USMAN DAN IJTIHAD
Pada saat kelompok jjtihad dan al-ra'yu
memegang tampuk kepemimpinan, mereka
mulai menjadikan sikap yang diambil oleh Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) sebagai hal ketiga setelah al-Quran
dan al-Sunnah. Mereka mensyaratkan bagi siapa saja yang duduk di kursi
khalifah setelah Umar untuk tetap komit dengan kaidah yang dibangun di atas
landasan ijtihad.
Karena itu, Usman pun menerima syarat
tersebut, sedangkan Imam Ali menolaknya dengan keras. Sebab, menerima syarat itu berarti melepaskan diri dari madrasah ta'abud murni,
yang berarti bergabung dengan ijtihad bi
al-ra'yi. Dan alasan inilah yang mendasari
penolakan Imam Ali bin Abi Thalib sebagai
bentuk kepatuhan beliau kepada Rasulullah
Saw dan al-Quran, sebagaimana yang telah kami jelaskan. Sebab, dengan
menerima syarat itu, beliau akan menambah legalitas pemikiran baru tersebut.
Dan jelas pula bahwa dengan
syarat tersebut, maksud Abdul Rahman bin Auf yang selalu menginginkan agar Usman tetap konsisten dengan
semua ijtihad yang dicetuskan oleh Syaikhain,
dan tidak memperlebar ruang lingkup ijtihad pada selain keduanya (Syaikhain).
Namun kenyataan yang terjadi setelahnya
adalah justru berkebalikan dengan apa yang diinginkan oleh Syaikhain dan
Ibnu Auf. Sebab pemikiran ijtihad itu sendiri
menolak pembatasan yang tidak memiliki kekuatan yang dapat memaksakan
pembatasan sesuai dengan apa yang diinginkan.
Dilegalkannya
sunnah Syaikhain - sesuai dengan keputusan ijtihad dan
diangkatnya itu sampai ke taraf yang sejajar
dengan sunnah Nabi, ditujukan untuk
menerapkan segala hukum yang
direkayasa pada masa kekhalifahan mereka berdua, mengakui legalitas
sunnah Syaikhain, dan tidak memberi peluang bagi orang lain untuk menolaknya. Sedangkan Usman bin
Affan sendiri berkeyakinan bahwa sedikit
pun dirinya tidak kurang dari Syaikhain. Oleh karena itu, apa alasannya sehingga dia harus berpegang teguh
pada ajaran Syaikhain, sementara dia
sendiri tak boleh membuat sebuah ajaran dan ijtihad-ijtihad sendiri?
Usman berjalan di atas jalur ajaran
Syaikhan hanya dalam tempo singkat, sampai ketika dia ingin
memiliki pendapat yang independen dan menjadikan dirinya sebagai orang ketiga
dalam jajaran pendiri madrasah ijtihad. Mulailah orang-orang sekitarnya
menampakkan rasa keberatan mereka kepadanya
dan kritikan-kritikan pun mulai gencar di arahkan, sebab ijtihad-ijtihad-nya telah memperluas ruang lingkup
yang pertama, yang dengan demikian mengeluarkan
Usman dari janji yang seharusnya dipegangnya,
sebagaimana juga merusak (konsensus) tentang ijtihad yang hanya
dibatasi pada Syaikhain saja. Apa yang telah dilakukan Usman menjadi
alasan bagi para sahabat untuk menjulukinya sebagai orang yang telah menyimpangkan
dan membengkokkan agama. Mereka kemudian
menyamakannya dengan Na'tsal Si Yahudi, dan sebagainya.
Oleh karena itu,
kita menemukan banyak sekali
orang yang menentang pendapat-pendapat
Usman bin Affan. Penentangan mereka terhadap hukum baru yang ingin
diterapkannya ke dalam banyak persoalan hukum yang ada, di antaranya adalah
masalah wudhu, sebagaimana yang telah dan akan Anda lihal.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar