Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Beginilah Wudhu Sang Nabi: Bani Abbas dan Wudhu



 

BANI ABBAS DAN WUDHU

  

Pemerintahan Bani Abbas telah berdiri dengan slogan, al-Ridha Min Ali Muhammad. Orang-orang pun mulai berpihak dan memberikan dukungan kepada pemerintahan mereka, dengan alasan, pemerintahan ini adalah peme­rintahan yang menang dalam per­juangannya membela kebenaran.

Abul Abbas al-Saffah telah memimpin pemerintahannya sesaat, dalam masa yang sibuk melumat perlawanan Bani Umayyah dan antek-anteknya. Dia tidak menceburkan diri dalam kubang perbedaan pendapat di seputar persoalan fikih khususnya masalah di seputar persoalan 'Alawi.

Namun, tatkala tampuk kepimpinan jatuh ke tangan Abu Ja'far al-Manshur al-Abbasi, perbedaan-perbedaan di seputar persoalan di atas mulai bermunculan—tentu hal ini terjadi setelah pilar-pilar pemerintahannya berdiri kokoh. Dia pun mulai membeli para ahli hukum dengan memberikan hadiah, kedudukan, jabatan sebagai hakim, dan sebagainya kepada mereka. Kendati demikian, dia dan para pengikutnya tak mampu mempengaruhi Abu Hanifah. Perlakuan apapun yang ditimpakan kepada Abu Hanifah tak mampu membuatnya tunduk. Upaya keras al-Manshur dan para pengikutnya itu baru membuahkan hasil tatkala mereka mampu mempengaruhi muridnya, yang terkenal dengan nama al-Qadhi Abu Yusuf.

Maka, jadilah Imam Ja'far bin Muhammad al-Shadiq, yang ketika itu adalah pemimpin tertinggi Madrasah Ta'abbud dan yang berpihak kepada wudhu mashi, sebagai bendungan sangat kokoh yang menghalangi semua impian al­-Manshur dan Bani Abbas. Akhirnya, al-Manshur pun mulai mengambil berbagai tindakan untuk menghadapi beliau.

Al-Manshur mulai mengajak orang-orang untuk mengikuti Mazhab Maliki. Untuk itu, dia memerintahkan agar ilmu yang bersumber dari Malik itu dirangkum dalam sebuah buku. Dia mengharuskan orang-orang untuk mengamal­kan apa yang tercantum di dalamnya.[1] Ini meng­gambarkan metode khas dirinya, yang menun­jukkan bahwa dia tidak mengikuti Imam Ali dan Ibnu Abbas. Sebaliknya, dia malah mengambil pendapat-pendapat Abdullah bin Umar bin Khathab (Ibnu Umar), meski pendapat Ibnu Umar ini bertentangan dengan Ali dan Ibnu Abbas.[2] Perlu diketahui, hanya Malik saja yang mengunggulkan tiga khalifah - tanpa Ali -  di atas seluruh sahabat lain. Pemerintahan al­-Manshur pun menganggap Ali sama seperti orang biasa lainnya.[3]

Rancangan fikih dan ideologi al-Manshur ini merembet hingga ke persoalan wudhu Nabi, di mana dalam hal ini dia lebih memilih wudhu ghasli Usmani dan meninggalkan wudhu mashi Nabawi, yang menjadi bagian dari cabang­-cabang fikih, dan yang dengan wudhu inilah orang-orang Syiah bisa dikenali.[]

 


[1] Dalam kitab Tartib al-Madarik, jil. I, hal. 192 disebutkan bahwa kitab al-Muwaththa' ditulis di bawah naungan pemerintahan Abbasiah, di mana Abu Mush'ab telah meriwayatkan bahwa Abu Ja'far al-Manshur berkata kepada Malik:

"Buatlah sebuah kitab agar aku bisa paksakan mereka untuk mengamalkan apa yang ada di dalamnya..." Maka, ditulislah kitab al-Muwaththa’ oleh Malik.

[2] A1-Thabaqat a1-Kubra, jil. IV, hal. 147. Juga, lihat: Al­-Imam Ja’ far as-Shadiq wa al-Mazahib al-Arba'ah, jil. I. hal. 504.

[3] Mauqif a1-Khu1afa' a1-Abbasiyyin, hal. 170.

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar