IJTIHAD DAN
JALAN TA'ABBUD adalah jalan yang benar; jalan
yang Allah kehendaki dari hamba-hamba-Nya yang beriman, agar mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mengikuti
semua jejak dan perintah Rasulullah Saw, menjauhi segala larangannya, dan mengindahkan apa saja yang diiginkannya, berlandaskan kepatuhan, tanpa mencampurinya dengan
pandangan-pandangan pribadi atau pandangan yang diwarisi (dari para pendahulu - penerj).
Namun, fakta membuktikan bahwa pada saat itu terdapat
sahabat-sahabat yang berani menyalahkan Rasulullah Saw dan mcnentang perkataan-perkataan serta perbuatan-perbuatan
beliau. Ini bukanlah sesuatu yang baru dalam (sejarah) agama. Sebab,
al-Quran dan al-Sunnah telah memberitahu kita bahwa hal itu adalah peri
kehidupan sejarah agama-agama terdahulu; ada
orang-orang yang beriman kepada nabi-nabi mereka dan menjadi orang-orang
yang terdekat dengan para nabi; ada yang mendustakannya; dan ada pula di antara mereka yang
beriman kepada nabi-nabi itu, tetapi berselisih dan tidak mengetahui
dengan benar apa saja yang dibawa oleh
nabi-nabi mereka. Atau, mereka
memahaminya, tetapi hawa nafsu, pendapat pribadi, kemudian kesalahan-kesalahan telah memainkan perannya dengan sempurna!
Bagaimana pun juga, tidak diragukan lagi bahwa
al-Quran telah mengungkap adanya sahabat-sahabat yang masuk Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kuantitas mereka banyak tetapi tidak konsisten.
Mereka tidak memahami kesucian Rasulullah Saw
dan seberapa luas lingkup kewajiban menaatinya. Sebab, terkadang mereka memperlakukan beliau seperti
manusia yang paling hina; seringkali menentang,
menyanggah, dan meninggikan suara diatas suara beliau, dan seterusnya!
Al-Quran telah menjelaskan banyak sekali kondisi yang
tidak selayaknya. Allah berfirman:
“Dan tidaklah
patut bagi orang-orang lelaki mukmin dan tidak (pula) bagi orang-orang perempuan mukrninat, apabila Allah dan Rasul-Nya
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) tentang
urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai
Allah dart Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang
nyata.” (al-Ahzab:36).
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kamudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (an-Nisa:65).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari
suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian
kamu dengan sebagian yang lain, supaya (pahala) amalan-amalanmu tidak terhapuskan
sedangkan kamu tidak sadar.” (al-Hujurat:2).
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa orang-orang yang dijadikan sebagai lawan bicara
oleh Allah adalah orang-orang mukmin yang mengucapkan dua kalimat syahadah, dan
mereka bukanlah orang-orang yang melakukan perzinaan, pembunuhan, atau yang
lain, tetapi (yang mereka lakukan) adalah meninggikan suara
mereka di atas suara Nabi Saw dan memanggil beliau dengan panggilan yang menandakan
bahwa mereka tidak menghargai kedudukan yang disandang beliau sebagai nabi;
mereka tak menganggap Nabi kecuali hanya sebagai seorang manusia biasa seperti
mereka.
Dengan demikian, konsisten dalam
mengamalkan apa yang dikatakan Rasulullah Saw dalam kapasitasnya sebagai
seorang nabi tak dapat diharapkan lagi, dan inilah yang menyebabkan
munculnya ancaman serius berupa hancurnya dan tidak berartinya semua amal mereka.
Contohnya
adalah firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada
kalian. “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah," kalian berasa berat dan ingin tinggal di tempatmu
...?” (at-Taubah:38).
“Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya, Allah telah melaknat mereka.” (al-Ahzab:57).
“Apakah tiada kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia,
kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan
pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul...”
(al-Mujadilah:8).
Bahkan berkenaan dengan firman Allah:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
mendahului Allah dan Rasul-Nya”.
Thabarasi
menukilkan bahwa Ibnu Jini menegaskan kalau
makna firman Allah itu adalah:
"Janganlah kalian mengedepankan urusan kalian
dan meninggalkan perkara yang telah Allah dan Rasul-Nya perintahkan untuk kalian
kerjakan."
Dan inilah makna bacaan yang terkenal, yaitu:
"Janganlah kalian dahulukan suatu perkara di atas perkara yang telah Allah perintahkan
kepada kalian untuk mengerjakannya."[1]
Semuanya, dan masih banyak
lagi ayat al-Quran yang lain, tidak diragukan telah menegaskan adanya
kelompok semacam itu dalam tubuh masyarakat Islam dimasa awal Islam. Apabila
kita perhatikan ayat-ayat al-Quran dan asbabun
nuzul (sebab-sebab
turun)nya, dapat dipahami bahwa kelompok di
atas tidaklah sedikit dan kecendrungan itu telah membentuk sebuah komunitas yang begitu bestir, baik secara
kuantitas maupun kualitas, hingga menyita banyak sekali pemikiran
kaum muslimin.
Dalil-dalil
Quran saja rasanya belumlah cukup. Bahkan hadis-hadis Nabi Saw telah menegaskan secara
ucapan dan perbuatan adanya kecendrungan ini dan - sedapat mungkin menyanggah
dan menyangkalnya, karena kelompok ini tidak hanya membatasi perbuatan dan ijtihadnya
dalam lingkup perkataan Nabi Saw saja, bahkan merasuki area al-Quran.
Oleh karena itu, Rasululah
Saw bersabda kepada sebagian sahabatnya:
“Mengapa kalian
membenturkan sebagian kitab Allah
dengan sebagian yang lain? Karena perbuatan
inilah umat-umat sebelum kalian binasa."[2]
Dalam
nash lain disebutkan bahwa Rasulullah
Saw bersabda:
"Apakah
Kitabullah (al-Quran) dipermainkan padahal
aku berada di hadapan kalian?"[3]
Dalam nash ketiga,
Rasulullah Saw bersabda:
"Apakah kalian diperintahkan untuk
ini, ataukah kalian tercipta untuk ini? Di
mana kalian membenturkan sebagian Kitabullah (al-Quran) dengan sebagian yang lain. Lihatlah, apa yang telah diperintahkan kepada kalian untuk dijalankan, maka ikutilah ia. Dan
apa-apa yang kalian dilarang untuk mengerjakannya, maka jauhilah ia.”[4]
Rasulullah Saw telah memberikan peringatan kepada para sahabatnya
yang melawan nash-nash al-Quran dan al-Sunnah an-Nabawiah. Itu
beliau lakukan karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya menuntut kepasrahan dan mengindahkan apa saja yang difirmankan
Allah dan apa saja yang diperintahkan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, tidak
adanya kepasrahan terhadap keyakinan tentang kesucian Rasulullah Saw, ucapan-ucapan,
serta perbuatan-perbuatan beliau telah mengakibatkan terputusnya
keyakinan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya.
Allah telah memperingatkan
kesudahan-kesudahan dari pola pikir seperti ini, dan juga memberitahukan bahwa pemikiran semacam itu akan
mengarah pada timbulnya fitnah. Diriwayatkan dari Zubair bin Awwam tentang penafisran
firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul-Nya ... Dan peliharalah dirimu dari fitnahan
yang tidak khusus nienimpa orang-orang zalim. (al-Anfal:24-25).
Dia
berkata, "Sudah lama sekali kami membaca ayat ini (tetapi selama itu pula)
Dia tidak menampakkan kepada kami siapakah mereka (orang yang sebenarnya).
Ternyata, kamilah orang-orang yang dimaksud ayat ini."[5]
Al-Suddi
berkata, "Ayat itu khusus diturunkan untuk ahli (yang terlibat dalam
peristiwa perang) Badar, (tetapi ayat ini juga) berkenaan dengan mereka pada
hari (perang) Jamal."[6]
Lantaran
lahirnya pemikiran semacam ini di tengah masyarakat yang baru memeluk Islam
adalah persoalan yang sesuai dengan perjalanan sejarah dan berita-berita
al-Quran tentang umat-umat terdahulu, maka
Allah Swt pun mulai membandingkan kedua kelompok tersebut serta menjelaskan
kelompok yang benar. Juga mengungkapkan bahwa ta'abbud
murni adalah jalan keselamatan, dan jalan yang dikehendaki Allah Swt bukanlah jalan ijtihad, ra'yu, yang menafsirkan segala
sesuatu menurut selera, nafsu, dan
keyakinan yang diwarisi dari para pendahulu. Allah berfirman:
“Sesungguhnya
orang-orang mukmin yang sebenar-benarnya
ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah Saw
dalam suatu urusan yang memerlukan pertemuan,
mereka tidak meninggalkan (Rasulullah Saw) sebelum meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta
izin kepadamu (Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya ... (an-Nur:62).
Dalam ayat ini, al-Quran menjelaskan bahwa
meminta izin kepada Nabi Saw sama dengan iman kepada Allah. Ini dikarenakan orang-orang yang meminta izin itu memiliki ideologi yang
sangat kuat dan pemahaman yang benar tentang
wajibnya mematuhi Nabi Saw dan mereka hanya
menjalankan apa saja yang dikatakan dan
dikerjakan beliau. Tentu ini berbeda
dengan mereka yang tidak berpihak kepada pendapat ini, yang mengambil
jalan yang berseberangan. Atau, mereka yang menafsirkannya menurut pandangan
serta ijtihad mereka sendiri.
Dan masih banyak lagi ayat al-Quran yang berbicara seputar masalah di
atas.[]
[1] Mqjma'al-Bayan; jil. V, hal. 129.
[2] Kanz al-Ummal, jil. I, hal. 193, hadis ke 977.
[3]
Ibid,
jil.
I, hal. 175 diriwayatkan dari Muslim.
[4] Musnad
Ahmad, jil. II, hal. 196. Musnad Abi
Ya'la, jil. V, hal. 429, hadis ke 3121 Kanz al-Ummal,
jil. I, hal. 383, hadis ke-1661. Dalam Sunan an-Nasai, jil.
VI, hal. 142, hadis ke-3401 dengan sanad-nya dari Mahmud bin Labid,
dia berkata, "Diberitahukan kepada Rasulullah
Saw tentang seorang lelaki
yang menalak istrinya dengan tiga talak. Maka, (setelah mendengar berita
tersebut) beliau berdiri sambil marah seraya
berkata, "Apakah Kitabullah (telah)
dipermainkan, sementara aku berada di hadapan kalian?" Seseorang
bangun seraya berkata, Wahai Rasulullah Saw, bolehkah saya membunuhnya?"
[5] Tafsir Ibnu Katsir, jil. II, hal.
488-489.
[6] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar