Pada zaman Rasulullah Saw,
orang-orang ini memiliki peran sangat besar; mereka memperbolehkan diri mereka rnelakukan suatu perbuatan yang
dilarang atau tidak diperintah Rasulullah Saw.
(Bahkan dalam hal ini), mereka
telah melakukan perbuatan yang melampaui batas; berani menyanggah
dan menyampaikan rasa keberatan atas (apa
yang telah diputuskan) Rasulullah Saw
dengan sanggahan yang biasa disampaikan seorang teman, dan sebagai
gantinya berijtihad di hadapan nash yang benderang.
Di antara contoh yang kentara
adalah apa yang telah dilakukan Khalid bin Walid terhadap Bani
Judzaimah pada tahun ke-8 hijriah; ketika Rasulullah Saw mengutusnya
sebagai penyeru kepada Islam, bukan sebagai
serdadu. Khalid pun memerintahkan Bani Judzaimah untuk meletakkan senjata. Tatkala mereka meletakkan senjata,
dia langsung melanggar janjinya dan menyerang mereka dengan senjata,
hanya dikarenakan dendam yang membara antara dirinya dengan mereka dimasa
jahiliah.
Ketika berita itu
sampai, Rasulullah Saw langsung menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berkata, "Ya
Allah, sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang telah diperbuat Khalid."
Kemudian, beliau mengutus Ali sambil membekalinya
dengan sejumlah uang sebagai tebusan atas
darah (yang telah tertumpahkan) dan harta mereka (yang telah
dirampas)...[1]
Contoh lainnya adalah peristiwa
pembunuhan
yang dilakukan Usamah bin Zaid atas Mirdas bin Nahik - dengan penjelasan bahwa
darah seorang muslim haram ditumpahkan. Setelah bertakbir
dan mengucapkan dua kalimat syahadat, Usamah membunuhnya dan pulang sambil
membawa harta rampasan perang.
Dia beralasan bahwa Mirdas masuk Islam hanya karena
takut kepada pedang. Ketika mengetahui perbuatan Usamah, Rasulullah Saw bersabda, "Kalian membunuhnya karena menginginkan
apa yang ada padanya.”
Kemudian, beliau membaca firman Allah:
“Dan janganlah kalian berkata kepada
orang yang mengucapkan salam kepada kalian,
"Kamu bukanlah orang yang beriman," (hal itu kalian lakukan) dengan bermaksud mencari harta benda
kehidupan dunia.[2]
Dan contoh lainnya adalah
ucapan salah seorang di antara kalangan Anshar dalam hal pembagian (harta
rampasan) yang dibagi langsung oleh
Rasulullah Saw, "Demi Allah, harta rampasan
ini tidak dibagi karena (berdasarkan keputusan) Allah ..."
Ucapan ini membuat sedih
Nabi Saw dan wajah beliau pun berubah dan marah. Beliau kemudian bersabda:
"Sungguh Musa
(sang nabi) telah diganggu dengan gangguan
yang jauh lebih banyak dari ini,
tetapi beliau (menghadapinya) dengan kesabaran.”[3]
Dan
yang mengherankan, kelompok ini tak henti-hentinya menerapkan
pemikirannya yang salah, bahkan dalam perkara-perkara yang diperbolehkan
oleh Rasulullah Saw. Misal, Rasulullah Saw membolehkan suatu perkara, namun ada
orang-orang yang tidak mau melakukan hal tersebut. Berita itu sampai kepada beliau, sehingga beliau pun marah, seraya bersabda:
"Apa
gerangan yang membuat beberapa kaum tidak mau melakukan suatu
(perbuatan) yang kulakukan! Demi Allah, sungguh aku lebih
mengerti dan lebih takut (kepada Allah) ketimbang mereka!”.[4]
Dan yang lebih
mengherankan lagi adalah sebagian pelopor kelompok ini berani mengganggu
Rasulullah Saw dalam hal kehormatan dan istri-istri beliau. Bahkan Thalhah dan
sahabat lain (Usman) - menurut riwayat dari Suddi
- pernah berkata, "Mengapa Muhammad boleh menikahi
perempuan-perempuan (isteri-isteri) kita apabila kita telah tiada (meninggal),
sedangkan apabila dia meninggal dunia, kita tidak diperbolehkan menikahi
istri-istrinya?! Apabila dia (Muhammad) meninggal dunia, maka tibalah giliran kita
untuk mendapatkan istri-istrinya…”[5]
Dan dalam riwayat lain disebutkan bahwa Thalhah berkata, "Jikalau aku masih hidup setelah
Muhammad, tentu aku akan menikahi Aisyah."[6]
Thalhah ingin menikahi Aisyah, sementara
Usman ingin menikahi Ummu Salamah. Maka, Allah pun menurunkan ayat:
“Kalian tidak boleh mengganggu
Rasulullah Saw dan sampai kapan pun (tak boleh) menikahi istri-istrinya
sepeninggalnya.”[7]
“Apabila kalian menampakkan sesuatu atau
meyembunyikannya, (ketahuilah) bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu segala sesuatu. (al-Ahzab:54).
“Sesungguhnya orang-orang yang mengganggu
Allah dan Rasul-Nya akan dilaknat Allah di dunia
dan di akhirat dan (Allah) telah mempersiapkan
bagi mereka siksaan yang menghinakan.” (al-Ahzab:57).
“Nabi itu lebih
utama bagi orang-orang mukmin dari pada diri mereka sendiri.” (al-Ahzab:6).
Dan yang menarik perhatian adalah bahwa
Abu Bakar dan Umar bukanlah termasuk orang yang
luput dari kelompok ijtihad tersebut, bahkan kami melihat keduanya memiliki andil dalam menyanggah Rasulullah Saw
dan tak mengindahkan perintah-perintah
beliau,[8]
khususnya Umar bin Khathab yang seringkali melawan Rasulullah Saw.
Seperti ketidaksukaannya kepada
Rasulullah Saw tatkala beliau menshalati jenazah orang manafik,[9] ketidaksenangannya
pada pembagian langsung oleh Rasulullah Saw,[10] menentang Nabi Saw dengan cara melontarkan
kata-kata pedas dalam perkara Perdamaian Hudaibiah,[11]
tuntutannya kepada Nabi Saw agar menggunakan hasil tulisan orang-orang Yahudi
ke dalam syariat,[12] dan
ucapannya pada detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah
Saw; "Sungguh telah meracau,"[13] atau, "Dia telah terkena sakit panas yang begitu keras."
Masih banyak lagi contoh-contoh ijtihad-nya
yang bertentangan dengan (ketetapan) Rasulullah Saw pada masa kehidupan beliau. Tentu kita semua tak lupa bahwa kaum muslimin yang berada di hadapan Rasulullah Saw (saat
beliau akan wafat), ketika beliau meminta pena dan kertas untuk menuliskan kepada mereka sebuah pesan yang
(dengan mengikuti pesan tersebut) mereka tak akan pernah tersesat selamanya,
telah terbagi menjadi dua kelompok. Diantara mereka ada yang berkata,
"Patuhilah apa yang telah dikatakan
Rasulullah Saw.” Namun, ada (juga) yang berkata, "Kita akan mengikuti
apa yang dikatakan Umar."
Terbaginya kaum muslimin menjadi dua kelompok ini
sebenarnya mengungkap topeng dari dua orientasi pemikiran yang terbelah, bahkan
pada detik terakhir kehidupan Rasulullah Saw. Ini juga membuktikan bahwa
kecenderungan pada ijtihad bil ra'yi adalah kecendrungan yang kuat dan berpengaruh dalam perjalanan sejarah, hukum, dan kehidupan kaum muslimin. Dan
karena faktor inilah kecendrungan pada keragaman pendapat dan ijtihad bil
ra'yi telah disahkan dan dibenarkan sepeninggal Rasulullah Saw.
Tentu jelas bagi kita bahwa persoalan
yang penting bagi kita adalah mengetahui
(wudhu Nabi Saw) melalui penjelasan
hal-hal yang meliputi syariat Islam secara umum, dan segala sesuatu yang
berkait dengan wudhu Rasulullah Saw secara khusus.[]
[1] AI-Kamil fi
al-Tarikh, jil. II, hal. 255-256. Sirah
Ibni Hisyam, jil. IV, hal.
70-78.
[2] Lihat Tafsir al-Kabir karya al-Fakhr al-Rani, jil. XI, hal. 3. Al-Kashaf, jil. I,
hal. 552. Tafsir Ibnu Katsir,
jil. I, hal. 851-852; dan Ayat ke-94,
[3]
Shahih Bukhari, jil. VIII, hal. 31, Kitab
al-Adab, bab "al-Shabru 'alal Adza.”
[4]
Shahih Bukhari, jil. VIII, hal. 31, Kitab al-Adab, bab "Manlam
Yuwajihinnasa bil ‘Itab.”
[5]
Tafsir al-Qurthubi, jil. XIV, hal. 329. Ruh al-Ma'ani, jil.
XXII, hal. 74. Dan simaklah perkataan Suddi dalam kitab Dalail al-Shidq, jil.
III, hal. 337-339.
[6]
Tafsir
al-Rani, jil. XXV, hal. 225;
Tafsir
al-Qurthubi, jil. XIV, hal. 229.
Tafsir
Ibnu Katsir, jil. III, hal. 506.
AI-Durrul
Mantsur, jil. VI, hal. 639.
Tafsir
al-Baghawi, jil. III, hal. 541.
Ma'anil Qur’an karya Nahhas, jil. V, hal. 373.
Ruh at-Ma'ani, jil. XXII, hal. 73.
Ghayatu al-Saul Fi Sirati al-Rasul, hal. 223.
AI-Sirah al-Halabiah, jil. I, hal. 448.
Al-Thabaqat al-Kubra, jil. VIII, hal. 201; dan
Zad al-Masir, jil.
II, hal. 712.
[7]
Al-Ahzab:53. Diriwayatkan dari Suddi dalam menafsirkan
ayat (di atas). AI-Durrul Mantsur, jil. V, hal. 214, al-Thawaif,
jil. II, hal. 493.
[8] Al-Ishabah, jil. I, hal. 484;
Hilyatu al-Auliya', jil. III, hal. 227;
Al-Bidayah wa
al-Nihayah, jil. VII, hal.
298; dan
Musnad Ahmad, jil.
III, hal. 15.
[9] Tarikh
al-Madinah (Ibnu Syubbah),
jil. I, hal. 372.
AI-Durrul
Mantsur, jil. III, hal. 264.
Kanzal-Ummal, jil. II, hal. 419, hadis ke-4393.
[10]
Musnad
Ahmad, jil. I, hal. 20 diriwayatkan dari A’masy, dari
Syaqiq, dari Salman bin Rabi'ah, dan Muslim dalam bab "Zakat.”
[11]
Tarikh Umar (Ibnu
Jauzi), hal. 58.
[12]
al-Mushannif (Abdul
Razaq), jil. X, hal. 313; Majma' al-Zawaid, jil. I, hal. 174.
[13]
Shahih Bukhari, jil.
I, hal. 39, Kitab al-Ilmi dan Kitab al-Mardha 4; dan Shahih Muslim, jil.
III, hal. 1257,1259.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar