USMAN DAN HAL-HAL BARU YANG DICIPTAKANNYA
Yang tersisa bagi kita adalah menjelaskan
sebab - atau sebab-sebab - yang mendorong Usman menciptakan wudhu baru dengan
model tiga basuhan.
Untuk menjawab hal tersebut, kami melihat
bahwa pertama-tama hendaknya kita meneliti
penyebab kematiannya, karena kita telah sampai pada kesimpulan bahwa
alasan terbesar yang mendorong para pembunuh
untuk membantainya adalah bid'ah-bid'ah
yang dimunculkannya, yang diklaim sebagai bagian dari agama. (Penyebab
kematiannya) bukan hanya terfokus pada sepak terjang dan buruknya pengelolaan
keuangan dan administrasinya. Ini dapat diketahui melalui pertimbangan beber
kasus berikut ini:
1. Thalhah dan Zubair termasuk provokator utama dan yang menjatuhkan
fatwa hukum mati terhadap Usman. Padahal, Usman telah membanjiri keduanya dengan harta yang melimpah.[1] Begitu pula halnya dengan
apa ya dilakukannya kepada Abdul Rahman bin Auf,[2] ditambah lagi dengan
janji Usman kepadanya sekaitan dengan jabatan khalifah.[3]
Usman juga membanjiri sahabat-sahabat lain
dengan harta - hanya segelintir
sahabat saja yang tak diberinya. Maka, sangatlah tidak logis kalau mereka ingin membunuhnya hanya karena alasan
bahwa dia lebih memprioritaskan sanak keluarganya, padahal mereka sendiri juga
beroleh bagian dari harta yang berlimpah ruah. Akan tetapi, sebab-sebab
yang berunsur keagamaan serta bid'ah-bid'ahlah yang membuat mereka membunuh
Usman bin Affan - mungkin sebagian alasan itu berada dalam banyak hal dimana Thabari
enggan menyebutkannya,[4] dan
mungkin pula semua hal itu merupakan sebab yang dijadikan oleh
orang-orang sebagai alasan untuk membunuhnya,
yang membuat Ibnul Atsir tak mau menyebutkan banyak hal tentangnya.[5]
2. Politik uang dan sistem kasta yang diterapkan
Usman menyebabkan dirinya terisolasi, bukan terbunuh.[6] Dan
dikarenakan sahabat yang ingin membunuh maupun menghinakannya - seperti
ungkapan Ibnu Umar[7] - harus memiliki sebab
yang dapat dijadikan sebagai alas an untuk
menghalalkan darahnya, maka mungkin saja yang dijadikan alasan adalah tindakannya membuat sesuatu yang baru
dalam agama, bukan karena prilaku-prilakunya yang menyimpang saja.
3 Adanya bid'ah-bid'ah di seputar persoalan keagamaan, hukum,
dan keyakinan yang
dilakukan Usman bin Affan, yang berujung pada penghujatan sahabat atas dirinya
dengan cara masing-masing. Kendati demikian, hujatan mereka itu tidak mampu
menghalangi tekad Usman, seperti shalat tamam di Mina,[8] menambahi seruan (azan) ketiga di hari Jumat pada
tahun ketujuh masa kepemimpinannya
yang karena itu orang-orang mencelanya dan mengatakan bahwa yang telah
diperbuatnya itu adalah bid'ah,[9]9
mendahulukan khutbah sebelum shalat dalam dua
shalat hari raya,[10] dan banyak lagi masalah-masalah lain yang menjelaskan munculnya bid'ah
dari Usman dalam sebagian persoalan hukum. Oleh karena itu, tidaklak
mengherankan apabila bid'ahnya merembet ke persoalan-persoalan lain seperti
wudhu.
4. Seluruh prilaku Usman dan bid'ah-bid'ah amaliahnya merembet kepada
bid'ah-bid’ah ilmiah dan diniyah (keagamaan), yang di balik semua itu
tersimpan suatu ancaman serta bahaya bagi
Islam dan hukum-hukumnya. Ketika dia tidak menegakkan hukuman atas al-Walid
bin `Uqbah, itu berarti pembatalan hukum-hukum
Islam, serta ancaman bagi para saksi.[11]
Dan serupa dengan itu pula adalah dukungannya kepada pendapat
Sa'id bin Ash yang mengklaim bahwa al-Sawad adalah kebun milik Quraisy
dan Bani Umayyah. Ini sama saja dengan pembatalan undang-undang pembagian ghanimah (rampasan
perang) yang mereka peroleh dengan pedang-pedang (perang).[12]
Dan penyerahan Tanah Fadak
dan khumus Afrika kepada Marwan.[13] Apabila tanah itu memang
milik Rasulullah saw dan ahli warisnya, itu
berarti pemusnahan undang-undang waris. Dan kalau Tanah Fadak itu adalah
tanah yang didapat dari hasil rampasan perang, maka itu berarti pemusnahan
undang-undang seputar rampasan perang.
Demikian pula dengan bid'ah-bid'ah lainnya.
5. Yang menguatkan semua hal di atas adalah nash-nash yang keluar
dari para sahabat yang hidup pada masa bid'ah-bid'ah dan segala sesuatu yang menunjukkan hal-hal baru di seputar
persoalan keagamaan yang diciptakannya
Contohnya, perkataan
Thalhah kepada Usman:
"Engkau telah membuat hal-hal baru yang
tidak pernah diketahui oleh orang-orang.”[14]
Thalhah juga pernah berkata kepada Usman
"Orang-orang telah berseberangan denganmu, dan mereka tidak suka dengan
bid'ah-bid'ah yang telah kau munculkan."[15]
Dan seperti perkataan Zubair berkenaan
dengan Usman:
“Bunuhlall dia, karena dia telah mengubah agama kalian.”[16]
Seperti juga ucapan Abdullah bin Mas'ud:
“Aku tak melihat saudara kalian (Usman)
melainkan dia telah mengubah (agama)."
Dalam riwayat lain
disebutkan bahwa Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah (al-Quran) dan semua bid'ah
adalah sesat, dan semua kesesatan berada di
dalam neraka."[17]
Dan masih dari
ucapan Abdullah bin Mas'ud:
“Sesungguhnya darah Usman itu halal."[18]
Ammar bin Yasir dalam
Perang Shiffin berkhotbah:
"Orang-orang yang tak peduli apabila
dunia mereka dirampas atau bahkan (tak peduli) seandainya agama ini dihapuskan,
berkata, “Mengapa kalian membunuhnya (Usman)?"
Maka kami pun menjawabnya:
"Kami membunuhnya karena dia telah memasukkan
ajaran baru ke dalam Islam...”[19]
Dan juga ucapannya kepada Amr bin Ash.
"Dia (Usman) ingin mengubah agama kami karena
itulah kami membunuhnya.[20]
Ucapan Sa'ad bin Abi Waqqash tentang
terbunuhnya Usman:
"Kami semua
telah menahan diri. Kalau kami ingin
membelanya, tentu hal itu telah kami lakukan. Tetapi apalah daya, Usman telah
mengubah (agama) dan dia sendiri telah berubah."[21]
Ucapan Hasyim bin al-Mirqal:
"Usman telah
membuat ajaran-ajaran baru dan telah
berseberangan dengan hukum al-Quran."[22]
Ucapan Malik al-Asytar:
"Sesungguhnya Usman telah mengubah
(agama Islam)."[23]
Ucapan Aisyah, sembari
membawa keluar baju Rasulullah saw:
“Inilah bajunya dan (sampai sekarang) rambutnya masih segar, tetapi agamanya telah
usang!"[24]
Dan Aisyah juga pernah berkata:
"Ini adalah baju Rasulullah saw yang
masih belum usang, sementara Usman telah membuat
usang agamanya. "[25]
juga ucapan Aisyah yang menyamakan Usman dengan seorang lelaki Yahudi, "Bunuhlah
Si Na'tsal (maksudnya Usman - penerj), karena dia telah menjadi
kafir.”[26]
Dan ucapan Imam Ali pada hari Syura (di
mana Umar mengumpulkan beberapa orang sahabat, termasuk Imam Ali, untuk menentukan
pengganti dirinya—penerj):
"Sesungguhnya
aku tabu bahwa mereka akan mengangkat Usman sebagai khalifah, dan dia pasti akan membuat bid'ah-bid'ah serta ajaran-ajaran
baru (dalam agama).”[27]
Bahkan sahabat-sahabat Rasulullah saw satu
sama lain saling berkirim
Seluruh muslimin mengetahui bid'ah-bid'ah
Usman, yang ingin dia tutupi, seperti tindakannya memperluas Masjidil Haram. Mereka berkata:
"Dia (Usman)
memperluas masjid Rasulullah saw dan dia
(pula) yang mengubah sunnahnya.”[29]
Bahkan kaum muslimin
melarang jenazahnya dikebumikan di
pemakaman kaum muslimin,[30]
sehingga dia dikuburkan pada malam hari di Hasy Kaukab—tempat pemakaman
orang-orang Yahudi[31]—dalam
ketakutan. Mereka membawanya di atas pintu, sementara kepalanya yang berada di
atas pintu itu mengeluarkan suara yang terdengar seperti orang mengetuk pintu.[32]
Orang-orang yang mengebumikan Usman ingin menshalatinya, tetapi mereka
dilarang oleh sebagian kaum muslimin yang lain.[33]
Itu tidak akan dilakukan oleh
sahabat dan kaum muslimin, kecuali setelah mereka mengetahui
penyimpangan-penyimpangan serta bid'ah-bid'ah Usman dalam persoalan agama, bukan hanya lantaran buruknya prilaku-prilaku serta
merosotnya tingkat ekonomi dan tatanan administrasi Islam saja.
Begitulah, kita dapat
mengetahui bahwa Usman
mempunyai kecendrungan untuk menciptakan ajaran-ajaran baru dan mengubah
(ajaran-ajaran Islam). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan
apabila dia mengetengahkan sebuah pandangan
tentang wudhu dengan model baru, sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya di Mina, Shalat jumat, Shalat ‘Idain (Idul Fitri dan Idul Adha), dan sebagainya. Selain
daripada itu, masih
banyak lagi faktor-faktor yang bersifat
pendidikan, kejiwaan, politik, dan sosial lain yang mendorongnya untuk menciptakan wudhu baru,
condong kepada tiga basuhan, dan kemudian membasuh ternpat-tempat yang harusnya diusap. Di antara faktor-faktor tersebut
adalah di bawah ini.[]
[1] Dalam kitab Thabari, jil.
IV, hal. 405 disebutkan bahwa Usman telah
memberikan uang kepada Thalhah sebesar 50 ribu dan memberinya lagi uang
sebesar 200 sehingga menjadi banyaklah domba-domba dan budak-budaknya. Penghasilannya dari Irak saja setiap harinya
mencapai seribu dinar. Ketika meninggal, warisannya mencapai 3 juta dirham. Dari warisan yang
ditinggalkannya itu terdapat uang
tunai sebesar 2 juta 200 ribu dirham dan 200 ribu dinar. Lihatlah kekayaan yang dimiliki oleh Zubair
dalam kitab al-Fitnatu al-Kubra, ji1. I, hal. 147.
[2] Kekayaan yang dimiliki Abdul Rahman bin Auf berupa seribu unta, seratus kuda, 10 ribu kambing dan tanah untuk bercocok tanam dengan mempekerjakan 20 orang penyiram. Lihat Muruj al-Dzahab, jil. II, hal. 333.
[3] Imam
Ali pernah berkata kepadanya pada Hari Saqifah, "Demi Allah,
engkau tidak melakukannya melainkan karena engkau menghendaki darinya
sesuatu yang dikehendaki oleh temanmu (Umar) dari temannya (Abu Bakar)... " Syarh Nahj al-Balaghah, jil. I, hal. 188.
[4] Lihat Tarikh
Thabari, jil. IV, hal. 557. Dalam kitab itu dia berkata tentang sebab
terjadinya perselisihan antara Usman dan Abu Dzar al-Ghifari, yang wafatnya dalam keadaan terasing di Padang Rabadzah,
"Berkenaan dengan hat itu, para perawi telah meriwayatkan banyak
masalah dan hal-hal keji yang aku enggan menyebutkannya!"
[5] Lihat:
al-Kamil fi al-Tarikh, jil. III, hal. 167, di mana dia berkata, "Kami
telah menyebutkan perjalanan orang-orang yang mengarah kepada pembantaian
Usman, dan kami tidak menyebutkan banyak sebab yang dijadikan orang-orang
sebagai alasan untuk membantainya, karena alasan-alasan
tertentu yang mengharuskan kami untuk tidak menyebutkannya!" Apakah
gerangan yang membuat Ibnul Atsir
enggan menyebutkan alasan-alasannya?
[6] al-Kamil Fi al-Tarikh, jil. III, hal. 167.
[7] Lihat:
Syarh Nahj al-Balaghah, jil. III, hal. 8.
[8] Lihat:
perkataan Ibnu Abil Hadid dalam Syarh Nahj al-Balaghah, jil. I, hal.
199-200.
[9] Ansabul
Asyraf, jil. V, hal. 39 dan al-Muntazhim, jil. V. hal. 7-8.
[10] Fathul
Bari, jil. II, hal. 361; Nailul Author, jil. III, hal. 362; Tarikh
al-Khulafa'. hal. 164-165.
[11] Lihat: Ansab at-Asyraf,
jil. V, hal. 34; Al-Imamah wa al-Siyasah,
jil. I, hal. 37. Dan Shahih
Muslim, jil. III, hal. 1331 hadis
ke 38.
[12] Syarh Nahj al-Balaghah, jil. III, hal. 21 dan 35; Al-Kamil Fi al-Tarikh, jil. III, hal. 141. Dan Tarikh Thabari, IV, hal. 322-323.
[13] Lihat:
al-Ma'arif, hal. 112. Ansab al-Asyraf, jil. V, ml. 25. Dan Al-Imamah wa
al-Siyasah, jil. I, hal. 35.
[14] Ansab
al-Asyraf, jil. V, hal. 29.
[15] al-Futuh,
jil. I, hal. 35.
[16]
Syarh Nahj al-Balaghah, jil. IX, hal. 36.
[17] Hilyatu al-Auliya', jil. I, hal. 138; Ansab
al-Asyraf, jil. V,
hal. 36. Dan Nahj al-Balaghah, jil. III, hal. 42. Ansab al-Asyraf, jil. V, hal.
36.
[18] Ansab al-Asyraf, jil.
V, hal. 36.
[19] Shiffin,
hal. 319.
[20] Ibid,
hal. 338; Syarh Nahj al-Balaghah, jiI.VIII, hal. 22.
[21] al-Imamah wa al-Siyasah, jil. I, hal.
48.
[22] Tarikh
Thabari, jil. V, hal. 43.
[23] Ansab al-Asyraf, jil. V, hal. 45; al-Imainah wa al-Siyasah, jil. I, hal.
38.
[24] al-Mukhtashar Fi Akhbaril Basyar, jil.
I, hal. 172.
[25] Syarh Nahj al-Balaghah, jil. III, hal. 9.
[26] al-Futuh,
jil. I, hal. 64.
[27] Tarikh Thabari, jil. IV, hal. 230.
[28] Tarikh Thabari, "Kejadian Tahun 34
H".
[29] Ansab al-Asyraf, jil. V, hal. 38.
[30] Dalam Tarikh Thabari, jil. III, hal.
440, disebutkan, “Mereka (salah seorang di antara kaum Anshar) berkata, “Tidak,
demi Allah, sampai kapanpun dia tidak boleh dikuburkan di pemakaman-pemakaman
kaum muslimin."
Oleh karena itu, mereka menguburkannya di Hasy Kaukab.
[31] Thabari berkata dalam kitab Tarikh-nya jil. III, hal. 438, "Di Madinah ada sebuah kebun yang disebut dengan
Hasy Kaukab. Orang-orang yahudi biasa menguburkan
orang-orang mati mereka di tempat
tersebut."
[32] Tandzib al-Kamal, jil. XIX, hal. 457. Dalam kitab Tarikh al-Madinah (Ibnu Syubbah), jil. I, hal. 113 disebutkan,
"Orang-orang membawa jenazahnya di atas pintu.
Aku mendengar ketukan kepalanya di atas pintu itu, seakan-akan itu adalah suara ketukan pintu dan berbunyi
tuk-tuk-tuk."
[33] Tandzib al-Kamil,
jil. XIX, hal. 457
Tidak ada komentar:
Posting Komentar