Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Beginilah Wudhu Sang Nabi: Al-Muj'tahidun Pada Zaman Nabi Saw

 


AL-MUJTAHIDUN PADA ZAMAN NABI SAW

 

Pada zaman Rasulullah Saw, orang-orang ini memiliki peran sangat besar; mereka memperbolehkan diri mereka rnelakukan suatu perbuatan yang dilarang atau tidak diperintah Rasulullah Saw.

(Bahkan dalam hal ini), mereka telah me­lakukan perbuatan yang melampaui batas; berani menyanggah dan menyam­paikan rasa keberatan atas (apa yang telah diputuskan) Rasulullah Saw dengan sanggahan yang biasa disampaikan se­orang teman, dan sebagai gantinya ber­ijtihad di hadapan nash yang benderang.

Di antara contoh yang kentara adalah apa yang telah dilakukan Khalid bin Walid terhadap Bani Judzaimah pada tahun ke-8 hijriah; ketika Rasulullah Saw mengutusnya sebagai penyeru kepada Islam, bukan sebagai serdadu. Khalid pun memerintahkan Bani Judzaimah untuk meletakkan senjata. Tatkala mereka meletakkan senjata, dia langsung melanggar janjinya dan menyerang mereka dengan senjata, hanya dikarenakan dendam yang membara antara dirinya dengan mereka dimasa jahiliah.

Ketika berita itu sampai, Rasulullah Saw lang­sung menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, "Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang telah diperbuat Khalid."

Kemudian, beliau mengutus Ali sambil membekalinya dengan sejumlah uang sebagai tebusan atas darah (yang telah tertumpahkan) dan harta mereka (yang telah dirampas)...[1]

Contoh lainnya adalah peristiwa pembu­nuhan yang dilakukan Usamah bin Zaid atas Mirdas bin Nahik - dengan penjelasan bahwa darah seorang muslim haram ditumpahkan. Setelah bertakbir dan mengucapkan dua kalimat syahadat, Usamah membunuhnya dan pulang sambil membawa harta rampasan perang.

Dia beralasan bahwa Mirdas masuk Islam hanya karena takut kepada pedang. Ketika mengetahui perbuatan Usamah, Rasulullah Saw bersabda, "Kalian membunuhnya karena meng­inginkan apa yang ada padanya.”

Kemudian, beliau membaca firman Allah:

“Dan janganlah kalian berkata kepada orang yang mengucapkan salam kepada kalian, "Kamu bukanlah orang yang beriman," (hal itu kalian lakukan) dengan bermaksud mencari harta benda kehidupan dunia.[2]

Dan contoh lainnya adalah ucapan salah seorang di antara kalangan Anshar dalam hal pembagian (harta rampasan) yang dibagi langsung oleh Rasulullah Saw,  "Demi Allah, harta rampasan ini tidak dibagi karena (berdasarkan keputusan) Allah ..."

Ucapan ini membuat sedih Nabi Saw dan wajah beliau pun berubah dan marah. Beliau kemudian bersabda:

"Sungguh Musa (sang nabi) telah diganggu dengan gangguan yang jauh lebih banyak dari ini, tetapi beliau (menghadapinya) dengan kesabaran.”[3]

Dan yang mengherankan, kelompok ini tak henti-hentinya menerapkan pemikirannya yang salah, bahkan dalam perkara-perkara yang diperbolehkan oleh Rasulullah Saw. Misal, Rasulullah Saw membolehkan suatu perkara, namun ada orang-orang yang tidak mau me­lakukan hal tersebut. Berita itu sampai kepada beliau, sehingga beliau pun marah, seraya ber­sabda:

"Apa gerangan yang membuat beberapa kaum tidak mau melakukan suatu (per­buatan) yang kulakukan! Demi Allah, sungguh aku lebih mengerti dan lebih takut (kepada Allah) ketimbang mereka!”.[4]

Dan yang lebih mengherankan lagi adalah sebagian pelopor kelompok ini berani meng­ganggu Rasulullah Saw dalam hal kehormatan dan istri-istri beliau. Bahkan Thalhah dan sahabat lain (Usman) - menurut riwayat dari Suddi - pernah berkata, "Mengapa Muhammad boleh menikahi perempuan-perempuan (isteri-isteri) kita apabila kita telah tiada (meninggal), sedangkan apabila dia meninggal dunia, kita tidak diperbolehkan menikahi istri-istrinya?! Apabila dia (Muhammad) meninggal dunia, maka tibalah giliran kita untuk mendapatkan istri-istrinya…”[5]

Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Thalhah berkata, "Jikalau aku masih hidup setelah Muhammad, tentu aku akan menikahi Aisyah."[6]

Thalhah ingin menikahi Aisyah, sementara Usman ingin menikahi Ummu Salamah. Maka, Allah pun menurunkan ayat:

“Kalian tidak boleh mengganggu Rasulullah Saw dan sampai kapan pun (tak boleh) menikahi istri-istrinya sepeninggalnya.[7]

“Apabila kalian menampakkan sesuatu atau meyembunyikannya, (ketahuilah) bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu segala sesuatu. (al-Ahzab:54).

“Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu Allah dan Rasul-Nya akan dilaknat Allah di dunia dan di akhirat dan (Allah) telah memper­siapkan bagi mereka siksaan yang menghinakan.” (al-Ahzab:57).

“Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri.” (al-Ahzab:6).

Dan yang menarik perhatian adalah bahwa Abu Bakar dan Umar bukanlah termasuk orang yang luput dari kelompok ijtihad tersebut, bahkan kami melihat keduanya memiliki andil dalam menyanggah Rasulullah Saw dan tak mengindahkan perintah-perintah beliau,[8] khususnya Umar bin Khathab yang seringkali melawan Rasulullah Saw.

Seperti ketidaksukaannya kepada Rasulullah Saw tatkala beliau menshalati jenazah orang manafik,[9] ketidaksenangannya pada pembagian langsung oleh Rasulullah Saw,[10] menentang Nabi Saw dengan cara melontarkan kata-kata pedas dalam perkara Perdamaian Hudaibiah,[11] tun­tutannya kepada Nabi Saw agar menggunakan hasil tulisan orang-orang Yahudi ke dalam syariat,[12] dan ucapannya pada detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah Saw; "Sungguh telah meracau,"[13] atau, "Dia telah terkena sakit panas yang begitu keras."

Masih banyak lagi contoh-contoh ijtihad-nya yang bertentangan dengan (ketetapan) Rasulullah Saw pada masa kehidupan beliau. Tentu kita semua tak lupa bahwa kaum muslimin yang berada di hadapan Rasulullah Saw (saat beliau akan wafat), ketika beliau meminta pena dan kertas untuk menuliskan kepada mereka sebuah pesan yang (dengan mengikuti pesan tersebut) mereka tak akan pernah tersesat selamanya, telah terbagi menjadi dua kelompok. Diantara mereka ada yang berkata, "Patuhilah apa yang telah dikatakan Rasulullah Saw.” Namun, ada (juga) yang berkata, "Kita akan mengikuti apa yang dikatakan Umar."

Terbaginya kaum muslimin menjadi dua kelompok ini sebenarnya mengungkap topeng dari dua orientasi pemikiran yang terbelah, bahkan pada detik terakhir kehidupan Rasulullah Saw. Ini juga membuktikan bahwa kecenderungan pada ijtihad bil ra'yi adalah kecendrungan yang kuat dan berpengaruh dalam perjalanan sejarah, hukum, dan kehi­dupan kaum muslimin. Dan karena faktor inilah kecendrungan pada keragaman pendapat dan ijtihad bil ra'yi telah disahkan dan dibenarkan sepeninggal Rasulullah Saw.

Tentu jelas bagi kita bahwa persoalan yang penting bagi kita adalah mengetahui (wudhu Nabi Saw) melalui penjelasan hal-hal yang meliputi syariat Islam secara umum, dan segala sesuatu yang berkait dengan wudhu Rasulullah Saw secara khusus.[]

 



[1] AI-Kamil fi al-Tarikh, jil. II, hal. 255-256. Sirah Ibni Hisyam, jil. IV, hal. 70-78.

[2] Lihat Tafsir al-Kabir karya al-Fakhr al-Rani, jil. XI, hal. 3. Al-Kashaf, jil. I, hal. 552. Tafsir Ibnu Katsir, jil. I, hal. 851-852; dan Ayat ke-94, Surat an-Nisa'.

[3] Shahih Bukhari, jil. VIII, hal. 31, Kitab al-Adab, bab "al-Shabru 'alal Adza.”

[4] Shahih Bukhari, jil. VIII, hal. 31, Kitab al-Adab, bab "Manlam Yuwajihinnasa bil ‘Itab.”

[5] Tafsir al-Qurthubi, jil. XIV, hal. 329. Ruh al-Ma'ani, jil. XXII, hal. 74. Dan simaklah perkataan Suddi dalam kitab Dalail al-Shidq, jil. III, hal. 337-339.

[6] Tafsir al-Rani, jil. XXV, hal. 225;

Tafsir al-Qurthubi, jil. XIV, hal. 229.

Tafsir Ibnu Katsir, jil. III, hal. 506.

AI-Durrul Mantsur, jil. VI, hal. 639.

Tafsir al-Baghawi, jil. III, hal. 541.

Ma'anil Qur’an karya Nahhas, jil. V, hal. 373.

Ruh at-Ma'ani, jil. XXII, hal. 73.

Ghayatu al-Saul Fi Sirati al-Rasul, hal. 223.

AI-Sirah al-Halabiah, jil. I, hal. 448.

Al-Thabaqat al-Kubra, jil. VIII, hal. 201; dan

Zad al-Masir, jil. II, hal. 712.

[7] Al-Ahzab:53. Diriwayatkan dari Suddi dalam me­nafsirkan ayat (di atas). AI-Durrul Mantsur, jil. V, hal. 214, al-Thawaif, jil. II, hal. 493.

[8] Al-Ishabah, jil. I, hal. 484;

Hilyatu al-Auliya', jil. III, hal. 227;

Al-Bidayah wa al-Nihayah, jil. VII, hal. 298; dan

Musnad Ahmad, jil. III, hal. 15.

[9] Tarikh al-Madinah (Ibnu Syubbah), jil. I, hal. 372.

AI-Durrul Mantsur, jil. III, hal. 264.

Kanzal-Ummal, jil. II, hal. 419, hadis ke-4393.

[10] Musnad Ahmad, jil. I, hal. 20 diriwayatkan dari A’masy, dari Syaqiq, dari Salman bin Rabi'ah, dan Muslim dalam bab "Zakat.”

[11] Tarikh Umar (Ibnu Jauzi), hal. 58.

[12] al-Mushannif (Abdul Razaq), jil. X, hal. 313; Majma' al-Zawaid, jil. I, hal. 174.

[13] Shahih Bukhari, jil. I, hal. 39, Kitab al-Ilmi dan Kitab al-Mardha 4; dan Shahih Muslim, jil. III, hal. 1257,1259.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar