmasi Syiah sebagai aliran yang meyakini dipalsukannya Al-Qur’an sama dengan mengonfirmasi dan meyakini dipalsukannya Al-Qur’an. Jadi, siapa yang meyakini pemalsuan Al-Qur’an dan membenarkan adanya orang yang meyakini pemalsuannya, maka ia dianggap sebagai orang yang menolak keputusan Allah untuk menjaga Al-Qur’an.

Al-Qur’an turun dari sisi malaikat, bukan setelah musuh-musuh Nabi meminta untuk diturunkan dan pembenaran. Namun, “Kami menurunkan secara berangsur-angsur dan sesungguhnya Kami yang menjaganya sebagai hafalan (Al-Dzikr) sebagaimana Kami juga memperhatikannya dengan sempurna.”[2]

Orang Syiah meyakini bahwa pendapat yang menyatakan adanya kemungkinan perubahan dalam Al-Qur’an adalah mengingkari Al-Qur’an dan jaminan Allah untuk menjaganya, berikut ini:

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15]: 9).

Jumhur ulama Syiah meyakini bahwa Al-Qur’an yang ada di tangan kaum Muslim saat ini adalah satu-satunya Al-Qur’an dan merupakan wahyu Allah yang turun kepada Muhammad Rasulullah. Misalnya, pandangan ahli tafsir Syiah, Al-Faidh Al-Kasyani terhadap kesucian Al-Qur’an tertera di mukadimah keenam Tafsir Al-Shafi, Tafsir bi Al-Ma’tsur (1/40-55). Selain itu, dalam kitab tafsir Al-Ashfa tentang tafsir ayat:

“… dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya,” beliau menafsirkan, “… dari tahrif, perubahan, penambahan dan pengurangan.”[3]

Asal-muasal tuduhan tahrif terhadap Syiah diambil dari pandangan segelintir ulama Syiah dari kelompok akhbari.[4] Munculnya klaim adanya tahrif di kalangan akhbari ini diprakarsai oleh Syaikh Ni’matullah Al-Jazairi (1050-1112 H) dan dilanjutkan Syaikh Nuri (1254-1320 H) dalam kitab Fashl Al-Khittab.

Dalam klaim kedua tokoh akhbari ini, Al-Kulaini juga berpegang pada pandangan tahrif. Akibatnya, hadis-hadis yang dinukil Al-Kulaini yang berkenanan dengan tahrif seolah-olah menegaskan pandangannya tentang tahrif. Padahal, kita mengetahui kaidah naqilul kufri laysa bi kafir (penukil kekufuran tidaklah serta merta kafir), sehingga baik Al-Kulaini maupun Al-Bukhari sama-sama tidak meyakini tahrif meski sama-sama memuat sejumlah hadis yang menyiratkan tentang tahrif. Untuk membuktikan hal ini, kita dapat merujuk mukadimah Al-Kafi yang beliau tulis. Perhatikan apa yang beliau katakan:

“Ketahulah wahai saudaraku, sesungguhnya tidaklah boleh bagi seseorang membedakan dengan pendapatnya sendiri sesuatu yang datang dari para imam berupa riwayat-riwayat yang berselisih, kecuali didasarkan atas apa yang dinyatakan imam itu sendiri: “Sodorkan riwayat-riwayat itu kepada Kitabullah (Al-Qur’an). Apa yang sesuai dengan Kitabullah (Al-Qur’an), maka ambillah, dan yang menyalahi Kitabullah (Al-Qur’an), maka tinggalkan.” Dan perkataan beliau, “Jauhi (pandangan) kaum (pengikut para penguasa) itu karena kebenaran berada pada kebalikan dari (pandangan) mereka.” Dan perkataan beliau, “Ambillah yang disepakati, sebab yang disepakati itu tidak mengandung keraguan.” Dan kami tidak mengetahui dari semua itu melainkan sebagian kecil, dan kami tidak mendapatkan sesuatu yang lebih berhati-hati dan lebih diperbolehkan dari pada mengembalikan semua itu kepada imam, dan menerima perkara itu berdasarkan perkataan beliau, “Maka, dengan yang mana saja dari kedua riwayat itu kalian mengambilnya sebagai bukti kepatuhan, maka ia diperbolehkan.”[5]

Dalam kalimat mukadimah di atas tidak terdapat kalimat yang dapat dijadikan bukti bahwa beliau menyahihkan sesuatu hadis yang beliau himpun dalam kitab Al-Kafi. Sebab, apabila beliau meyakini keshahihah seluruh hadis Al-Kafi, tentu beliau tidak akan menyebut-nyebut kaidah tarjih hadis yang dibangun oleh para imam Ahlul Bait dalam menyikapi riwayat-riwayat yang muta’aridhah (saling bertentangan), yaitu dengan menyodorkannya kepada Al-Qur’an, dan mengambil hadis yang mujma’ ‘alaihi (disepakati).

Kalau pun kita anggap hadis-hadis yang diriwayatkan Al-Kulaini menunjukkan secara tegas makna tahrif, maka hadis-hadis itu bertentangan dengan banyak hadis lain yang juga diriwayatkan oleh Al-Kulaini dalam Al-Kafi-nya. Dalam kitab ini, Al-Kulaini telah meriwayatkan banyak hadis yang membuktikan bahwa Al-Qur’an yang beredar di kalangan umat Islam adalah lengkap dan terjaga dari tahrif.

Hadis-hadis itu tersebar di berbagai bab yang beliau tulis, diantaranya pada bab Keutamaan Pengemban Al-Qur’an, Siapa yang Belajar Al-Qur’an Dengan Susah Payah, Siapa yang Menghafal Al-Qur’an Kemudian Ia Lupa, Pahala Membaca Al-Qur’an, Membaca Al-Qur’an Dengan Melihat Dalam Mushaf, Rumah-rumah yang Al-Qur’an Dibaca di Dalamnya. Hadis-hadis tersebut jauh lebih kuat, lebih banyak, dan lebih jelas petunjuknya. Dengan demikian, berdasarkan kaidah tarjih yang ditetapkan sendiri oleh Al-Kulaini, maka apabila ada dua hadis yang saling bertentangan dan tidak dapat diharmoniskan dengan pemaknaan yang tepat, maka keduanya harus disodorkan kepada Al-Qur’an, yang sesuai dengannya kita ambil dan yang bertentangan harus ditinggalkan.

Perlu ditegaskan bahwa prinsip mazhab Ahlul Bait Nabi Saw adalah jika ada riwayat yang dibawakan oleh ulama dari mazhab Ahlul Bait, sekali pun dari sisi sanadnya shahih, riwayat dan hadis tersebut tetap harus tunduk kepada Al-Qur’an. Artinya, jika suatu riwayat bertentangan dengan Al-Qur’an, maka riwayat tersebut dipastikan tertolak dalam mazhab Syiah, karena itulah ada seorang marja’ yang berfungsi menjelaskan suatu hukum. Prinsip dasar ini berlaku umum sepanjang masa.

Nabi Saw bersabda, “Jika diriwayatkan dariku suatu hadis, kembalikanlah kepada Al-Qur’an, jika sesuai maka terimalah, jika tidak maka tolaklah.”




[1] Manna’ Al-Qaththan, Mabahits Al-Qur’an.

[2] Thabathabai, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’an, juz 12, h. 99.

[3] Lihat pula penegasan beliau dalam kitab Al-Wafi, 1/273-274.

[4] Syaikh Al-Shaduq, Al-I’tiqat, h. 83-4, cet. 2, Dar Al-Mufid, Beirut, Lebanon, 1993 M (1414 H).

[5] Syaikh Al-Mufid, Awa’il Al-Maqalat, h. 81, cet. 1, Al-Mu’tamar Al-‘Alami, Qom, Iran, 1413 HQ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar