Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Beginilah Wudhu Sang Nabi: Ijtihad dan Para Muj'tahid

 



IJTIHAD DAN PARA MUJTAHID

 

JALAN TA'ABBUD adalah jalan yang benar; jalan yang Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya yang beriman, agar mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti semua jejak dan perintah Rasulullah Saw, menjauhi segala lara­ngannya, dan mengindahkan apa saja yang diiginkannya, berlandaskan kepatuhan, tanpa mencampurinya dengan pandangan-pandangan pribadi atau pandangan yang diwarisi (dari para pendahulu - penerj).

Namun, fakta membuktikan bahwa pada saat itu terdapat sahabat-sahabat yang berani menyalahkan Rasulullah Saw dan mcnentang perkataan-perkataan serta perbuatan-perbuatan beliau. Ini bukanlah sesuatu yang baru dalam (sejarah) agama. Sebab, al-Quran dan al­-Sunnah telah memberitahu kita bahwa hal itu adalah peri kehidupan sejarah agama-agama terdahulu; ada orang-orang yang beriman kepada nabi-nabi mereka dan menjadi orang-orang yang terdekat dengan para nabi; ada yang mendustakannya; dan ada pula di antara mereka yang beriman kepada nabi-nabi itu, tetapi berselisih dan tidak mengetahui dengan benar apa saja yang dibawa oleh nabi-nabi mereka. Atau, mereka memahaminya, tetapi hawa nafsu, pendapat pribadi, kemudian kesalahan-­kesalahan telah memainkan perannya dengan sempurna!

Bagaimana pun juga, tidak diragukan lagi bahwa al-Quran telah mengungkap adanya sahabat-sahabat yang masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kuantitas mereka banyak tetapi tidak konsisten. Mereka tidak memahami kesucian Rasulullah Saw dan seberapa luas lingkup kewajiban menaatinya. Sebab, terkadang mereka memperlakukan beliau seperti manusia yang paling hina; seringkali menentang, menyanggah, dan meninggikan suara diatas suara beliau, dan seterusnya!

Al-Quran telah menjelaskan banyak sekali kondisi yang tidak selayaknya. Allah berfirman:

“Dan tidaklah patut bagi orang-orang lelaki mukmin dan tidak (pula) bagi orang-orang perempuan mukrninat, apabila Allah dan Rasul-­Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dart Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (al-Ahzab:36).

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perse­lisihkan, kamudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa:65).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) seba­gian kamu dengan sebagian yang lain, supaya (pahala) amalan-amalanmu tidak terhapuskan sedangkan kamu tidak sadar.” (al-Hujurat:2).

Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa orang-orang yang dijadikan sebagai lawan bicara oleh Allah adalah orang-orang mukmin yang mengucapkan dua kalimat syahadah, dan mereka bukanlah orang-orang yang melakukan perzinaan, pembunuhan, atau yang lain, tetapi (yang mereka lakukan) adalah meninggikan suara mereka di atas suara Nabi Saw dan me­manggil beliau dengan panggilan yang me­nandakan bahwa mereka tidak menghargai kedudukan yang disandang beliau sebagai nabi; mereka tak menganggap Nabi kecuali hanya sebagai seorang manusia biasa seperti mereka.

Dengan demikian, konsisten dalam meng­amalkan apa yang dikatakan Rasulullah Saw dalam kapasitasnya sebagai seorang nabi tak dapat diharapkan lagi, dan inilah yang menye­babkan munculnya ancaman serius berupa hancurnya dan tidak berartinya semua amal mereka. Contohnya adalah firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kalian. “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah," kalian berasa berat dan ingin tinggal di tempatmu ...?” (at-Taubah:38).

Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya, Allah telah melaknat mereka.” (al-Ahzab:57).

“Apakah tiada kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul...” (al­-Mujadilah:8).

Bahkan berkenaan dengan firman Allah:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya”.

Thabarasi menukilkan bahwa Ibnu Jini menegaskan kalau makna firman Allah itu adalah:

 "Janganlah kalian mengedepankan urusan kalian dan meninggalkan perkara yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan untuk kalian kerjakan."

Dan inilah makna bacaan yang terkenal, yaitu:

"Janganlah kalian dahulukan suatu perkara di atas perkara yang telah Allah perintahkan kepada kalian untuk mengerjakannya."[1]

Semuanya, dan masih banyak lagi ayat al­-Quran yang lain, tidak diragukan telah mene­gaskan adanya kelompok semacam itu dalam tubuh masyarakat Islam dimasa awal Islam. Apabila kita perhatikan ayat-ayat al-Quran dan asbabun nuzul (sebab-sebab turun)nya, dapat dipahami bahwa kelompok di atas tidaklah sedikit dan kecendrungan itu telah membentuk sebuah komunitas yang begitu bestir, baik secara kuantitas maupun kualitas, hingga menyita banyak sekali pemikiran kaum muslimin.

Dalil-dalil Quran saja rasanya belumlah cukup. Bahkan hadis-hadis Nabi Saw telah menegaskan secara ucapan dan perbuatan ada­nya kecendrungan ini dan - sedapat mungkin­ menyanggah dan menyangkalnya, karena kelompok ini tidak hanya membatasi perbuatan dan ijtihadnya dalam lingkup perkataan Nabi Saw saja, bahkan merasuki area al-Quran.

Oleh karena itu, Rasululah Saw bersabda kepada sebagian sahabatnya:

“Mengapa kalian membenturkan sebagian kitab Allah dengan sebagian yang lain? Karena perbuatan inilah umat-umat sebelum kalian binasa."[2]

Dalam nash lain disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

"Apakah Kitabullah (al-Quran) dipermainkan padahal aku berada di hadapan kalian?"[3]

Dalam nash ketiga, Rasulullah Saw bersabda:

"Apakah kalian diperintahkan untuk ini, ataukah kalian tercipta untuk ini? Di mana kalian membenturkan sebagian Kitabullah (al-Quran) dengan sebagian yang lain. Lihatlah, apa yang telah diperintahkan kepada kalian untuk dijalankan, maka ikutilah ia. Dan apa-apa yang kalian dilarang untuk mengerjakannya, maka jauhilah ia.”[4]

Rasulullah Saw telah memberikan peringatan kepada para sahabatnya yang melawan nash-nash al-Quran dan al-Sunnah an-Nabawiah. Itu beliau lakukan karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya menuntut kepasrahan dan mengindahkan apa saja yang difirmankan Allah dan apa saja yang diperintahkan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, tidak adanya kepasrahan terhadap keyakinan tentang kesucian Rasulullah Saw, ucapan-ucapan, serta perbuatan-perbuatan beliau telah mengakibatkan terputusnya keyakinan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya.

Allah telah memperingatkan kesudahan­-kesudahan dari pola pikir seperti ini, dan juga memberitahukan bahwa pemikiran semacam itu akan mengarah pada timbulnya fitnah. Diriwayatkan dari Zubair bin Awwam tentang penafisran firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya ... Dan peliharalah dirimu dari fitnahan yang tidak khusus nienimpa orang-orang zalim. (al-Anfal:24-25).

Dia berkata, "Sudah lama sekali kami mem­baca ayat ini (tetapi selama itu pula) Dia tidak menampakkan kepada kami siapakah mereka (orang yang sebenarnya). Ternyata, kamilah orang-orang yang dimaksud ayat ini."[5]

Al-Suddi berkata, "Ayat itu khusus diturun­kan untuk ahli (yang terlibat dalam peristiwa perang) Badar, (tetapi ayat ini juga) berkenaan dengan mereka pada hari (perang) Jamal."[6]

Lantaran lahirnya pemikiran semacam ini di tengah masyarakat yang baru memeluk Islam adalah persoalan yang sesuai dengan perjalanan sejarah dan berita-berita al-Quran tentang umat-umat terdahulu, maka Allah Swt pun mulai membandingkan kedua kelompok tersebut serta menjelaskan kelompok yang benar. Juga mengungkapkan bahwa ta'abbud murni adalah jalan keselamatan, dan jalan yang dike­hendaki Allah Swt bukanlah jalan ijtihad, ra'yu, yang menafsirkan segala sesuatu menurut selera, nafsu, dan keyakinan yang diwarisi dari para pendahulu. Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenar-benarnya ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apa­bila mereka berada bersama-sama Rasulullah Saw dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah Saw) sebelum meminta izin ke­padanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya ... (an-Nur:62).

Dalam ayat ini, al-Quran menjelaskan bahwa meminta izin kepada Nabi Saw sama dengan iman kepada Allah. Ini dikarenakan orang­-orang yang meminta izin itu memiliki ideologi yang sangat kuat dan pemahaman yang benar tentang wajibnya mematuhi Nabi Saw dan mereka hanya menjalankan apa saja yang di­katakan dan dikerjakan beliau. Tentu ini ber­beda dengan mereka yang tidak berpihak kepada pendapat ini, yang mengambil jalan yang ber­seberangan. Atau, mereka yang menafsirkannya menurut pandangan serta ijtihad mereka sendiri.

Dan masih banyak lagi ayat al-Quran yang berbicara seputar masalah di atas.[]

 



[1] Mqjma'al-Bayan; jil. V, hal. 129.

[2] Kanz al-Ummal, jil. I, hal. 193, hadis ke 977.

[3] Ibid, jil. I, hal. 175 diriwayatkan dari Muslim.

[4] Musnad Ahmad, jil. II, hal. 196. Musnad Abi Ya'la, jil. V, hal. 429, hadis ke 3121 Kanz al-Ummal, jil. I, hal. 383, hadis ke-1661. Dalam Sunan an-Nasai, jil. VI, hal. 142, hadis ke-3401 dengan sanad-nya dari Mahmud bin Labid, dia berkata, "Diberitahukan kepada Rasulullah Saw tentang seorang lelaki yang menalak istrinya dengan tiga talak. Maka, (setelah mendengar berita tersebut) beliau berdiri sambil marah seraya berkata, "Apakah Kitabullah (telah) dipermainkan, sementara aku berada di hadapan kalian?" Seseorang bangun seraya berkata, Wahai Rasulullah Saw, bolehkah saya membunuhnya?"

[5] Tafsir Ibnu Katsir, jil. II, hal. 488-489.

[6]  Ibid.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar