Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Beginilah Wudhu Sang Nabi: Mengapa Usman Menciptakan Hal Baru Dalam Wudhu?

 



MENGAPA USMAN MENCIPTAKAN HAL
BARU DALAM WUDHU?

 

1.  Usman melihat dirinya memiliki kelayakan untuk membuat syariat, sebagaimana dimiliki oleh kedua pen­dahulunya (Abu Bakar dan Umar), karena sesungguhnya dari segi kedudukan dia tidak lebih rendah dari mereka berdua. Mengapa mereka berdua dapat berfatwa menurut pendapat pribadi, sementara dia tidak? Padahal, mereka semua berasal dari satu madrasah, yaitu madrasah ijtihad, dan masing-masing juga seorang khalifah!

2. Dia termasuk orang yang berpendirian teguh dalam menjalankan segala sisi lahiriah agama Keteguhan itu justru dalam hal yang dilarang (oleh agama). Bahkan ketika Masjid Nabawi dibangun, dia hanya mengangkat sebongkah batu sambil nienjauhkan itu dari bajunya. Setelah meletakkan itu, langsung menepukkan kedua tangannya sembari memandangi bajunya. Jika bajunya terkena sedikit tanah, maka dia pun langsung mengibaskannya. Semua itu dia lakukan karena dia seorang yang bersih dan selalu membersihkan diri.[1] Padahal, Ammar bin Yasir yang bertubuh lemah itu dengan ringan membawa dua bongkah batu sekaligus.

      Setiap hari, Usman selalu mandi satu kali,[2] dan tidak menjawab salam orang mukmin apabila dia dalam keadaan berwudhu.[3] Dia sendiri pernah berkata tentang dirinya bahwa dia tidak pernah memegang kemaluannya dengan tangan kanannya semenjak dia berbai’at kepada Rasulullah saw.[4] Dan masih banyak lagi hal lain yang berkaitan dengan sisi kejiwaan yang siap untuk melakukan sesuatu secara berlebihan dan keterlaluan dalam persoalan kebersihan.

3. Usman menggunakan wudhu sebagai sarana kebersihan dan kesucian. Oleh karena itu, dia menganggap bahwa membasuh anggota wudhu dengan tiga basuhan serta membasuh anggota-­anggota wudhu yang seharusnya diusap lebih bersih dan suci. Menurutnya, hal itu tidaklah tercela meski bertentangan dengan sunnah Nabi saw.

4.   Adanya hadis-hadis Nabi yang dapat diman­faatkannya dalam memaparkan wudhu ghasli. Misalnya, dia menggunakan kata-kata, Ihsanul Wudhu'. Sebab, setelah wudhu ghasli-nya, dia berkata:

      “Demi Allah, aku akan menyampaikan se­buah hadis kepada kalian. Demi Allah, kalau bukan karena sebuah ayat yang tertera dalam Kitabullah (al-Quran), tentu aku tidak akan menyampaikan hadis ini kepada kalian... Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seseorang berwudhu dan benar wudhunya, kemudian dia shalat melainkan dosa-dosanya akan diampuni di antara wudhu dan shalat yang dikerjakannya,"[5] Dan dari hadis seperti: Asbighul Wudhu'(sempurnakanlah wudhu), dan hadis:

      Wailun Lil Aqab Minannar, digunakan sebagai dalil membasuh (kedua kaki).

5.    Ketika mengalami pemberontakan kaum muslimin, dia selalu berusaha menonjolkan sisi kesucian dirinya agar para pemberontak itu tak membunuhnya. Dia selalu mengingatkan mereka tentang sikap-sikapnya, sumur Rauma yang dibelinya, dan sebagainya.[6] Semua itu dilakukannya untuk membuktikan bahwa dirinya tetap berada dalam keimanan. Tak luput dari semua itu adalah wudhu baru yang dibuat­nya, yang ditujukan untuk mengobati situasi. Namun, dia malah mengobati luka dengan luka, bukan dengan obat!

6.    Usman selalu berusaha menyibukkan orang-­orang dengan perselisihan dan perdebatan seputar persoalan fikih, dengan tujuan menahan mereka untuk tidak membunuhnya serta tidak terlibat jauh ke dalam kekacauan politik uang dan administrasinya. Pandangan-pandangan seperti inilah yang sering ditonjolkannya. Sayang, hasil yang diporolehnya tak berkesudahan dengan baik. Karena itulah, Imam Ali berkata bahwa perbuatan-perbuatannya telah meng­akhiri dirinya sendiri.[7]

7.  Di antara faktor terpenting munculnya semua bid'ah yang ditebar Usman adalah berkerumun­nya Bani Umayyah di sekelilingnya, sambil berusaha membangun kehormatan fikih dan politik barunya. Faktor inilah yang membuat sebagian sahabat besar Rasulullah saw seperti Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Abbas, dan sahabat­-sahabat lain tidak mau bekerja sama dengannya. Sebab, dia telah membuat suatu "ruang kosong fikih" yang pada akhirnya diisi oleh kelicikan Umawi (Bani Umayyah).

8. Adanya kondisi pasrah pada kebanyakan sahabat. Kondisi ini membuat Usman tak segan-­segan mengetengahkan pendapat pribadinya. Sebab, puncak perlawanan mereka itu berakhir hanya dengan ucapannya, "Ini adalah pendapat pribadiku."[8] Atau ucapan mereka yang mengatakan, "Perselisihan itu adalah sesuatu yang tidak baik."[9] Juga, ucapan yang menye­butkan, "Sesungguhnya Usman adalah imam, maka dari itu aku tidak akan menentangnya."[10] Pada akhirnya semua perkataan tersebut justru memberikan kekuatan tersendiri kepada apa yang diusung Usman bin Affan.

9.  Tersebaruya kondisi ijtihad, dan diterimanya kondisi tersebut oleh kebanyakan sahabat, merupakan salah satu faktor diterimanya apa­ saja yang diketengahkan Usman. Kondisi ini tercipta sebagai hasil dari semua ijtihad dan pendapat pribadi Umar bin Khathab dalam skala yang sangat besar, yang sebelumnya telah diawali oleh pendapat-pendapat pribadi Abu Bakar.

Dari semua hal ini—juga hal-hal lain yang bersifat khusus, yang dapat dipahami dengan jelas oleh orang yang mengetahui kehidupan Usman—kami melihat bahwa alasan-alasan inilah yang mendorong Usman menciptakan wudhu baru dengan cara membasuh tiga anggota wudhu; cara wudhu tersebut tak dise­tujui oleh para sahabat yang patuh menjalankan semua yang diajarkan Rasulullah saw (al- Muta'abbidun).[]

 


[1] Lihat: al-'Aqdul Farid, jil. V, hal. 90 riwayat dari Ummu Salamah.

[2] Dari Himran (budak Usman), "Sejak masuk Islam, setiap hari Usman selalu mandi satu kali. (Musnad Ahmad, jil. I. hal. 76).

Khashaish al-Shahabah, karya Ahmad, jil. I, hal. 466. Dalam kitab al-Muhalla, jil. II, hal. 16, Ibnu Hazm berkata:

"Telah terbukti dengan sanad paling sahih bahwa Usman setiap hari selalu mandi. Tidak diragukan lagi bahwa hari Ju’mat adalah salah satu hari." Tertera dalam kitab riwayat Muslim, jil. I, hal. 207 hadis ke-231, bahwa setiap hari dia mandi lima kali. Pada bagian awal riwayatnya disebutkan, "Himran berkata, “Aku selalu meletakkan air untuk Usman, tiada hari melainkan dia selalu menambah omongannya..."

Para periwayat menafsirkan bahwa setiap hari dia selalu mandi.

Nawawi berkata, dalam syarh-nya atas Shahih Muslim, jil. III, hal. 115, "Maksud ucapannya itu adalah tiada hari yang berlalu kecuali di hari itu dia mandi, dan seringnya dia mandi menunjukkan bahwa dia selalu menjaga kebersihan." Seandainya makna permulaan hadis itu mandi, maka kata-kata terakhir hadis tersebut menekan­kan kebersihannya. Dan mandinya Usman sebanyak lima kali itu dilandasi oleh sabda Rasulullah saw, "Tidaklah seorang muslim yang membersihkan diri kemudian dia menyempurnakan kebersihan yang telah diwajibkan Allah atasnya, kemudian dia mengerjakan lima shalat fardhu, melainkan (shalat itu) menjadi kafarah bagi dosa­dosanya." Sebab, dengan menyatukan kata-kata yang ada dipermulaan hadis dengan yang ada di bagian akhirnya, mereka berhak mengatakan bahwa Usman dalam sehari telah mandi hingga lima kali. Namun mereka justru mengartikan kata-kata terakhir dalam hadis itu dengan wudhu, dan permulaan hadisnya dengan mandi.

[3] Sunan ad-Daruquthni, jil. I, hal. 96; Kanz al-Ummal. jil. IX, hal. 443, hadis ke-26888.

[4] Dia berkata, "Aku tak lagi memegang kemaluanku semenjak aku berbai’at kepada Rasulullah saw !" (Sunan Ibnu Majah, jil. I, hal. 113; al-Muhalla, jil. II, hal. 79; Tarikh Dimasyq, jil. XXXIX, hal. 225.

[5] Shahih Muslim, jil. I, hal. 206 hadis ke-6.

[6] Lihat: Tarikh Thabari, jil. III, hal. 415 dan 434. AlBidayah wa al-Nihayah, jil. VIII, hal. 198 dan 200.

[7] Berkenaan dengan pemerintahan Usman, Amirul Mukminin Ali berkata, "Hingga akhirnya orang ketiga berdiri dengan dada membusung antara kotoran dan makanannya. Bersama sepupunya pun bangkit sambil menelan harta Allah, seperti seekor unta menelan rumput musim semi, hingga talinya putus dan tindakan-­tindakannya mengakhiri dirinya..." (Nahj al-Balaghah, jil. I, hal. 35, khutbah ke-3).

[8] Sebagaimana telah Anda ketahui sebelumnya, tatkala para sahabat menyanggahnya dan menutup semua pintu alasan baginya dalam hal pembaharuan di seputar me­nyempurnakan shalat di Mina, dia merasa cukup hanya dengan mengatakan kepada mereka, "Ini adalah pendapat pribadiku."

[9] Abdullah bin Umar ditanya,."Engkau tidak suka dengan apa yang telah diperbuat Usman (bahwa dia telah menger­jakan shalat empat raka’at di Mina), tetapi kemudian engkau sendiri mengerjakannya empat rakaat (di Mina)?" Abdullah bin Umar menjawab, "Perselisihan adalah sesuatu yang tidak baik!" (Sunan al-Baihaqi, jil. III, hal. 144).

[10] Abdullah bin Mas'ud ditanya, "Bukankah engkau pernah menyampaikan sebuah hadis kepada kami bahwa Nabi (Muhammad ) shalat dua rakaat, dan Abu Bakar juga) shalat dua raka’at (di Mina)?" Abdullah bin Mas'ud menjawab, "Benar, dan sekarang pun aku akan menyam­paikan sebuah hadis kepada kalian, tetapi Usman adalah seorang imam, maka aku tidak akan menentangnya, dan perselisihan itu adalah sesuatu yang tidak baik." (Sunan al-Baihaqi, jil. III, hal. 144)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar