BANI ABBAS DAN WUDHU
Pemerintahan
Bani Abbas telah berdiri dengan slogan, al-Ridha Min Ali Muhammad. Orang-orang
pun mulai berpihak dan memberikan dukungan kepada pemerintahan mereka, dengan
alasan, pemerintahan ini adalah pemerintahan yang menang dalam perjuangannya
membela kebenaran.
Abul Abbas al-Saffah telah memimpin
pemerintahannya sesaat, dalam masa yang
sibuk melumat perlawanan Bani Umayyah dan
antek-anteknya. Dia tidak menceburkan diri dalam kubang perbedaan pendapat di seputar persoalan fikih khususnya masalah di
seputar persoalan 'Alawi.
Namun, tatkala tampuk
kepimpinan jatuh ke tangan Abu Ja'far al-Manshur al-Abbasi, perbedaan-perbedaan di seputar persoalan di atas
mulai bermunculan—tentu hal ini terjadi setelah
pilar-pilar pemerintahannya berdiri kokoh.
Dia pun mulai membeli para ahli hukum dengan memberikan hadiah, kedudukan,
jabatan sebagai hakim, dan sebagainya kepada mereka. Kendati demikian,
dia dan para pengikutnya tak mampu mempengaruhi Abu Hanifah. Perlakuan apapun
yang ditimpakan kepada Abu Hanifah tak mampu membuatnya tunduk. Upaya keras
al-Manshur dan para pengikutnya itu baru membuahkan hasil tatkala mereka mampu
mempengaruhi muridnya, yang terkenal dengan nama al-Qadhi Abu Yusuf.
Maka, jadilah Imam Ja'far
bin Muhammad al-Shadiq, yang ketika itu adalah pemimpin tertinggi Madrasah Ta'abbud
dan yang berpihak kepada wudhu mashi, sebagai bendungan sangat kokoh
yang menghalangi semua impian al-Manshur
dan Bani Abbas. Akhirnya, al-Manshur pun mulai mengambil berbagai
tindakan untuk menghadapi beliau.
Al-Manshur
mulai mengajak orang-orang untuk mengikuti Mazhab Maliki. Untuk itu, dia
memerintahkan agar ilmu yang bersumber dari Malik itu dirangkum dalam sebuah
buku. Dia mengharuskan orang-orang untuk
mengamalkan apa yang tercantum di dalamnya.[1] Ini menggambarkan metode
khas dirinya, yang menunjukkan bahwa dia
tidak mengikuti Imam Ali dan Ibnu Abbas. Sebaliknya, dia malah mengambil
pendapat-pendapat Abdullah bin Umar bin Khathab (Ibnu Umar), meski pendapat Ibnu Umar ini
bertentangan dengan Ali dan Ibnu Abbas.[2] Perlu diketahui, hanya Malik saja yang mengunggulkan tiga
khalifah - tanpa Ali - di atas
seluruh sahabat lain. Pemerintahan al-Manshur
pun menganggap Ali sama seperti orang biasa lainnya.[3]
Rancangan
fikih dan ideologi al-Manshur ini merembet hingga ke persoalan wudhu Nabi,
di mana dalam hal ini dia lebih memilih wudhu ghasli Usmani
dan meninggalkan wudhu mashi Nabawi,
yang menjadi bagian dari cabang-cabang fikih, dan yang dengan wudhu
inilah orang-orang Syiah bisa dikenali.[]
[1] Dalam kitab Tartib al-Madarik, jil. I, hal. 192 disebutkan
bahwa kitab al-Muwaththa' ditulis
di bawah naungan pemerintahan Abbasiah, di
mana Abu Mush'ab telah meriwayatkan bahwa Abu Ja'far al-Manshur berkata
kepada Malik:
"Buatlah sebuah kitab agar aku
bisa paksakan mereka untuk mengamalkan apa yang ada di dalamnya..." Maka,
ditulislah kitab al-Muwaththa’ oleh Malik.
[2] A1-Thabaqat
a1-Kubra, jil. IV, hal. 147. Juga, lihat: Al-Imam
Ja’ far as-Shadiq wa al-Mazahib al-Arba'ah, jil.
[3] Mauqif
a1-Khu1afa' a1-Abbasiyyin, hal. 170.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar