Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Beginilah Wudhu Sang Nabi: Pendahuluan

 



PENDAHULUAN


Sepeninggal Rasulullah Saw, kaum muslimin terbagi menjadi dua kelompok yang masing-masing memiliki pijakan berpikir yang berbeda.

Sebagian sahabat mengajak untuk selalu konsisten pada kesucian hukum-hukum yang disadur dari al-Quran dan al-­Sunnah yang suci, serta menolak al-ra’yu dan A-ijtihad (memberikan fatwa berdasarkan pendapat pribadi - penerj) sebagai ganti dari keduanya. Sementara sebagian sahabat lain berpihak pada prinsip yang mengesahkan pendapat pribadi dan ijtihad sebagai ganti nash. Itu dikarenakan mereka telah mengetahui hakikat-­hakikat hukum dan ruh syariat.

Kelompok pertama telah menapakkan kaki di atas prinsip patuh dan mengindahkan seluruh hukum yang datang dari Allah dan Rasul-Nya, dan sama sekali tak membolehkan diri mereka­ tidak pula selain mereka - untuk mengamalkan hukum-hukum syariat menurut pendapat pribadi serta ijtihad-ijtihad yang tidak ber­sumber pada nash.

Adapun kelompok kedua - yaitu kelompok mujtahidin (orang-orang yang berijtihad)[1] - yang selalu menyampaikan pendapat (berfatwa) di hadapan Rasulullah Saw dan menginginkan sebuah maslahat meski terdapat nash, mereka ini, meski meyakini risalah Rasulullah Saw, tetapi tidak memberikan kesucian serta posisi yang telah diberikan Allah kepada beliau. Dalam banyak kesempatan, mereka memperlakukan beliau seakan-akan manusia yang tidak sempurna, yang terkadang dapat berbuat salah atau benar, mencaci dan melaknat, kemudian memohonkan ampunan bagi orang-orang yang terlaknat.[2]

Terbaginya para sahabat menjadi dua telompok ini merupakan salah satu rentetan faktor yang melatarbelakangi perselisihan di tubuh kaum muslimin di seputar hukum-hukum syariat sepeninggal Rasulullah Saw. Masih banyak lagi alasan-alasan lain yang akan kita sebutkan dalam pembahasan-pembahasan mendatang.

Ya, kelompok penyeru ijtihad ini menjadikan hadis Nabi Saw, "Ikhtilafu Ummati Rahmatun” (perbedaan yang terjadi pada umatku adalah sebuah rahmat)[3] sebagai bukti disyariatkannya perbedaan. Tetapi, benarkah bahwa Ikhtilafu Ummati Rahmatun ini memiliki arti yang harus ditafsirkan? Atau, ia mempunyai makna lain? Apabila makna itu benar (bahwa perbedaan yang terjadi adalah rahmat), maka bagaimana kita mesti menafsirkan sabda Rasulullah Saw, “Janganlah kalian berpecah belah, niscaya kalian akan binasa”[4] dan sabda beliau, "Umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, (hanya) satu yang selamat, sedangkan sisanya berada dalam neraka”?[5]

Mengapakah perbedaan yang terjadi di antara kaum muslimin mencapai taraf seperti sekarang, padahal kitab mereka satu dan mereka juga umat yang satu?

Karena perbedaan itu, Anda dapat melihat adanya orang yang melepaskan kedua tangan­nya di dalam shalat, sedangkan yang lainnya bersedekap; ada yang membuka kedua kakinya dalam shalat, sedangkan yang lain merapat­kannya; ada yang membasuh kedua kakinya dalam berwudhu, sedangkan yang lain meng­usapnya; ada yang mengeraskan bacaan basmalah, sedangkan yang lain tidak mengeraskan bacaannya; ada yang membaca amien, sedangkan yang lain tidak membacanya. Dan yang mengherankan adalah mereka semua menyandarkan semua perkataan dan perbuatan mereka – meski secara lahiriah tampak bertentangan - itu kepada Rasulullah Saw!

Benarkah Rasulullah Saw telah mengatakan atau melakukan semua itu, dan penisbatan - atau semua penisbatan - yang disandarkan kepada beliau itu benar adanya, sebagaimana yang mereka katakana? Ataukah (sebenarnya) beliau hanya melakukan satu perbuatan yang sama dalam semua kondisi itu?

Apabila demikian halnya, dari manakah datangnya perbedaan yang sulit ditolak dan diingkari ini? Apakah kita semua diharuskan mengamalkan syariat Allah atas dasar satu pendapat, ataukah kita diperintahkan untuk berbeda? Bahkan dengan apakah fenomena perbedaan yang dinukil dari satu sahabat itu dapat ditafsirkan? Dan mengapa muncul dua pandangan yang berbeda dalam syariat; yang satu mengajak pada keragaman, sedangkan yang lain mengajak pada kesatuan pendapat?

Seandainya yang dikehendaki oleh pembuat syariat adalah keragaman, mengapa Rasulullah Saw hanya membatasi satu kelompok saja yang selamat dari 73 kelompok dan beliau mengata­kan bahwa sisanya berada dalam neraka?

Bukankah seharusnya menurut penafsiran sebelumnya (teks hadisnya adalah), "Semua kelompok (tujuh puluh tiga) itu benar dan hanya satu kelompok saja yang masuk neraka?" Bahkan tidak hanya itu saja, bukankah seharusnya tidak ada satu kelompok pun yang masuk neraka?

Seandainya yang dikehendaki oleh pembuat syariat adalah satu pendapat (bukan banyaknya pendapat), mengapa keanekaragaman pendapat dibenarkan dan ditekankan? Dan apakah perbedaan itu dapat dibenarkan karena itu adalah rahmat? Apabila demikian, lantas apa arti penekanan Allah atas wahdatu al-kalimah?

Kalau perpecahan memang dikehendaki oleh pembuat syariat, maka apakah maksud ayat ini, “Dan kalau sekiranya al-Quran An bukan dari sis Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(an-Nisa:82).

Dan apa pula maksud dari ayat ini:

”Dan sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan­-Nva. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (al-An’am:153).

Sebenarnya, pendapat tentang perlunya keberagaman pandangan atau pendapat akan perlunya satu pandangan - menurut hemat kami mengacu kepada faktor-faktor terbelahnya kaum muslimin menjadi dua kelompok besar sepeninggal Rasulullah Saw. Dan faktor terpentingnya adalah terpecahnya mereka kepada dua metode berpikir yang mendasar:Pertama, metode ta'abbud (taklid atau kepatuhan murni terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan Rasulullah Saw), yang setuju pada kesatuan pandangan. Dan Kedua, metode ijtihad dan ra'yu, yang setuju pada terjadinya keragaman pandangan.

Kedua metode di atas telah kami bahas secara terperinci dalam pembahasan kami yang bertemakan sebab-sebab pelarangan penyusunan hadis nabi. Dalam pelajaran tersebut, kami telah menjelaskan asal-muasal timbulnya rayu dan ijtihadi kalangan orang-orang Arab pra-Islam, pandangan-pandangan mereka tentang Rasulullah Saw, dan cara mereka memperlakukan beliau sebagai orang biasa yang ter­kadang berbuat salah dan kadang berbuat benar, dan adakalanya mengeluarkan kata-kata yang dilandasi amarah, bahkan menurut pemahaman sebagian mereka, beliau tak ubahnya bagaikan seorang penguasa yang berjuang dan menuai kemenangan. Semua ajarannya adalah keten­tuan-ketentuan yang bermuara kepada diri sendiri dan sama sekali tak bermuara kepada Allah Swt.

Agama Islam - demi mempersatukan umat manusia - datang membawa kesaksian (tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Kesaksian pertama, ditujukan untuk menyatukan orang-orang Arab dan penduduk seluruh alam semesta dalam satu keyakinan. Yakni, meyakini keesaan Sang Ma’bud (Allah) serta meninggalkan tuhan­ sesembahan dan berhala-berhala mereka. Adapun kesaksian kedua ditujukan untuk menghindari banvaknya pemimpin, pertikaian etnis, dan mengajak kepada satu pemimpin, yaitu rasul (utusan) kemanusiaan.

Dengan kata lain, Islam ingin menyatukan ideologi mereka di bawah panji Allah Swt, dan menjadikan Muhammad putera Abdullah sebagai pemimpin spiritual, politik, dan sosial. Alasannya, kesatuan pemikiran dan kepemimpinan adalah salah satu sebab yang dapat memperkuat serta mengangkat harkat dan martabat umat. Ini berbeda dengan keragaman (tidak adanya kesatuan pandangan dan kepemimpinan – penerj), yang menjurus kepada perpecahan, perbedaan, dan kelemahan.

Berikut ini akan kami berikan kepada Anda gambaran global tentang ta'abbud (kepatuhan dalam menjalankan ritual keagamaan tanpa menambah atau mengurangi apa yang telah digariskan oleh agama - penerj). dan al-muta'abbidun (orang-orang yang taklid - ­penerj), serta ijtihaddan al-mujtahidun (orang­-orang yang memahami Islam sesuai dengan pendapat pribadinya, tanpa memperdulikan per­tentangannya dengan nash - penerj) dan peran masing-masing di antara keduanya berkenaan dengan wudhu Rasulullah Saw.[]



[1] Ijtihad yang dilarang oleh Allah, Rasul, dan Ahlul Bait adalah ijtihad yang bermakna memberikan fatwa dengan pendapat pribadi - seperti halnya qiyas, istihsan, masha­lih mursalah, dan sebagainya - dengan meninggalkan nash-nash al-Quran dan hadis, atau dengan cara memper­mainkan semua pengertiannya.

[2] Lihat: Shahih Muslim, jil. IV, hal. 90/2008; Musnad Ahmad, jil. II, hal. 316-317, 449, dan jil. II1, hal. 400.

[3] Syarh Nawawi 'ala Shahih Muslim, jil. XI, hal 91; al­-Jami'al-Shaghir, karya Suyuthi, jil. I, hal. 48.

Al-Manawi dalam kitab Faidhul Ghadir, jil. I, hal. 209 berkata, "Aku tak menemukan sanad yang shahih di dalamnya."

Dan dalam kitab Kanz al-Ummal, jil. X, hal. 136, setelah menyebut hadis ke- 28686, kemudian berkata, "Nashr al-Muqaddasi dalam kitab al-Hujjah, dan al-Baihaqi dalam Risalah al-Asy'ariah tanpa sanad, dan al­-Hulaimi, al-Qadhi Husain, Imam Haramain, dan selain­nya telah menyebutkan hadis tersebut, dan mungkin hadis itu dikeluarkan pada sebagian kitab-kitab hadis yang belum sampai kepada kita!!"

Menurut Ahlul Bait, hadis ini dianggap shahih dan Imam al-Shadiq sendiri telah menafsirkan bahwa maksud hadis itu adalah lalu-lalangnya mereka di banyak negara setelah mereka berbekal ilmu pengetahuan dengan tujuan memberikan peringatan kepada umat manusia dan meng­ajarkan hukum-hukum kepada mereka. Lihat kitab Ilal al-Syarayi, jil. I, hal. 85; Ma'ani al-Akhbar, hal. 157.

Lihatlah bagaimana mereka menerima hadis tersebut meski menurut mereka sanad hadis itu tidak sahib.

[4] Al-Mushannif, karya Ibnu Abi Syaibah, jil. VIII, hal. 161/hadis ke-27.

[5] Lhatlah hadis tersebut dengan lafal-lafal yang berbeda tetapi memiliki kandungan makna yang sama di dalam kitab:

Tuhfatul Ahwadzi, jil. VII, pal. 333.

Al-Mu’jamul Kabir, karya Thabrani jil. XVIII,pal. 15.

Kanzal-Ummal,jil. I, hal. 377/hadis ke-1637.

Syawahid al-Tanzil, jil. I, hal. 270; dan

Tafsir Al-Qurthubi, jil. II, hal. 9.

Dalam kitab Mustadrak al-Hakim al-Naisaburi jil. III, hal. 547 dengan sanadnya dari 'Auf bin Malik, yang berkata. "Rasulullah Saw bersabda, "Umatku akan terpecah menjadi tiga golongan, fitnah terbesar yang akan menimpa umatku akan menimpa umatku adalah suatu kaum yang meng­qias-kan segala perkara dengan pendapat pribadi mereka; mereka akan inengharamkan yang halal dan menghalalkan yang harem .” Dan hadis ini juga disebutkan dalam kitab:

Al-Muhalla karya Ibnu Hazim jil. I, hal. 62. Mustadrak al-Hakim, jil. IV, hal. 430.

Mqjma'al-Zawaid, jil. I, hal. 179.

Al-Mujam al-Kabirkarya Thabrani jil. XVIII, hal. 51.

Musnad al-Syamiyyin, jil. II, hal. 143.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar