BANI UMAYYAH DAN WUDHU
Tatkala Imam Ali gugur sebagai syahid dan
Imam Hasan berdamai dengan Muawiyah, tampuk kepemimpinan jatuh ke tangan
Muawiyah. Dia pun mulai mengikuti jejak Usman
dalam urusan fikih dan mendukungnya secara ideologi. Dia membangun
pendapat-pendapat sepupunya, sebagaimana peristiwa yang terjadi pada saat dia menunaikan Shalat Zuhur dua rakaat di Mekah. Melihat itu, Marwan bin
Hakam dan Amr bin Usman bangkit menghampirinya seraya berkata, "Tak seorang pun yang mencela putra pamanmu
dengan celaan yang lebih buruk dari celaanmu, dengan perbuatan yang baru saja
kau lakukan."
Muawiyah berkata kepada keduanya:
"Sesungguhnya
dia (Usman) mengerjakannya bersama Nabi, Abu Bakar, dan Umar, dua raka’at
(meng-qashar)."
Mereka berdua berkata kepada Muawiyah:
"Sesungguhnya putra pamanmu (Usman)
menyempurnakan shalatnya (tidak meng-qashar), dan perbuatanmu yang
berseberangan dengannya itu adalah suatu cela."
Kemudian Muawiyah pergi ke Mina dan mengerjakan Shalat
Zuhur empat rakaat bersama kami.[1]
Muawiyah juga mengikuti
jejak Usman dalam hal kebolehan menikahi dua orang budak wanita yang
berstatus kakak-beradik[2] dan tidak melakukan
takbir yang disunnahkan dalam shalat, lantaran Usman tak melakukannya.
Hal yang sama juga tak dilakukan Ziyad bin Abih karena Muawiyah tak
melakukannya.[3]
Muawiyah juga sama dengan Usman dalam hal tidak ber-talbiah
(mengucapkan Labbaik Allahumma Labbaik) dalam menunaikan ibadah
haji.[4] Mereka meriwayatkan bahwa Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Umar hanya mengucapkan kalimat
Tahlil (La Ilaha Illallah), dan para periwayat
itu tidak menyebutkan nama Usman.[5] Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan fikih
lainnya.
Begitu juga halnya dengan langkah-langkah Muawiyah dalam menetapkan kaidah "siapa saja yang
menang" setelah kaidah tersebut diyakini oleh
Usman.[6] Selain
itu, Muawiyah juga memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah ideologis, di mana keuntungannya akan kembali
pada
penguatan pilar-pilar pemerintahan Umawi, dan tentu yang paling menonjol
adalah penguatan atas pemikiran-pemikiran Usman. Di sini, yang penting bagi kita adalah keberpihakan Muawiyah kepada
ide Usman dalam persoalan fikih, serta pengaruh fikih tersebut terhadap
persoalan wudhu.
Fikih Umawi telah bergulir di atas jalan Usman. Fikih
ini memanfaatkan hadis: Asbighul Wudhu dan Wailun
Lil A'Qabi Minannar untuk memperkokoh fondasi wudhu ala Usman.
1. Abdul Rahman bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah pada hari
kematian Sa'ad bi Abi Waqqash (tahun 55 H),
kemudian dia berwudhu di rumah Aisyah, yang berkata kepadanya, "Hai
Abdul Rahman, sempurnakanlah wudhu, karena sesungguhnya
aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Wailun Lil A’qabi
Minannar"[7]
Perhatikan bagaimana Aisyah berpindah dari hadis
Rasulullah saw: Asbighul Wudhu meskipun kondisinya saat itu menuntut
untuk berargumen dengan dalil tersebut[8]—kepada argumentasi: Wailun
Lil Aqabi Minannar.
Di balik perpindahan ini tersimpan klaim Ummul Mukminin Aisyah—yang
di belakangnya adalah Bani Umayyah, dan (tentunya) sebelum mereka adalah
Usman—untuk membuktikan bahwa Wailun Lil Aqab adalah dalil bagi wudhu Ghasli, sebagaimana pemahaman itu
sampai sekarang masih terpatri dalam jiwa para pengikut madrasah ijtihad dan
al-ra'yu.
Kesimpulannya adalah
bahwa riwayat di atas memberitahukan kepada kita akan adanya perbedaan antara wudhu Abdul Rahman dengan wudhu
yang diinginkan Aisyah. Sebagaimana telah kita ketahui, ucapan Aisyah itu
adalah untuk membuktikan wudhu Ghasli. Dari sini kita dapat memahami bahwa berlawanan
dari apa
yang dikatakan Aisyah, Abdul Rahman berpihak
kepada wudhu Mashi (mengusap kepala dan bagian atas kedua kaki).
Kemudian datanglah Abu
Hurairah untuk melakukan apa yang telah
dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah. Ini ditunjukkan tatkala dia melihat sekelompok orang yang sedang
berwudhu. Dia berkata kepada mereka "Asbighul Wudhu, karena
sesungguhnya aku pernah mendengar Abul
Qasim (Rasulullah saw) bersabda, “Wailun
Lil 'Araqib Minannar (celakalah
orang yang tidak membasuh otot-otot tumit bagian belakangnya)."[9]
Tidak sedikit pula ulama yang menambahi hadis,[10] karena meniru hadis
Nabi yang diriwayatkan
oleh Abu Hurairah, “Asbighul Wudhu Wailun Lil A'qabi Minannar."
Hadis ini disebut
hadis mudraj, karena
hadis yang disabdakan Rasulullah saw tidak seperti yang diriwayatkan Abu
Hurairah. Ini menunjukkan bahwa Abu Hurairah - sama seperti Aisyah - ingin
menjadikan hadis: Wailun Lil A’qab atau al-‘Araqib sebagai dalil untuk wudhu ghasli
ala Usman.
Ini menjadi sangat jelas dengan apa yang dikemukakan Abdul Razaq, dari Ibnu Juraij yang berkata, "Aku bertanya kepada Atha', “Mengapa
aku tak boleh mengusap kedua kaki sebagaimana aku mengusap kepala, padahal
al-Quran menyebut keduanya?”
Atha' menjawab, “Aku tidak melihatnya, kecuali mengusap
kepala dan membasuh kedua kaki. Sesungguhnya
aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata, “Wailun
Lil Aqabi Minannar.” Atha' meneruskan perkataannya, “Banyak sekali yang berpendapat bahwa (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah mengusap bagian atas kedua kaki,
tetapi aku berpihak pada pendapat yang mengatakan membasuh kedua kaki.”[11]
Lihatlah bagaimana dia menjadikan ucapan Abu Hurairah: Wailun Lil Aqab sebagai
dalil ghali (membasuh
kedua kaki dalam wudhu). Ini menunjukkan
kepada kita adanya lingkaran yang saling berkait untuk membuktikan kebenaran
wudhu ghasli.
Oleh karena itu, dari berpalingnya
Aisyah, idraj-nya Abu Hurairah, dan argumentasi Atha', menjadi jelaslah mata
rantai kemajuan yang ditujukan untuk
menetapkan dan memberikan dukungan
bagi wudhu Usmani.
2. Dukungan Bani Umayyah bagi wudhu Usmani terus berlanjut. Seiring dengan itu, metode
ta'abbud juga
selalu berusaha membatalkannya, karena
wudhu ala Usman
bin Affan itu bertentangan dengan
al-Kitab dan al-Sunnah.
Ibnu Majah, dengan sanad-nya hingga kepada al-Bahr binti
Mu'awwadz, berkata, "Ibnu Abbas mendatangiku. Kemudian dia bertanya
kepadaku tentang hadis ini—hadis yang dia sebutkan bahwa Rasulullah saw
berwudhu dan membasuh kedua kakinya. Ibnu Abbas berkata:
“Sesungguhnya orang-orang enggan
menerima kecuali basuhan! Padahal aku tak
menemukan dalam Kitabullah selain usapan.”[12]
Al-Hamidi berkata, "Sufyan
meriwayatkan hadis kepada kami. Dia berkata, “Abdullah bin Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib meriwayatkan kepada kami. Dia
berkata, “Ali bin Husain mengutusku kepada
al-Rabi' binti al-Mu'awwadz bin Afra' agar aku menanyakan tentang wudhu
Rasulullah saw, karena beliau wring berwudhu di tempatnya. Aku pun menemuinya.
Kemudian dia mengeluarkan sebuah wadah... Lalu dia berkata:
“Dengan inilah aku selalu
keluar membawakan air untuk Rasulullah saw. Sebelum memasukkan kedua tangannya
ke dalam wadah, terlebih dahulu beliau membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan
memasukkan air ke dalam hidung masing-masing tiga kali. Kemudian, membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh kedua
tangannya masing-masing tiga kali. Setelah itu mengusap kepalanya, baik dari depan maupun dari belakang, kemudian beliau membasuh kedua kakinya
masing-masing tiga kali.' Al-Rabi' berkata, “Putra pamanmu (yang dimaksud Ibnu
Abbas) juga datang menemuiku dan menanyakan
tentang soal yang sama. Aku pun memberitahukan (wudhu yang kulihat dari
Rasulullah saw) kepadanya.
Tetapi dia (Ibnu Abbas)
berkata, “Kami tidak mengetahui (menemukan)
dalam Kitabullah selain dua basuhan dan dua usapan!"[13]
Di sini kita dapat melihat adanya
perbedaan dua wudhu yang terjadi pada masa Umawi. Contohnya: Pertama, perbedaan
antara wudhu al-Rabi' binti Mu'awwadz dengan wudhu (yang diketahui) oleh Ibnu
Abbas. Kedua, perbedaan yang terjadi antara al-Rabi' binti Muawwadz dengan Imam Sajjad dan Abdullah bin Muhammad
bin Aqi1 bin Abi Thalib.
Melihat dua riwayat di atas,
al-Rabi' telah berpihak kepada wudhu ghasli dan bersikeras pada
pendapatnya—padahal dia tabu bahwa keluarga
Rasulullah saw tidak menerima riwayat
tentang wudhu ghasli yang dinukil oleh al-Rabi', karena Ibnu
Abbas telah menggugurkan pendapat al-Rabi'
dengan dalil al-Quran, dan dalam sanggahannya itu terdapat isyarat tentang tidak dapat dinisbatkannya wudhu ghasli kepada Rasulullah saw. Selanjutnya, Anda dapat melihat - dalam riwayat
lain - bagaimana dia (Ibnu Abbas ra) mengikuti cara yang biasa dilakukan para
pendukung wudhu ghasli, yaitu al-ra'yu
dan ijtihad untuk
membuktikan kebenaran wudhu Mashi, dengan alasan tidak diusapnya dua anggota wudhu yang harus diusap,
dalam tayammum.[14]
Ini
membuktikan adanya dukungan kuat Bani Umayyah kepada seluruh ulama dan muhaddis-nya dalam hal wudhu ghasli Usmani.
3. Akhirnya,
persoalan wudhu ghasli diperkokoh oleh al-Hajjaj—padahal wudhu ghasli sangat jauh kebenarannya dari agama,
seperti jauhnya jarak antara bumi dan langit—dengan dideklarasikannya hal itu
di alas mimbar.
Thabari telah menyebutkan dalam
kitabnya, dengan sanad hingga ke Hamid, yang berkata:
"Musa bin Anas berkata kepada Anas, sementara
kami berada di rumahnya, “Hai Abu Hamzah, al-Hajjaj pernah berpidato di depan
kami, di Ahwaz. Dan tatkala bersama dengannya, kami menyebut tentang wudhu, dia
berkata, “Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian, dan usaplah kepala dan kedua kaki
kalian, karena sesungguhnya tiada yang lebih dekat dari anak Adam kepada
kotoran dari kedua kakinya. Karena itu, basuhlah kedua telapak kaki, bagian
alas dan tumit‑tumitnya...”
Kemudian, Anas berkata, “Maha Benar Allah dan
al-Hajjaj telah berbohong.
Allah berfirman:
Wamsahu bi Ru-usikum wa Arjulakum (dan usaplah kepada dan
kaki kamu).[15]
Keterangan
dan argumentasi al-Hajjaj ini, dari satu sisi, menunjukkan keberpihakan Bani Umayyah terhadap wudhu Usmani, sebagaimana
juga menunjukkan adanya usaha pengokohan
atas fondasi ijtihad dan al-ragu dalam hal wudhu, yang
berseberangan dengan wudhu Rasulullah saw dan Imam Ali.
Imam
Ali bin Abi Thalib menekankan bahwa seandainya persoalan wudhu itu dapat diselesaikan
dengan ijtihad, niscaya telapak kedua kaki lebih pantas untuk diusap
daripada bagian atasnya. Tetapi beliau telah melihat Rasulullah saw mengusap bagian atas kedua kaki. Kemudian,
datanglah al-Hajjaj menentang Rasulullah saw dan al-Quran, sambil menegaskan bahwa kedua telapak kaki, bagian atas kaki, dan tumit-tumitnya harus dibasuh, dengan alasan, keduanya itu lebih dekat kepada kotoran!
Setelah
ini, tiada lagi alasan untuk ragu bahwa Bani Umayyah benar-benar berpihak kepada wudhu
Usmani, mengikuti jejak dan berargumen dengan argumen Usman bin Affan, disertai
pengembangan dan penyebarluasan pendapat-pendapat pribadi, takwil, ijtihad, dan
dalil-dalil yang jauh dari kebenaran. Ini menunjukkan ketidakaslian wudhu
Usmani dan bahwa cara wudhu tersebut tidak
mereka dapatkan dari ajaran Rasulullah saw.
Sebagai sikap berlebih-lebihan mereka dalam
pengukuhan wudhu yang diklaimnya, mereka menyandarkan wudhu tersebut kepada tokoh-tokoh yang berpihak kepada wudhu mashi, seperti Imam Ali as, Ibnu Abbas, dan Anas; bahwa
mereka ini selalu melakukan tiga basuhan, atau membasuh kaki, dan seterusnya. Itu
mereka lakukan untuk menjauhkan tudingan bid'ah terhadap diri mereka. Dan demi kelancaran tujuan
ini, mereka melarang pengumpulan
hadis. Ini terns berlangsung
hingga zaman Umar bin Abdul Aziz yang memerintahkan agar hadis-hadis Rasulullah saw itu dikumpulkan dan
disebarluaskan ke segala penjuru negeri. Perintah mengumpulkan hadis-hadis Nabi
itu dikeluarkan bersamaan dengan keharusan merujuk
kepada Ibnu Syihab al-Zuhri, dengan alasan, mereka tidak menemukan orang yang
lebih pandai darinya.[16] Mereka juga telah memanfaatkan Raja' bin Heiwah—salah seorang fukaha
Syam—untuk memberikan bimbingan dan fatwa bagi masyarakat dengan bersandar
kepada pendapat-pendapat pribadi Abdul Malik bin Marwan.[17] Hal yang sama juga datang
dari Abdullah bin Umar[18] yang mendorong orang-orang
untuk mengambil (hukum) dari Abdul Malik.
Dan
Abu Hurairah adalah salah seorang yang mengajak untuk bungkam
seribu bahasa atas kezaliman Bani Umayyah.[19] Sementara di mata Ahlussunnah, Aisyah adalah
orang yang paling pandai dan terhebat dalam ijtihad-nya.[20]
Semua itu datang untuk
melemahkan rambu-rambu fikih ta'abbudi dan
menyimpangkan wudhu Rasulullah saw. Karenanya,
dalam periode ini kita melihat banyaknya
pendukung wudhu penguasa (wudhu ghasli), setelah sebelumnya daun
timbangan itu condong kepada wudhu mashi pada masa Usman dan sebelumnya.
Namun kendati pemerintahan Bani Umayyah mencurahkan segala usaha mereka—masih
saja ada orang-orang yang mengikuti Rasulullah saw dalam hal wudhu mashi. Mereka itu di antaranya adalah
Urwah bin Zubair, Hasan al‑Bashri, Ibrahim al-Nakhal al-Sya'bi, Ikrimah, Alqamah
bin Qais, Imam al-Baqir as, Imam als-Shadiq as, dan masih banyak lagi yang
lain.
Bani Umayyah tak mampu
melawan wudhu mashi—meski mereka adalah para penyeru kepada wudhu ghasli—dan kita tidak melihat para
Ahlul Bait ber- taqiyah (menyembunyikan
kebenaran) dalam wudhu, bahkan keadaan itu terus berlangsung hingga
periode-periode akhir kekuasaan Bani Umayyah. Siapa saja yang merujuk pada riwayat-riwayat dari Imam Muhammad
al-Baqir dalam empat kitab hadis Syiah,
niscaya akan mendapati bagaimana Imam menjelaskan
wudhu Rasulullah saw yang belum terkontaminasi dengan berbagai pendapat
yang beragam.
Tampaknya, Bani Umayyah
tak menggunakan cara kekerasan terhadap sebagian sahabat dan tabi’in, seperti Anas bin Malik, Ibnu
Abbas, Ali bin Husain as, Muhammad bin Ali al-Baqir as, dan lain-lain dalam persoalan wudhu mereka.
Meskipun pada kesempatan yang berbeda mereka
memberlakukan kekerasan dalam menghadapi sebagian sahabat lain
sebagaimana tercantum dalam hadis Abi Malik al-Asy'ari,[21] dan bagaimana dia
ketakutan dalam menjelaskan wudhu atau shalat Rasulullah saw kepada kaumnya.[]
[1]
Lihat: Musnad Ahmad, jil. IV, hal. 94; Fathul Bari, jil. II,
hal. 457; Nailul Authar, jil. III, hal. 259.
[2]
Lihat:
ad-Durrul Mantsur, jil. II, hal. 137; al-Muwaththa',jil. II, hal. 538 hadis
ke-34.
[3]
Lihat: Fathul Bari, jil. II, hal. 215.
[4]
Sunan an-Nasa’i (al-Mujtaba), jil. V, hal.
253; Sunan al-Baihaqi, jil. V, hal.
113.
[5]
Lihat:
al-Muhalla, jil. VII, hal. 135-136; Fathul
Bari, jil. III, hal. 419-420.
[6] Dalam kitab al-Imamah wa
al-Siyasah, hal. 58 dinukilkan perkataan Abdullah bin Umar bin Khathab kepada Usman ketika para pemberontak mengobarkan api di depan pintu rumah Usman, "Hai Amirul
Mukminin, kepada siapakah Anda
perintahkan aku untuk bergabung, apabila para pemberontak itu mampu
mengalahkan Anda?" Usman berkata,
"Hendaknya engkau bergabung bersama jamaah."
Aku (Ibnu Umar) bertanya, "Meskipun jamaah itu
adalah orang-orang yang memberontak terhadapmu?"
Usman menjawab, "Hendaknya kamu bergabung dengan
jamaah di mana pun mereka berada."
Dan Muawiyah
telah berjalan di atas jalan (metode) ini. Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun, jil.
II, hal. 170 disebutkan, "Ali mengutus beberapa orang utusannya kepada
Muawiyah. Salah seorang utusan itu berkata kepada
Muawiyah, “Bertakwalah engkau, wahai Muawiyah, dan tinggalkanlah apa yang
selama ini kau takukan, dan janganlah
bermusuhan dengan orang yang berada di posisi yang benar.” Muawiyah
menjawabnya seraya memaki, “Pergilah kalian semua dari hadapanku, karena
sesungguhnya tiada yang dapat menyelesaikan (persoalan yang ada) antara aku dan kalian selain pedang...”
Dalam kitab al-Mushannif (Ibnu
Abi Syaibah), jil. VII, hal. 251; Tarikh Dimasyq, jil. LIX,
hal. 150; Al-Bidayah dan al-Nihayah, jil. VIII, hal. 140; Maqatil
al-Thalibin, hal.
45; dan Syarh Nahj al-Balaghah, jil. XVI, hal. 46, disebutkan perkataan Muawiyah dalam sebuah
pidatonya yang
disampaikan. di Nukhailah pada hari Jumat:
"Sesungguhnya aku tidak memerangi kalian supaya kalian shalat,
berpuasa, menunaikan haji, dan mengeluarkan zakat–karena sesungguhnya kalian melakukan semua hal tersebut. Alasan aku
memerangi kalian adalah agar aku
dapat memerintah (menguasai) kalian."
Abdullah bin Umar (juga)
berjalan di atas kaidah ini. Al-Qadhi Abu Ya'la dalam kitab al-Ahkam
al-Sulthaniyah, hal. 7-8 berkata:
"Orang yang gila tahta keluar
menentang Imam, maka muncullah dua kelompok yang berbeda antara yang berpihak kepada Imam dan yang berpihak kepadanya.
Shalat Jum’at pun didirikan bersama orang yang memenangkan pertikaian, dan dia berdalil bahwa Ibnu Umar telah
shalat bersama penduduk Madinah pada zaman al-Harrah (di mana tentara
Yazid menginjak-injak kehormatan Madinatu al-Rasul dan mencabik-cabik
kehormatan kaum wanita)."
[7] Shahih
Muslim, jil. I, hal. 213,
hadis ke-25. Al-Muwaththa', jil.
I, hal. 19, hadis ke-5. Syarh Ma'anil Atsar, jil. I, hal. 38 hadis ke-188.
[8] Sebab, Aisyah telah berkata kepada Abdul Rahman, "Hai Abdul Rahman, Asbighil Wudu (sempurnakanlah wudu)."
[9] Shahih
Muslim, jil. I, hal. 214-215, hadis ke-29.
[10] Hadis Mudraj adalah
hadis yang di dalamnya terdapat penambahan dan bukan dari Rasulullah
saw. Hadis Mudraj ini ada dua macam: 1. Idraj dalam sanad.
2. Idraj dalam matan hadisnya.
Contoh Idraj dalam matan seperti hadis Abu Hurairah, "Asbighul
Wudhu', Wailun LilA'qabi Afinannar." Karena sesungguhnya
Rasulullah saw tidak mengucapkannya secara bersamaan, bahkan masing-masing
hadis tersebut diucapkan beliau dalam kasus berbeda, tetapi Abu Hurairah malah
menambahkan bagian pertama ke bagian hadis kedua.
Dan
tidaklah dibenarkan menambahkan sesuatu apapun (ke
dalam hadis) dengan sengaja. Lihat: Mukadimah Ibnu al-Shalah, hal. 76; Tadrib
al-Ravi, hal. 80; Adhwa' 'Alassunnah al-Muhammadiyah, hal. 140.
[11] al-Mushannif (Abdul
Razaq), jil. I, hal. 20 hadis ke58.
[12] Sunan Ibnu
Majah, jil. I, hal. 156, hadis ke-458.
[13] Musnad al-Hamidi, jil. I, hal. 164 dan Musnad Ahmad, jil. VI, hal. 358.
[14] Dalam kitab al-Mushannif (Abdul Razaq),
jil. I, hal. 19, hadis ke-54 dengan sanad
dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa
dia berkata, "Allah telah mewajibkan (dalam wudhu) dua basuhan dan
dua usapan; tidakkah engkau melihat bahwa Allah juga menyebut soal tayammum, kemudian dia menggantikan posisi dua basuhan dengan
dua usapan, dan meninggalkan posisi dua usapan?"
[15] Tafsir
Thabari, jil. VI, hal. 82.
Tafsir
Ibnu Katsir, jil. II, hal. 44.
Al-Jami'Li Ahkamil
Quran, jil.
VI, hal. 92.
Ad-Durrul Mantsur,
jil.
II, hal. 262.
Tafsir
al-Khazin, jil. I, hal. 435.
[16] Anda akan mengetahui sebabnya dalam terbitan kedua dari rangkaian pembahasan ini dengan tema: Wudhu' Usman bin Affan Minannasy'ati i1al Intisyar.
[17]
Lihat: Tandzib
al-Kamal, jil. IX,
hal. 154. Dalam kitab itu disebutkan ucapan Said bin Jubair, "Raja' bin
Heiwah adalah salah seorang di antara fukaha Syam, tetapi apabila engkau pancing dia, niscaya akan engkau dapati
bahwa dia seorang Syami (Umawi) yang
berkata, “Abdul Malik bin Marwan telah menghukumi (masalah ini) dengan
hukuman ini dan itu.”
[18]
Lihat: Tandzib
al-Tandzib, jil. VI, hal. 422; Tandzib al-Kamal,
jil. XXVIII, hal. 410; Tarikh
Baghdad, jil. X, hal. 389; al-Muntazham, jil. VI, hal. 39.
Dalam kitab itu disebutkan bahwa Abdullah bin Umar ditanya, "Kepada siapakah kami harus bertanya setelah Anda?"
Dia menjawab, "Sesungguhnya Marwan mempunyai seorang putra yang menguasai hukum, bertanyalah
kepadanya."
[19] Lihat: Kitab
al-Amwal, hal. 412; al-Syi'r wa alSyu’ara’, hal. 392.
[20] Al-Mustadrak 'ala al-Shahihain, jil. IV, hal. 14 dan yang mengueapkan
kalimat ini adalah Atha' bin Abi Rabah, yang tangannya dipotong oleh Abdullah
bin Zubair. Dan Bani Umayyah telah memerintahkan seseorang untuk berteriak,
"Tiada seorang pun yang berhak
mengeluarkan fatwa kecuali Atha'!" Lihat: Tandzib al-Tandzib, jil.
VII, hal. 181.
[21] Lihat: Musnad
Ahmad, jil. V, hal. 342.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar