Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Beginilah Wudhu Sang Nabi: Bani Umayyah dan Wudhu

 

 


BANI UMAYYAH DAN WUDHU

 

Tatkala Imam Ali gugur sebagai syahid dan Imam Hasan berdamai dengan Muawiyah, tampuk kepemimpinan jatuh ke tangan Muawiyah. Dia pun mulai mengikuti jejak Usman dalam urusan fikih dan mendukungnya secara ideologi. Dia membangun pendapat-pendapat sepupu­nya, sebagaimana peristiwa yang terjadi pada saat dia menunaikan Shalat Zuhur dua rakaat di Mekah. Melihat itu, Marwan bin Hakam dan Amr bin Usman bangkit menghampirinya seraya berkata, "Tak seorang pun yang mencela putra pamanmu dengan celaan yang lebih buruk dari celaanmu, dengan perbuatan yang baru saja kau lakukan."

Muawiyah berkata kepada keduanya:

"Sesungguhnya dia (Usman) mengerjakannya bersama Nabi, Abu Bakar, dan Umar, dua raka’at (meng-qashar)."

Mereka berdua berkata kepada Muawiyah:

"Sesungguhnya putra pamanmu (Usman) menyempurnakan shalatnya (tidak meng-­qashar), dan perbuatanmu yang bersebera­ngan dengannya itu adalah suatu cela."

Kemudian Muawiyah pergi ke Mina dan mengerjakan Shalat Zuhur empat rakaat bersama kami.[1]

Muawiyah juga mengikuti jejak Usman dalam hal kebolehan menikahi dua orang budak wanita yang berstatus kakak-beradik[2] dan tidak melakukan takbir yang disunnahkan dalam shalat, lantaran Usman tak melakukannya. Hal yang sama juga tak dilakukan Ziyad bin Abih karena Muawiyah tak melakukannya.[3]

Muawiyah juga sama dengan Usman dalam hal tidak ber-talbiah (mengucapkan Labbaik Allahumma Labbaik) dalam menunaikan ibadah haji.[4] Mereka meriwayatkan bahwa Rasulullah saw, Abu Bakar, dan Umar hanya mengucapkan kalimat Tahlil (La Ilaha Illallah), dan para periwayat itu tidak menyebutkan nama Usman.[5] Dan masih banyak lagi persoalan-persoalan fikih lainnya.

Begitu juga halnya dengan langkah-langkah Muawiyah dalam menetapkan kaidah "siapa saja yang menang" setelah kaidah tersebut diyakini oleh Usman.[6] Selain itu, Muawiyah juga memu­satkan perhatiannya kepada masalah-masalah ideologis, di mana keuntungannya akan kembali pada penguatan pilar-pilar pemerintahan Umawi, dan tentu yang paling menonjol adalah penguatan atas pemikiran-pemikiran Usman. Di sini, yang penting bagi kita adalah keberpihakan Muawiyah kepada ide Usman dalam persoalan fikih, serta pengaruh fikih tersebut terhadap persoalan wudhu.

Fikih Umawi telah bergulir di atas jalan Usman. Fikih ini memanfaatkan hadis: Asbighul Wudhu dan Wailun Lil A'Qabi Minannar untuk memperkokoh fondasi wudhu ala Usman.

1. Abdul Rahman bin Abu Bakar masuk ke rumah Aisyah pada hari kematian Sa'ad bi Abi Waqqash (tahun 55 H), kemudian dia berwudhu di rumah Aisyah, yang berkata kepadanya, "Hai Abdul Rahman, sempurnakanlah wudhu, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda, "Wailun Lil A’qabi Minannar"[7]

Perhatikan bagaimana Aisyah berpindah dari hadis Rasulullah saw: Asbighul Wudhu­ meskipun kondisinya saat itu menuntut untuk berargumen dengan dalil tersebut[8]—kepada argumentasi: Wailun Lil Aqabi Minannar.

Di balik perpindahan ini tersimpan klaim Ummul Mukminin Aisyah—yang di belakang­nya adalah Bani Umayyah, dan (tentunya) sebelum mereka adalah Usman—untuk mem­buktikan bahwa Wailun Lil Aqab adalah dalil bagi wudhu Ghasli, sebagaimana pemahaman itu sampai sekarang masih terpatri dalam jiwa para pengikut madrasah ijtihad dan al-ra'yu.

Kesimpulannya adalah bahwa riwayat di atas memberitahukan kepada kita akan adanya perbedaan antara wudhu Abdul Rahman dengan wudhu yang diinginkan Aisyah. Sebagaimana telah kita ketahui, ucapan Aisyah itu adalah untuk membuktikan wudhu Ghasli. Dari sini kita dapat memahami bahwa berlawanan dari apa yang dikatakan Aisyah, Abdul Rahman berpihak kepada wudhu Mashi (mengusap kepala dan bagian atas kedua kaki).

Kemudian datanglah Abu Hurairah untuk melakukan apa yang telah dilakukan oleh Ummul Mukminin Aisyah. Ini ditunjukkan tatkala dia melihat sekelompok orang yang sedang berwudhu. Dia berkata kepada mereka "Asbighul Wudhu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Abul Qasim (Rasulullah saw) bersabda, “Wailun Lil 'Araqib Minannar (celakalah orang yang tidak membasuh otot-otot tumit bagian belakangnya)."[9]

Tidak sedikit pula ulama yang menambahi hadis,[10] karena meniru hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, “Asbighul Wudhu Wailun Lil A'qabi Minannar."

Hadis ini disebut hadis mudraj, karena hadis yang disabdakan Rasulullah saw tidak seperti yang diriwayatkan Abu Hurairah. Ini menunjuk­kan bahwa Abu Hurairah - sama seperti Aisyah­ - ingin menjadikan hadis: Wailun Lil A’qab atau al-‘Araqib sebagai dalil untuk wudhu ghasli ala Usman.

Ini menjadi sangat jelas dengan apa yang dikemukakan Abdul Razaq, dari Ibnu Juraij yang berkata, "Aku bertanya kepada Atha', “Mengapa aku tak boleh mengusap kedua kaki sebagaimana aku mengusap kepala, padahal al-Quran menyebut keduanya?”

Atha' menjawab, “Aku tidak melihatnya, kecuali mengusap kepala dan membasuh kedua kaki. Sesungguhnya aku pernah mendengar Abu Hurairah berkata, “Wailun Lil Aqabi Minannar.” Atha' meneruskan perkataannya, “Banyak sekali yang berpendapat bahwa (yang dimaksud dalam ayat itu) adalah mengusap bagian atas kedua kaki, tetapi aku berpihak pada pendapat yang mengatakan membasuh kedua kaki.”[11]

Lihatlah bagaimana dia menjadikan ucapan Abu Hurairah: Wailun Lil Aqab sebagai dalil ghali (membasuh kedua kaki dalam wudhu). Ini menunjukkan kepada kita adanya lingkaran yang saling berkait untuk membuktikan kebe­naran wudhu ghasli. Oleh karena itu, dari ber­palingnya Aisyah, idraj-nya Abu Hurairah, dan argumentasi Atha', menjadi jelaslah mata rantai kemajuan yang ditujukan untuk menetapkan dan memberikan dukungan bagi wudhu Usmani.

2. Dukungan Bani Umayyah bagi wudhu Usmani terus berlanjut. Seiring dengan itu, metode ta'abbud juga selalu berusaha mem­batalkannya, karena wudhu ala Usman bin Affan itu bertentangan dengan al-Kitab dan al­-Sunnah.

Ibnu Majah, dengan sanad-nya hingga kepada al-Bahr binti Mu'awwadz, berkata, "Ibnu Abbas mendatangiku. Kemudian dia bertanya kepadaku tentang hadis ini—hadis yang dia sebutkan bahwa Rasulullah saw berwudhu dan membasuh kedua kakinya. Ibnu Abbas berkata:

“Sesungguhnya orang-orang enggan menerima kecuali basuhan! Padahal aku tak menemukan dalam Kitabullah selain usapan.”[12]

Al-Hamidi berkata, "Sufyan meriwayatkan hadis kepada kami. Dia berkata, “Abdullah bin Muhammad bin Aqil bin Abi Thalib meriwayat­kan kepada kami. Dia berkata, “Ali bin Husain mengutusku kepada al-Rabi' binti al-Mu'awwadz bin Afra' agar aku menanyakan tentang wudhu Rasulullah saw, karena beliau wring berwudhu di tempatnya. Aku pun menemuinya. Kemudian dia mengeluarkan sebuah wadah... Lalu dia berkata:

“Dengan inilah aku selalu keluar membawa­kan air untuk Rasulullah saw. Sebelum memasukkan kedua tangannya ke dalam wadah, terlebih dahulu beliau membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, kemudian berkumur-kumur dan memasuk­kan air ke dalam hidung masing-masing tiga kali. Kemudian, membasuh wajahnya tiga kali, lalu membasuh kedua tangannya masing-masing tiga kali. Setelah itu meng­usap kepalanya, baik dari depan maupun dari belakang, kemudian beliau membasuh kedua kakinya masing-masing tiga kali.' Al-Rabi' berkata, “Putra pamanmu (yang dimaksud Ibnu Abbas) juga datang menemuiku dan menanyakan tentang soal yang sama. Aku pun memberitahukan (wudhu yang kulihat dari Rasulullah saw) kepadanya.

Tetapi dia (Ibnu Abbas) berkata, “Kami tidak mengetahui (menemukan) dalam Kitabullah selain dua basuhan dan dua usapan!"[13]

Di sini kita dapat melihat adanya perbedaan dua wudhu yang terjadi pada masa Umawi. Contohnya: Pertama, perbedaan antara wudhu al-Rabi' binti Mu'awwadz dengan wudhu (yang diketahui) oleh Ibnu Abbas. Kedua, perbedaan yang terjadi antara al-Rabi' binti Muawwadz dengan Imam Sajjad dan Abdullah bin Muhammad bin Aqi1 bin Abi Thalib.

Melihat dua riwayat di atas, al-Rabi' telah berpihak kepada wudhu ghasli dan bersikeras pada pendapatnya—padahal dia tabu bahwa keluarga Rasulullah saw tidak menerima riwayat tentang wudhu ghasli yang dinukil oleh al-Rabi', karena Ibnu Abbas telah menggugur­kan pendapat al-Rabi' dengan dalil al-Quran, dan dalam sanggahannya itu terdapat isyarat tentang tidak dapat dinisbatkannya wudhu ghasli kepada Rasulullah saw. Selanjutnya, Anda dapat melihat - dalam riwayat lain - bagaimana dia (Ibnu Abbas ra) mengikuti cara yang biasa dilakukan para pendukung wudhu ghasli, yaitu al-ra'yu dan ijtihad untuk membuktikan kebenaran wudhu Mashi, dengan alasan tidak diusapnya dua anggota wudhu yang harus diusap, dalam tayammum.[14]

Ini membuktikan adanya dukungan kuat Bani Umayyah kepada seluruh ulama dan muhaddis-nya dalam hal wudhu ghasli Usmani.

3.  Akhirnya, persoalan wudhu ghasli diperkokoh oleh al-Hajjaj—padahal wudhu ghasli sangat jauh kebenarannya dari agama, seperti jauhnya jarak antara bumi dan langit—dengan dideklarasikannya hal itu di alas mimbar.

Thabari telah menyebutkan dalam kitabnya, dengan sanad hingga ke Hamid, yang berkata:

"Musa bin Anas berkata kepada Anas, sementara kami berada di rumahnya, “Hai Abu Hamzah, al-Hajjaj pernah berpidato di depan kami, di Ahwaz. Dan tatkala bersama dengannya, kami menyebut tentang wudhu, dia berkata, “Basuhlah wajah dan kedua tangan kalian, dan usaplah kepala dan kedua kaki kalian, karena sesungguhnya tiada yang lebih dekat dari anak Adam kepada kotoran dari kedua kakinya. Karena itu, basuhlah kedua telapak kaki, bagian alas dan tumit‑tumitnya...”

Kemudian, Anas berkata, “Maha Benar Allah dan al-Hajjaj telah berbohong.

Allah berfirman:

Wamsahu bi Ru-usikum wa Arjulakum (dan usaplah kepada dan kaki kamu).[15]

Keterangan dan argumentasi al-Hajjaj ini, dari satu sisi, menunjukkan keberpihakan Bani Umayyah terhadap wudhu Usmani, sebagai­mana juga menunjukkan adanya usaha pengo­kohan atas fondasi ijtihad dan al-ragu dalam hal wudhu, yang berseberangan dengan wudhu Rasulullah saw dan Imam Ali.

Imam Ali bin Abi Thalib menekankan bahwa seandainya persoalan wudhu itu dapat diselesai­kan dengan ijtihad, niscaya telapak kedua kaki lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Tetapi beliau telah melihat Rasulullah saw mengusap bagian atas kedua kaki. Kemudian, datanglah al-Hajjaj menentang Rasulullah saw dan al-Quran, sambil menegas­kan bahwa kedua telapak kaki, bagian atas kaki, dan tumit-tumitnya harus dibasuh, dengan alasan, keduanya itu lebih dekat kepada kotoran!

Setelah ini, tiada lagi alasan untuk ragu bahwa Bani Umayyah benar-benar berpihak kepada wudhu Usmani, mengikuti jejak dan berargumen dengan argumen Usman bin Affan, disertai pengembangan dan penyebarluasan pendapat-pendapat pribadi, takwil, ijtihad, dan dalil-dalil yang jauh dari kebenaran. Ini menunjukkan ketidakaslian wudhu Usmani dan bahwa cara wudhu tersebut tidak mereka dapatkan dari ajaran Rasulullah saw.

Sebagai sikap berlebih-lebihan mereka dalam pengukuhan wudhu yang diklaimnya, mereka menyandarkan wudhu tersebut kepada tokoh-tokoh yang berpihak kepada wudhu mashi, seperti Imam Ali as, Ibnu Abbas, dan Anas; bahwa mereka ini selalu melakukan tiga basuhan, atau membasuh kaki, dan seterusnya. Itu mereka lakukan untuk menjauhkan tudingan bid'ah terhadap diri mereka. Dan demi kelan­caran tujuan ini, mereka melarang pengum­pulan hadis. Ini terns berlangsung hingga zaman Umar bin Abdul Aziz yang memerintahkan agar hadis-hadis Rasulullah saw itu dikumpulkan dan disebarluaskan ke segala penjuru negeri. Perintah mengumpulkan hadis-hadis Nabi itu dikeluarkan bersamaan dengan keharusan merujuk kepada Ibnu Syihab al-Zuhri, dengan alasan, mereka tidak menemukan orang yang lebih pandai darinya.[16] Mereka juga telah memanfaatkan Raja' bin Heiwah—salah seorang fukaha Syam—untuk memberikan bimbingan dan fatwa bagi masyarakat dengan bersandar kepada pendapat-pendapat pribadi Abdul Malik bin Marwan.[17] Hal yang sama juga datang dari Abdullah bin Umar[18] yang mendorong orang-­orang untuk mengambil (hukum) dari Abdul Malik.

Dan Abu Hurairah adalah salah seorang yang mengajak untuk bungkam seribu bahasa atas kezaliman Bani Umayyah.[19] Sementara di mata Ahlussunnah, Aisyah adalah orang yang paling pandai dan terhebat dalam ijtihad-nya.[20]

Semua itu datang untuk melemahkan rambu-rambu fikih ta'abbudi dan menyimpangkan wudhu Rasulullah saw. Karenanya, dalam periode ini kita melihat banyaknya pendukung wudhu penguasa (wudhu ghasli), setelah sebelumnya daun timbangan itu condong kepada wudhu mashi pada masa Usman dan sebelumnya. Namun­ kendati pemerintahan Bani Umayyah men­curahkan segala usaha mereka—masih saja ada orang-orang yang mengikuti Rasulullah saw dalam hal wudhu mashi. Mereka itu di antaranya adalah Urwah bin Zubair, Hasan al‑Bashri, Ibrahim al-Nakhal al-Sya'bi, Ikrimah, Alqamah bin Qais, Imam al-Baqir as, Imam als-Shadiq as, dan masih banyak lagi yang lain.

Bani Umayyah tak mampu melawan wudhu mashi—meski mereka adalah para penyeru kepada wudhu ghasli—dan kita tidak melihat para Ahlul Bait ber- taqiyah (menyembunyikan kebenaran) dalam wudhu, bahkan keadaan itu terus berlangsung hingga periode-periode akhir kekuasaan Bani Umayyah. Siapa saja yang me­rujuk pada riwayat-riwayat dari Imam Muhammad al-Baqir dalam empat kitab hadis Syiah, niscaya akan mendapati bagaimana Imam menjelaskan wudhu Rasulullah saw yang belum terkontaminasi dengan berbagai pendapat yang beragam.

Tampaknya, Bani Umayyah tak mengguna­kan cara kekerasan terhadap sebagian sahabat dan tabi’in, seperti Anas bin Malik, Ibnu Abbas, Ali bin Husain as, Muhammad bin Ali al-Baqir as, dan lain-lain dalam persoalan wudhu mereka. Meskipun pada kesempatan yang berbeda mereka memberlakukan kekerasan dalam menghadapi sebagian sahabat lain sebagaimana tercantum dalam hadis Abi Malik al-Asy'ari,[21] dan bagaimana dia ketakutan dalam menjelaskan wudhu atau shalat Rasulullah saw kepada kaumnya.[]

 


[1] Lihat: Musnad Ahmad, jil. IV, hal. 94; Fathul Bari, jil. II, hal. 457; Nailul Authar, jil. III, hal. 259.

[2] Lihat: ad-Durrul Mantsur, jil. II, hal. 137; al-M­uwaththa',jil. II, hal. 538 hadis ke-34.

[3] Lihat: Fathul Bari, jil. II, hal. 215.

[4] Sunan an-Nasa’i (al-Mujtaba), jil. V, hal. 253; Sunan al-Baihaqi, jil. V, hal. 113.

[5] Lihat: al-Muhalla, jil. VII, hal. 135-136; Fathul Bari, jil. III, hal. 419-420.

[6] Dalam kitab al-Imamah wa al-Siyasah, hal. 58 dinukilkan perkataan Abdullah bin Umar bin Khathab kepada Usman ketika para pemberontak mengobarkan api di depan pintu rumah Usman, "Hai Amirul Mukminin, kepada siapakah Anda perintahkan aku untuk bergabung, apabila para pemberontak itu mampu mengalahkan Anda?" Usman berkata, "Hendaknya engkau bergabung bersama jamaah."

Aku (Ibnu Umar) bertanya, "Meskipun jamaah itu adalah orang-orang yang memberontak terhadapmu?"

Usman menjawab, "Hendaknya kamu bergabung dengan jamaah di mana pun mereka berada."

Dan Muawiyah telah berjalan di atas jalan (metode) ini. Dalam kitab Tarikh Ibnu Khaldun, jil. II, hal. 170 disebutkan, "Ali mengutus beberapa orang utusannya kepada Muawiyah. Salah seorang utusan itu berkata kepada Muawiyah, “Bertakwalah engkau, wahai Muawiyah, dan tinggalkanlah apa yang selama ini kau takukan, dan janganlah bermusuhan dengan orang yang berada di posisi yang benar.” Muawiyah menjawabnya seraya memaki, “Pergilah kalian semua dari hadapanku, karena sesungguhnya tiada yang dapat menyelesaikan (persoalan yang ada) antara aku dan kalian selain pedang...”

Dalam kitab al-Mushannif (Ibnu Abi Syaibah), jil. VII, hal. 251; Tarikh Dimasyq, jil. LIX, hal. 150; Al-Bidayah dan al-Nihayah, jil. VIII, hal. 140; Maqatil al-Thalibin, hal. 45; dan Syarh Nahj al-Balaghah, jil. XVI, hal. 46, disebutkan perkataan Muawiyah dalam sebuah pidatonya yang disampaikan. di Nukhailah pada hari Jumat:

"Sesungguhnya aku tidak memerangi kalian supaya kalian shalat, berpuasa, menunaikan haji, dan mengeluarkan zakat–karena sesungguhnya kalian melakukan semua hal tersebut. Alasan aku memerangi kalian adalah agar aku dapat memerintah (menguasai) kalian."

Abdullah bin Umar (juga) berjalan di atas kaidah ini. Al­-Qadhi Abu Ya'la dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, hal. 7-8 berkata:

"Orang yang gila tahta keluar menentang Imam, maka muncullah dua kelompok yang berbeda antara yang berpihak kepada Imam dan yang berpihak kepadanya. Shalat Jum’at pun didirikan bersama orang yang memenangkan pertikaian, dan dia berdalil bahwa Ibnu Umar telah shalat bersama penduduk Madinah pada zaman al-Harrah (di mana tentara Yazid menginjak-­injak kehormatan Madinatu al-Rasul dan mencabik­-cabik kehormatan kaum wanita)."

[7] Shahih Muslim, jil. I, hal. 213, hadis ke-25. Al-Muwaththa', jil. I, hal. 19, hadis ke-5. Syarh Ma'anil Atsar, jil. I, hal. 38 hadis ke-188.

[8] Sebab, Aisyah telah berkata kepada Abdul Rahman, "Hai Abdul Rahman, Asbighil Wudu (sempurnakanlah wudu)."

[9] Shahih Muslim, jil. I, hal. 214-215, hadis ke-29.

[10] Hadis Mudraj adalah hadis yang di dalamnya terdapat penambahan dan bukan dari Rasulullah saw. Hadis Mudraj ini ada dua macam: 1. Idraj dalam sanad. 2. Idraj dalam matan hadisnya. Contoh Idraj dalam matan seperti hadis Abu Hurairah, "Asbighul Wudhu', Wailun LilA'qabi Afinannar." Karena sesungguhnya Rasulullah saw tidak mengucapkannya secara bersamaan, bahkan masing­-masing hadis tersebut diucapkan beliau dalam kasus berbeda, tetapi Abu Hurairah malah menambahkan bagian pertama ke bagian hadis kedua.

Dan tidaklah dibenarkan menambahkan sesuatu apapun (ke dalam hadis) dengan sengaja. Lihat: Mukadimah Ibnu al-Shalah, hal. 76; Tadrib al-Ravi, hal. 80; Adhwa' 'Alassunnah al-Muhammadiyah, hal. 140.

[11] al-Mushannif (Abdul Razaq), jil. I, hal. 20 hadis ke­58.

[12] Sunan Ibnu Majah, jil. I, hal. 156, hadis ke-458.

[13] Musnad al-Hamidi, jil. I, hal. 164 dan Musnad Ahmad, jil. VI, hal. 358.

[14] Dalam kitab al-Mushannif (Abdul Razaq), jil. I, hal. 19, hadis ke-54 dengan sanad dari Ibnu Abbas, disebutkan bahwa dia berkata, "Allah telah mewajibkan (dalam wudhu) dua basuhan dan dua usapan; tidakkah engkau melihat bahwa Allah juga menyebut soal tayammum, kemudian dia menggantikan posisi dua basuhan dengan dua usapan, dan meninggalkan posisi dua usapan?"

[15] Tafsir Thabari, jil. VI, hal. 82.

Tafsir Ibnu Katsir, jil. II, hal. 44.

Al-Jami'Li Ahkamil Quran, jil. VI, hal. 92.

Ad-Durrul Mantsur, jil. II, hal. 262.

Tafsir al-Khazin, jil. I, hal. 435.

[16] Anda akan mengetahui sebabnya dalam terbitan kedua dari rangkaian pembahasan ini dengan tema: Wudhu' Usman bin Affan Minannasy'ati i1al Intisyar.

[17] Lihat: Tandzib al-Kamal, jil. IX, hal. 154. Dalam kitab itu disebutkan ucapan Said bin Jubair, "Raja' bin Heiwah adalah salah seorang di antara fukaha Syam, tetapi apabila engkau pancing dia, niscaya akan engkau dapati bahwa dia seorang Syami (Umawi) yang berkata, “Abdul Malik bin Marwan telah menghukumi (masalah ini) dengan hukuman ini dan itu.”

[18] Lihat: Tandzib al-Tandzib, jil. VI, hal. 422; Tandzib al-Kamal, jil. XXVIII, hal. 410; Tarikh Baghdad, jil. X, hal. 389; al-Muntazham, jil. VI, hal. 39. Dalam kitab itu disebutkan bahwa Abdullah bin Umar ditanya, "Kepada siapakah kami harus bertanya setelah Anda?" Dia menjawab, "Sesungguhnya Marwan mempunyai seorang putra yang menguasai hukum, bertanyalah kepadanya."

[19] Lihat: Kitab al-Amwal, hal. 412; al-Syi'r wa al­Syu’ara’, hal. 392.

[20] Al-Mustadrak 'ala al-Shahihain, jil. IV, hal. 14 dan yang mengueapkan kalimat ini adalah Atha' bin Abi Rabah, yang tangannya dipotong oleh Abdullah bin Zubair. Dan Bani Umayyah telah memerintahkan seseorang untuk berteriak, "Tiada seorang pun yang berhak mengeluarkan fatwa kecuali Atha'!" Lihat: Tandzib al-Tandzib, jil. VII, hal. 181.

[21] Lihat: Musnad Ahmad, jil. V, hal. 342.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar