HARUN AL-RASYID DAN WUDHU
Ketika tampuk kekuasaan jatuh ke tangan Harun al-Rasyid—yang masa pemerintahannya
berada di puncak kejayaan Bani Abbas dan kejayaan mazhab—dia juga mengikuti
jejak para pendahulunya dalam hal menolak Imam Ali dan Ibnu Abbas, walaupun yang kedua (Ibnu Abbas) adalah kakek mereka sendiri, serta menolak
ajaran para imam Ahlul Bait, baik dalam hal
pemikiran maupun hukum. Perbincangan yang terjadi antara al-Mahdi dan
Syuraik terus bergulir, sampai ketika Harun
al-Rasyid tiba di Kufah dan melepas jabatan hakim darinya.[1]
Di sini kami tidak menganggap perlu menyebutkan kezaliman
Harun al-Rasyid terhadap Alawiyyin (anak cucu Rasulullah saw). Namun
yang ingin kami tekankan di sini adalah penyerangannya
mereka dalam hal hukum agama, ditambah lagi dengan penyerangan terhadap
mereka dalam hal politik dan militer.
Seseorang datang menemui Harun al-Rasyid dan mengabarkan padanya tentang tempat tinggal
Yahya bin Abdullah bin al-Hasan, serta menjelaskan postur, pakaian, dan perkumpulannya.
Al-Rasyid belum puas dengan keterangan yang diberikan orang itu. Malah, dia
bertanya kepadanya, "Apakah engkau mengenal Yahya?"
Dia menjawab, "Sudah lama, dan pengenalanku di masa
lalu itulah yang menguatkan pengetahuanku kemarin."
Al-Rasyid berkata, "Kalau begitu,
jelaskan dia untukku."
Dia menjawab, "Bertinggi sedang,
berkulit sawn matang, botak, indah kedua matanya, dan berperut besar."
Al-Rasyid berkata, "Benar,
dialah orangnya. Perkataan apa yang pernah
kau dengar darinya?"
Dia menjawab, "Aku tak mendengar
dia berkata apa-apa, kecuali ketika
kuperhatikan, aku melihat budaknya yang kukenal. Ketika waktu shalat
tiba, dia membawakan pakaian bersih dan
mengalungkannya ke leher sang tuan dan melepas jubahnya yang terbuat
dari bahan wol untuk dicuci. Setelah
matahari menyingsing, dia shalat. Kukira dia mengerjakan Shalat Asar.
Dia memperpanjang shalatnya di bagian dua rakaat pertama dan menghapus kedua
bagian terakhir."
Al-Rasyid
berkata kepadanya, "Semoga Allah mencurahkan
rahmat-Nya kepada ayahmu. Sungguh kuat daya ingatmu. Itu adalah Shalat Asar dan
itulah waktu bagi kaum tertentu.”[2]
Al-Rasyid belum yakin dengan semua omongan dan penjelasan orang itu tentang Yahya,
sampai tatkala orang itu menjelaskan waktu Shalat Ashar yang didirikannya serta
penggabungan dua shalat, dari sinilah al-Rasyid mengetahui kebenaran omongan
serta pengetahuan orang itu tentang Yahya. Ini menunjukkan
adanya intervensi buruk para penguasa dalam segala bidang berkaitan dengan
fikih.
Adapun yang
berkait dengan wudhu, al-Rasyid telah menjadikannya sebagai satu kasus yang dengannya orang-orang Syiah dapat dikenali. Karena
alasan ini pula dia dapat menjatuhkan
hukuman, dan dengan cara ini pula dia
berusaha menjatuhkan hukuman kepada Ali bin Yaqthin.
Diriwayatkan dari Muhammad bin
al-Fadhl yang berkata, "Terjadi perbedaan pendapat di kalangan kami
tentang mengusap kedua kaki dalam wudhu; apakah ia dimulai dari jari-jari hingga
mata kaki ataukah dari mata kaki hingga jari-jari?
Oleh karena
itu, Ali bin Yaqthin menulis
Semoga diri saya menjadi tebusan Anda. Kawan-kawan kami telah
berselisih paham tentang pengusapan kedua kaki. Insya Allah Anda berkenan untuk
membalas
Abul Hasan menulis
Aku mengerti apa yang kau sebutkan
tentang perselisihan yang terjadi dalam hal
wudhu. Dan yang kuperintahkan kepadamu adalah hendaknya engkau
berkumur-kumur tiga kali, membersihkan hidung tiga kali, membasuh wajahmu tiga
kali, menyela bulu cambangmu, membasuh kedua tanganmu sampai dua siku sebanyak
tiga kali, mengusap seluruh bagian kepala, mengusap bagian dalam dan luar
kedua telingamu, dan membasuh kedua kakimu sampai mata kaki sebanyak tiga kali.
Dan janganlah engkau berpaling kepada selain (yang kuajarkan ini).
Ketika Surat itu sampai ke
tangan Ali bin Yaqthin, dia merasa heran dengan apa yang dituliskan beliau untuknya—yang
bertentangan dengan apa yang disepakati
oleh kalangan Syiah. Ali bin Yaqthin
kemudian berkata, "Imamku lebih
tauu tentang apa yang beliau ucapkan, dan tugasku hanyalah mengindahkan
perintahnya."
Dia pun berwudhu sesuai
dengan apa yang dituliskan Imam untuknya. Dengan begitu, apa yang dilakukannya
berbeda dengan apa yang dilakukan seluruh orang Syiah, demi menaati perintah Abul
Hasan (Imam Musa al-Kazhim).
Perkara
Ali bin Yaqthin telah diadukan kepada Harun al-Rasyid. Kepada al-Rasyid dikatakan, "Sesungguhnya dia (Ali bin
Yaqthin) adalah seorang rafidhi dan penentang Anda."
Menanggapi
hal itu, al-Rasyid berkata kepada sebagian orang terdekatnya, "Sudah banyak
sekali laporan dan tuduhan yang sampai padaku tentang Ali bin Yaqthin dalam hal penentangannya padaku dan
kecondongannya kepada aliran Syi’ah. Sementara, aku tidak pernah menemukan
kesalahan dalam melayaniku, dan aku telah mengujinya berkali-kali.
Sejauh ini tudingan tentangnya tak pernah terbukti. Aku ingin membersihkan
perkaranya dengan cara yang tidak diketahuinya, sehingga dia dapat selamat dari hukumanku."
Maka dikatakan kepada
al-Rasyid, "Wahai Amirul Mukminin, orang-orang rafidhi berbeda dengan kebanyakan orang dalam hal wudhu. Dan Anda tidak akan melihat basuhan dua kaki.
Maka, ujilah dia dengan cara melihat wudhunya dari tempat yang tidak diketahuinya."
Al-Rasyid berkata,
"Inilah cara yang benar untuk
mengujinya."
Kemudian, al-Rasyid
membiarkan Ali bin Yaqthin sesaat dan membebani urusan di rumahnya. Hingga
ketika masuk waktu shalat, Ali bin Yaqthin
masuk ke dalam sebuah kamar khusus untuk wudhu dan shalat. Ketika masuk waktu shalat, al-Rasyid
berdiri di balik dinding kamar yang ditempat itu dia dapat melihatnya, sementara Ali bin Yaqthin tak dapat melihatnya. Ali
bin Yaqthin minta diambilkan air untuk berwudhu,
kemudian berkumur-kumur tiga kali, dan ber-istinsyaq tiga kali,
membasuh wajahnya, menyela bulu cambangnya, membasuh kedua tangannya sampai
kedua siku-siku sebanyak tiga kali, mengusap kepala dan kedua telinganya, serta
membasuh kedua kakinya.
Sementara itu, al-Rasyid terus
memperhatikan
perbuatannya. Tatkala melihat apa yang telah diperbuat Ali bin Yaqthin,
al-Rasyid tak mampu menahan diri, hingga akhirnya keluar dari tempat
persembunyiannya, seraya berseru, "Hai Ali bin Yaqthin! Bohonglah orang
yang mengiramu termasuk orang-orang
Syiah." Setelah itu, tiada lagi perkara Ali bin Yaqthin yang
merisaukan al-Rasyid.
Setelah kejadian itu, Ali bin Yaqthin menerima
Wahai Ali bin Yaqthin, mulai saat ini
berwudhulah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan
Allah. Basuhlah wajahmu satu kali
sebagai suatu kewajiban dan dua kali untuk menyempurnakannya. Dan sama seperti itu, basuhlah kedua tanganmu dengan diawali dari kedua siku-siku, dan usaplah ujung kepalamu serta bagian atas kedua kakimu dengan sisa air wudhumu.
Kini telah hilang sesuatu yang menakutkan bagimu, wassalam.[3]
Ini merupakan bukti yang cukup untuk menjelaskan bahwa kerajaan dan segala sesuatu yang
berada di sekitarnya—telah menjadikan wudhu
Tsuna'i al-Mashi (mengusap kepala dan bagian atas kedua kaki)
sebagai cara untuk membongkar kaum Syiah dalam istana Harun al-Rasyid. Sebab,
wudhu adalah perkara ibadah yang dilakukan
setiap hari, sebelum shalat, secara berulang-ulang. Ia merupakan tanda fikih
yang paling jelas, yang dengan tanda itu al-Rafidhah dapat dikenali.
Bagaimana pun,
perbedaan seputar wudhu terus bergulir keras. Dalam hal ini telah muncul dua kelompok yang bertolak belakang. Kelompok pertama diwakili oleh ahli
hadis yang berpihak kepada
Madrasah Ta'abbud murni yang tidak man
berpendapat selain yang telah ditetapkan
Rasulullah saw, yaitu wudhu Tsuna'i Mashi. Sedangkan pihak penguasa beserta pengikutnya—dari kalangan
ahli fikih yang melarang periwayatan hadis dan dari kalangan Madrasah Ijtihad
dan al-Ra'yu—tidak berpendapat
selain wudhu Usmani Tsulatsi al-Ghasli (wudhu tiga
basuhan ala Usman).
Ketika
pemerintahan Abbasiyah membatasi mazhab-mazhab Islam hanya dengan empat
mazhab—yang semuanya bersumber dari Madrasah Ijtihad dan al-Ra'yu—dan pandangan-pandangan fikih
mereka disusun dalam sebuah buku, yang di antara
pandangan mereka itu terkandung persoalan
wudhu Usmani yang benar-benar mereka tekankan, sementara mereka
berselisih pendapat dalam persoalan kewajiban,
sunnah, adab (sopan-santun), dan tata caranya, dengan perselisihan yang begitu tajam (yang ingin mengkaji masalah ini
dapat merujuk ke kitab-kitab fikih mereka), dari
sini celah perbedaan di antara mereka semakin melebar sehingga sangat
sulit untuk dirujukkan, maka jadilah dua macam wudhu ini bagai dua garis sejajar yang tak akan pernah dapat
bertemu.[]
[1] Tarikh
Baghdad, jil. IX, hal. 292.
[2] Magatil
at- Thalibin, hal. 310
[3] Al-Irsyad, jil. II,
hal. 227; Manaqib Ibn Syahr Asyub, jil. IV, hal. 288; al-Kharaij wa
al-Jaraih, jil. I, hal. 335; I’lamul Wara, hal. 293.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar