KESIMPULAN
Dari semua penjelasan yang lalu, tampaklah
sebuah hakikat yang sangat jelas bahwa
orang-orang yang menentang wudu
Usmani itu tidaklah muncul secara tiba-tiba dan hadir di kancah fikih
Islam dengan kemunculan yang tak diharapkan. Bahkan yang benar adalah
kebalikannya. Itu terjadi karena suatu
rangkaian mata rantai ijtihad-ijtihad yang bertentangan
dengan al-Kitab dan al-Sunnah, dari satu sisi.
Di sisi lain,
karena mata rantai penentangan para
khalifah terhadap penyusunan serta
periwayatan hadis. Di samping itu, desakan sebagian besar
sahabat-sahabat terkemuka untuk terus melanjutkan penyusunan dan periwayatan
hadis, kembalinya para penghalang, dibukanya pintu ijtihad dan al-Ra'yu, dan
tetapnya kelompok muta'abbid dengan taklid murni mereka, serta
pelarangan untuk mengamalkan Ijtihad dan al-Rayu.[1]
Ketika Abu Bakar dan Umar membuka pintu
Ijtihad dan al-Rayu khusus untuk mereka berdua,
maka pada saat yang bersamaan itu membuka
kesempatan bagi seluruh sahabat setelah
mereka berdua. Inilah konsekuensi alamiah
yang muncul karena mereka berdua telah
menutup pintu penyusunan dan periwayatan hadis dan meyakini legalitas
keragaman pandangan serta dimungkinkannya pendapat-pendapat pribadi mereka
menjadi hujjah.
Sebenarnya,
alasan Umar menyerahkan kendali pemilihan khalifah ketiga
dalam Syura kepada Abdul Rahman bin Auf adalah untuk
memberikan penekanan agar semuanya patuh kepada
kelompok yang di dalamnya terdapat Ibnu
Auf, dengan syarat mengikuti "tradisi yang telah ditetapkan oleh Syaikhain".[2] Syarat inilah yang ditekankan oleh
Abdul Rahman bin Auf ketika dia membaiat Usman.[3]
Adapun Imam Ali bin Abi Thalib
sendiri menolak syarat baru yang dikait-kaitkan
dengan syariat tersebut dan yang telah mereka tetapkan tanpa nash dari al-Quran serta bukti apapun
dari sunnah Rasulullah saw. Dalam hal
ini, beliau mendapat banyak dukungan dari sahabat-sahabat besar.
Masa di mana
Usman tidak lagi komit dengan tradisi Syaikhain itu telah
menjerumuskannya dalam pertikaian-pertikaian sengit dengan sahabat-sahabat
besar, khususnya Abdul Rahman bin Auf. Sebab, yang terakhir ini berpendapat bahwa ijtihad hanyalah hak Syaikhain dan tak boleh dimiliki
selainnya. Sementara. Usman berpendapat
bahwa dia juga memiliki hak untuk ber-ijtihad sebagaimana Syaikhain.
Dia beralasan bahwa dia tidak
memiliki kedudukan yang lebih rendah
ketimbang mereka berdua. Tindakan Usman ini menyulut permusuhan antara
mereka berdua, yang terus berlangsung hingga Abdul
Rahman bin Auf menemui ajalnya dalam keadaan
tak mau berbicara dengan Usman.
Kaidah
"tradisi Syaikhain" telah menanamkan pengaruhnya,
bahkan juga mempengaruhi kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, meski beliau tidak mewajibkan dirinya menerima tradisi tersebut
dan tidak pula berjanji menjalankan pemerintahan sesuai dengan tradisi Syaikhain.
Bahkan pada hari Syura itu beliau telah menolaknya dengan tegas.[4]
Dan tatkala
orang-orang mendatanginya untuk berbaiat, beliau menerima baiat
mereka dengan syarat bahwa beliau akan mengarahkan mereka sesuai dengan
al-Quran dan apa yang beliau ketahui dari Sunnah Rasulullah saw. Mereka pun
menerima tawaran beliau, tetapi kemudian mereka tidak menepati janjinya di
berbagai tempat, seperti shalat tarawih dan Tanah
Fadak,[5] dan sebagainya.
Ali benar-benar sangat menderita dengan adanya metode ini (Ijtihad dan al-Ra’yu), karena dengan berlalunya
waktu, dua metode tersebut telah mewariskan kerusakan-kerusakan dalam agama
yang tiada henti.
Ringkasnya,
yang menonjol di kancah Islam adalah metode ijtihad dan al-ra’yu sebagai
hasil dari adanya dukungan kekuatan
pelaksana (khalifah dan pemerintah) bagi metode ini. Dengan begitu, metode ta'bbud dengan penyusunan
periwayatan hadis Rasulullah saw tak memiliki kemampuan untuk menghantarkan manusia
ke jalan yang benar.
Inilah yang membuat Umar berani memberikan sanksi kepada siapa saja yang
berbicara dengan mengutip dari Rasulullah saw.[6] Juga, membuat Usman bin Affan mudah
untuk bersikap seakan-akan tidak tahu
tentang hadis-hadis sahih dari Rasulullah saw tentang wudhu, dengan
ucapannya, "Mereka memperbincangkan hadis-hadis yang tidak aku ketahui
apa itu!”
Ya, Usman telah mengingkarinya dan
seakan-akan tak pernah mendengar sebelumnya serta tak pernah mendapati
Rasulullah saw mengucapkan dan mengamalkannya sepanjang umur risalah suci
beliau!
Tradisi pelarangan
meriwayatkan hadis dan berfatwa ini juga
dilakukan oleh Usman bin Affan. Karena
ulah Usman ini, Abu Dzar, Ibnu Mas'ud, Ammar
bin Yasir dan orang-orang seperti
mereka hidup dalam tekanan yang sangat keras; karena mereka tidak
mengindahkan larangan pemerintah tersebut.
Persoalan (pelarangan) ini terns
bergulir hingga masa al-Hajjaj bin
Yusuf al-Tsaqafi; di mana dia memberi tanda di lengan Jabir bin Abdullah
al-Anshari, dan di leher Sahl bin Sa'ad
al-Sa'idi al-Anshari dan Malik bin
Anas al-Anshari. Perbuatan itu dilakukannya untuk menghinakan mereka.
Dia juga ingin agar orang-orang menjauhi mereka dan tidak mendengar ucapan
sahabat-sahaba tersebut.[7] Dalam kitab al-Mihan karya Abul Arab al-Tamimi
disebutkan bahwa al-Hajjaj juga menandai tangan al-Hasan
al-Bashri dan Ibnu Sirin.[8]
Kalau begitu, arus pemikiran fikih
yang bertentangan dengan wudhu Usman bin Affan ini bukanlah sebuah arus baru,
melainkan muncul bersamaan dengan bermulanya
periwayatan hadis Rasulullah saw,
yang bertentangan dengan metode ijtihad dan al-ra'yu.
Orang-orang yang dimaksud dalam hadis-hadis
wudhu Usman itu adalah sahabat-sahabat besar
atau penerus mereka. Mereka itulah yang menentang
pelarangan periwayatan hadis beserta penyusunannya, dan mereka pula yang
berpendapat bahwa hukum-hukum itu tauqifi (merupakan hak cipta sang
pembuat syariat) yang tidak bisa ditambah dan
dikurangi siapapun. Karenanya, hukum-hukum itu tidak memberi ruang bagi ijtihad dan al-ra'yu khususnya ketika terdapat nash, baik itu al-Quran
maupun sunnah Rasulullah saw.
Sebagaimana
diketahui, sahabat-sahabat yang memandang pentingnya penyusunan
hadis itu adalah para penganut dan pembela wudhu Tsuna'i al-Mashi atau setidaknya mereka bukan para pembela wudhu Tsulatsi al-Ghash. Dari
satu sisi, masalah ini membuktikan adanya keterikatan antara para penyusun hadis dengan metode taabbud dalam
hal wudu, dan di sisi lain antara para pelarang penyusunan
hadis dengan jalur ijtihad dan al-ra'yu. Bahkan Abdullah bin Umar—yang
termasuk orang yang menentang semua ijtihad
ayahnya, Umar[9]—tidak berpendapat al-Mashu alai Khuffain (mengusap
bagian atas kedua sepatu), karena dia pernah mendengar hadis Rasulullah saw
yang tidak membolehkan itu (dalam berwudhu). Melakukan hal tersebut tak
dianggap sebagai bagian dari wudhu, dan
Riwayat
menyebutkan bahwa dia telah sepakat dengan pendapat orang-orang
(bahwa ayat tersebut menjelaskan tentang pengusapan bagian atas kedua kaki
bukan bagian atas kedua sepatu—penerj). Kemudian
dia kembali kepada pendapatnya semula, yaitu diperbolehkannya mengusap bagian atas kedua sepatu. Namun yang
penting di sini adalah bukti bahwa pada masa hidupnya dia termasuk orang-orang
yang tak membolehkan mengusap bagian atas kedua sepatu. Karena itu, sikapnya
tentang persoalan wudhu pada saat itu tak
dapat diacuhkan, khususnya apabila kita melihat sikap-sikapnya dalam
membela hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh
Islam serta keberaniannya dalam menentang
semua ijtihad ayahnya sendiri (Umar).
Di sini, menjadi kuatlah keaslian
dan kebenaran
metode wudhu. Setelah itu, tidaklah penting bagi kami apakah Ibnu Umar kembali
atau tidak dari pendapat awalnya, dan meyakini pendapat yang membolehkan pengusapan bagian atas sepatu. Itu
kembali kepada situasisituasi di mana dia tinggal. Sebab, dia terkenal sebagai
orang yang plin-plan
dalam semua sikap yang
berkaitan dengan urusan politik. Sebab di masa-masa
akhir hayatnya, dia bergabung dengan para penguasa Bani Umayyah.
Tetapi yang benar adalah bahwa kelompok ta'abbud murni
dan (kelompok) periwayatan hadis terus
bekerja keras pada masa Imam Ali bin Abi Thalib. Karena itu, kita dapat
melihat tulisan surat Imam Ali kepada Muhammad bin Abu Bakar—gubernur beliau
untuk Mesir[11] - dan sikap-sikap lain beliau dalam hal
wudhu dan segala persoalan yang menyangkut hukum, menekankan banyaknya
hukum-hukum syariat yang sebelumnya sudah sangat jelas, yang di antaranya adalah wudhu Tsuna'i al-Mashi, shalat,
dan masalah-masalah hukum syariat
lainnya yang jelas. Dan Ali sendiri adalah pelopor Madrasah Ta'abbud dan
mengajak dibukanya pintu penyusunan serta periwayatan hadis.
Ya, Imam Ali telah bersungguh-sungguh untuk menghapus
semua bekas-bekas yang ditinggalkan oleh pemerintahan-pemerintahan sebelum beliau, yang diakibatkan oleh berulangulangnya ijtihad. Beliau terus-menerus menekankan
pentingnya mengikuti konsep ta'abbud dan mengikuti jejak Rasulullah saw
dalam seluruh hukum dan perbuatannya.
Dengan begitu, wudhu adalah persoalan
yang tak dapat dipisahkan dari persoalan
periwayatan dan penyusunan hadis, dan tak akan pernah bisa dipisahkan dari persoalan ijtihad dan ta'abbud.
Sebab, para pelopor ta'abbud murni itu adalah para pelopor wudhu Tsuna'i Mashi, dan
para pelopor ijtihad - yang hidup
di masa Usman dan setelahnya—adalah para pelopor wudhu Tsulatsi Ghasli. Dan
kita tak lupa bahwa Usman telah menegaskan
bahwa para penentangnya dalam kasus
wudhu itu adalah orang-orang dari kalangan muhadditsin (para
periwayat hadis Rasulullah saw), dengan ucapannya, "Orang-orang berbicara (dengan menukil) dari Rasulullah
saw ...”[]
[1] Lihat rinciannya dalam kitab kami (Man'u Tadwinil Hadis, Asbabuhu wa Nataijuhu).
[2] Tarikh Thabari, jil. II, hal. 586; al-Bidayah wa al-Nihayah, jil. VII, hal. 146; Subulul Huda wa al-Rasyad, jil. XI, hal. 278.
[3] Ibid.
[4] Silahkan merujuk ke Akhbar
al-Syura fi Tarikh alThabari dan kitab lainnya.
[5]
Dalam kitab al-Kafi, jil. VIII, hal. 58 hadis ke-21 dengan sanad-nya dari
Sulaim bin Qais dalam sebuah hadis yang panjang disebutkan bahwa Ali menghadapi
semua orang. Sementara Ahlul Bait,
orang-orang terdekat, beserta syiah-nya berada di sekitarnya, seraya
berkata, "Para pemimpin sebelumku telah melakukan banyak perbuatan yang
menentang Rasulullah saw. Mereka melakukan itu dengan sengaja untuk menentangnya; mereka tidak menepati janji
mereka, mereka mengubah sunnahnya. Sementara
semua orang telah meninggalkan sunnahnya, aku berusaha untuk menempatkannya pada posisinya semula, persis seperti apa yang ada pada zaman Rasulullah
saw ... (Maka mulailah tentaraku meninggalkanku).
Bukankah kalian lihat bagaimana Maqam Ibrahim
telah dipindahkan dan aku telah mengembalikannya ke tempat di mana
Rasulullah saw pernah meletakkannya. Dan aku
telah mengembalikan tanah Fadak
kepada ahli waris Fathimah... Demi Allah, aku telah perintahkan
orang-orang untuk tidak shalat berjama’ah di bulan suci Ramadhan kecuali shalat
fardhu, dan aku telah beritahukan kepada mereka bahwa shalat berjama’ah mereka dalam shalat-shalat nafilah (tarawih)
itu adalah bid'ah. Maka mulailah
sebagian tentaraku saling menyeru,
“Wahai kaum muslimin, sunnah Umar telah diubah!” Sungguh aku tidak
menjumpai perpecahan dan kepatuhan terhadap
para pemimpin kesesatan dan para penyeru neraka dari umat ini."
[6] Dalam kitab Mukhtashar al-Tarikh, jil. XVII,
hal. 101 diriwayatkan dari Abdul Rahman bin
Auf, bahwa dia berkata, "Umar bin
Khathab tidak meninggal dunia, kecuali dia telah mengumpulkan
sahabat-sahabat Rasulullah saw dari segala penjuru. Di antara mereka adalah
Abdullah bin Mas'ud, Hudzaifah bin al-Yaman, Abu Darda', Abu Dzar al-Ghifari,
dan Uqbah bin Amir (Abu Mas'ud al-Anshari), seraya berkata, “Mengapa kalian menyebarluaskan hadis-hadis
Rasulullah saw ke segala penjuru?!” Mereka
berkata, “Apakah engkau melarang kami?”
Umar menjawab, “Tidak, ambillah dariku,
tidak, demi Allah, janganlah kalian
meninggalkanku selama aku masih
hidup, karena sesungguhnya kami lebih mengetahui dari kalian, kami
mengambil dari kalian dan akan mengembalikannya kepada kalian.” Dan mereka pun
tidak meninggalkannya sampai dia meninggal dunia.
Dalam kitab Syaraf Ashhabil Hadis karya al-Khathib
al-Baghdadi, hal. 20, disebutkan bahwa Umar meminta Abdullah bin Mas'ud, Abu
Darda', dan Abu Mas'ud al-Anshari untuk
menghadapnya. Kemudian dia berkata kepada
mereka, “Apa maksud kalian dengan menyebarluaskan
hadis Rasulullah saw?!" Karena perbuatan
mereka itu, Umar menjebloskan mereka ke dalam penjara di Madinah.
[7]
Usdul Ghabah (Ibnul Atsir), jil. II,
hal. 472 tentang biografi Shal bin Sa'ad al-Sa'idi.
[8] Kitab al-Mihan, hal. 428-429 sama seperti yang tercantum dalam kitab al-Fikrul
Ushuli karya Abdul Majid al-Shaghir.
[9] Lihat: Man'u Tadwini al-Hadis, karya penulis, hal. 256262.
[10] Masalah ini telah kita jelaskan
sebelumnya dengan manyadur riwayat dari Musnad Ahmad, jil. I, hal. 366.
[11]
Lihat: al-Gharat karya
a1-Tsaqqfi, jil. I,
hal. 251-254; Syarh Nahj al-Balaghah, jil. VI, hal. 73.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar