ALI DAN WUDHU
Ketika Imam Ali duduk di
tampuk kepemimpinan, mulailah beliau menjelaskan wudhu Nabi kepada kaum muslimin serta
menjelaskan dan mengungkap bid'ah Usman dalam hal wudhu. Di sini kita dapat merunut langkah-langkah beliau dalam menjelaskan wudhu Rasulullah Saw sebagai berikut:
1. Wudhu menurut Imam Ali, yang tercantum dalam kitab-kitab fikih,[1] tafsir,[2] dan hadis,[3]
adalah wudhu dengan cara dua usapan.
Cara ini diikuti oleh banyak sahabat, dan
yang menonjol adalah Ibnu Abbas, keluarga besar Thalib, dan Anas bin
Malik.
2. Imam Ali seringkali mengisyaratkan (menegur) pembaharuan (bid'ah) yang berterusan seputar wudhu, seperti
ucapan beliau setelah melakukan wudhu mashi dan
meminum bekas air wudhunya:
"Banyak sekali orang yang tidak suka ini (meminum
bekas air wudhu), padahal aku pernah melihat Rasulullah saw melakukan seperti ini, dan inilah wudhu orang yang tidak
melakukan pembaharuan (dalam hal wudhu)."[4]
Ucapan beliau:
"Dan inilah wudhu (yang dilakukan) orang yang
tidak melakukan pembaharuan (dalam hat wudhu)," serta:
"Aku pernah melihat
Rasulullah saw melakukan seperti ini,"[5] menguatkan fakta atas
banyaknya orang yang menciptakan pembaharuan dalam persoalan wudhu, dan
sebagaimana kita ketahui, sebelum beliau tidak ada orang yang melakukan pembaharuan dalam persoalan wudhu selain Usman.
3. Beliau mengatakan:
"
Hingga kata-kata beliau:
"Dan aku telah kembalikan (persoalan) wudhu, mandi, dan shalat
kepada waktu, syariat, serta tempat-tempatnya (seperti sediakala).”[6]
Riwayat ini—setelah terbukti Syaikhain tak membuat
bid'ah dalam wudhu—hampir dapat dipastikan
(bermaksud) menjelaskan bid'ah Usman dalam hal wudhu tiga basuhan. Sebab,
Imam Ali dengan tegas mengatakan adanya bid'ah yang dilakukan para pemimpim
sebelumnya, dan tatkala Syaikhain terbebas dari bid’ah wudhu, maka yang
tersisa adalah Usman, sebagai orang yang
dimaksud oleh ucapan Imam Ali.
4. Di antara isi
Berkumur-kumurlah tiga kali,
dan beristinsyaq[7]lah
tiga kali, dan basuhlah wajahmu, kemudian
(basuhlah) tangan kananmu, lalu tangan kirimu, setelah itu usaplah kepala dan kedua kakimu... Karena sesungguhnya aku melihat
Rasulullah saw melakukan hal itu.[8]
5. Peringatan
serta isyarat Imam Ali—dalam salah satu hadis beliau tentang wudhu—bahwa penyebab munculnya
bid'ah dalam wudhu adalah ijtihad dan al-ra'yu, sementara wudhu
(bahkan agama itu sendiri) tidak dapat direka-reka, beliau sering berkata:
"Seandainya agama itu dapat disisipi
pendapat pribadi, maka telapak kaki lebih
pantas diusap dari pada bagian atasnya. Tetapi aku melihat Rasulullah saw mengusap bagian alas
kaki."[9] Beliau
juga berkata:
"Sebelumnya aku berpendapat bahwa
telapak kedua kaki itu lebih pantas
diusap daripada bagian alas kedua kaki, hingga akhirnya aku melihat Rasulullah saw mengusap bagian alas
kedua kaki."[10]
Beliau menetapkan bahwa (persoalan) agama—di antaranya adalah wudhu—tidak dapat
dikira-kira sebagaimana digambarkan sebagian orang. Seandainya
agama dapat direkayasa, maka telapak kaki
lebih pantas diusap. Lantas, bagaimana mungkin pengusapan bagian
atas kaki dapat berubah menjadi pembasuhan bagian atas dan bawah kaki, hanya
karena al-ra'yu dan ijtihad?
6. Wudhu-wudhu yang dijelaskan Imam Ali —yang juga dijelaskan Ibnu
Abbas dan Anas bin Malik—mengacu pada dalil-dalil dari al-Kitab dan al-Sunnah; bukan hanya sekadar klaim-klaim
yang bersandar pada pengamatan mereka akan
wudhu Rasulullah saw. Sebab, ucapan Imam Ali:
"Seandainya agama itu bisa direkayasa (dibangun
dengan akal), niscaya telapak kaki lebih pantas diusap dari pada bagian
atasnya. Tetapi aku melihat Rasulullah saw
mengusap bagian atas kedua kaki beliau."[11]
Dan ucapan beliau lainnya,
mengandungi dalil dari al-Kitab tentang al-Mashi (mengusap bagian atas kedua
kaki). Beliau menyampaikan persoalan mengusap bagian atas kedua kaki itu dengan
argumentasi yang jelas, sesuai dengan dasar
syariatnya, yaitu ayat tentang wudhu, yang secara lahiriah mengarah pada pengusapan kedua kaki. Kemudian,
beliau menyanggah argumentasi al-ra'yu, yang apabila argumentasi ini dapat diterima, maka keniscayaan yang muncul
adalah telapak kaki lebih pantas diusap (ketimbang bagian atasnya). Dari dua
kemungkinan tersebut (mengusap
bagian atas kedua kaki atau membasuh keduanya—penerj), mengusap bagian atas
kakilah yang disyariatkan. Setelah itu, Imam Ali bin Abi Thalib
menguatkan dalilnya dengan (fakta) bahwa
beliau melihat Rasulullah saw kala itu membasuh bagian atas kedua kakinya.
Bagitu pula, Ibnu Abbas sering berkata:
"Aku
tidak menemukan dalam Kitabullah (al‑Quran)
kecuali dua basuhan dan dua usapan."[12]
Anas bin Malik—pembantu
Rasulullah saw —juga sering menentang pendapat Hajjaj yang berpihak kepada membasuh kedua kaki (dengan dalil
bahwa membasuh itu lebih tepat untuk membersihkan kotoran) dengan ucapannya:
"Maha Benar Allah dan
Hajjaj telah berbohong. Allah telah berfirman: Dan usaplah kepalakepala
serta kaki-kaki kalian.”[13]
Tujuan utama kami di sini adalah menunjukkan tentang
dijadikannya al-Quran dan al-Sunnah sebagai dalil oleh Imam Ali serta sanggahan beliau atas argumentasi al-ra'yu. Tentu,
ini berbeda dengan wudhu ala Usman yang hanya bersandar pada ru'yat (melihat
Rasulullah saw berwudhu
seperti yang diklaimnya). Wudhu
ala Usman itu sama sekali tidak ada kaitannya
dengan apa yang harus dilakukan dalam wudhu. Tampaknya, Imam Ali ingin
mengisyaratkan pada ijtihad Usman dalam persoalan wudhu serta sanggahan
beliau (atas ijtihad Usman tersebut).
7. Setelah semua itu, kita tidak melihat adanya tawa dan senyum dalam semua wudhu Imam Ali,
Ibnu Abbas, Anas bin Malik, dan mereka yang mengusap bagian atas kedua kakinya.
Kita juga (tak melihat) adanya
pengakuan-pengakuan orang yang takut
mengetengahkan pemikiran baru, pengajaran-pengajaran yang diberikan secara sukarela begitu mendengar suara
kumur-kumur, dan masih banyak lagi yang telah kami sebutkan dalam pembahasan wudhu ala
Usman. Bahkan kita dapat melihat kondisi
pengajaran wudhu Rasulullah saw sebagai wudhu yang benar serta sanggahan
atas wudhu baru yang muncul dari hasil al-ra'yu,
dapat berjalan berdampingan secara normal. Sebab, nash-nash mereka
itu mengandungi penafian dan pembuktian secara bersamaan.[]
[1] Lihat: Fathul Bari (Ibnu Hajar), jil. I, hal. 213; al-Muhalla (Ibnu Hazm) 1-2, hal. 56, masalah ke 200. Nailul Authar (as-Syaukani), jil. I,
hal. 209; al-Mughni (Ibnu Qudamah),
jil. I, hal. 151, masalah ke 175; Umdatul
Qari (al-Aini), jil. I, hal. 21.
[2] Lihat:
Thabari dalam kitab Tafsir-nya,
jil. VI, hal. 86: Al-Jashshash dalamAhkam-nya,jil. II, hal.
346-347; Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya,
jil. II, hal. 45.
[3] Lihat: hadis yang
diriwayatkan oleh Abdul Khair dari Imam Ali dalam kitab Musnad al-Hamidi, jil.
I, hal. 26. hadis ke-47; Musnad Ahmad, jil.
I, hal. 95, 116, 124. 148; Musnad
al-Darimi, jil. I, hal. 181. Dan apa yang telah diriwayatkan oleh Nazzal bin Sirah dari beliau dalam Musnad Abi Daud al-Thayasi, jil.
XXII, hadis ke148 dan masih banyak lagi yang lain.
[4] Musnad
Ahmad, jil. I, hal. 153; Musnad Ahmad, jil. I, hal. 144. Dan Sunan
al-Baihaqi, jil. I, hal. 75.
[5] Musnad Ahmad, jil.
I,
hal. 12. Perlu Anda ketahui bahwa yang dimaksud dengan pembaharuan (ihdas) adalah
pembaharuan dalam persoalan agama, yakni pembaharuan
atas wudu Rasulullah saw.
[6] Al-Kafi, jil. VIII, hal. 59-62.
[7] Memasukkan
air ke dalam hidung dan mengeluar kannya.
[8] Lihat: Amali al-Mufid yang
dicetak di antara karya-karyanya, jil. XIII, hal. 2,67.
Amali al-Thusi, jil. XXIX dengan
di-sanad-kan kepada Tsaqafi, penulis kitab al-Gharat dalam kandungannya.
Riwayat tersebut telah di-tahrif dalam kitab
al-Gharat yang telah dicetak (jil. I, hal. 251-254) dan kami
telah menjelaskan hal itu dalam Madkhal al-Dirasah. Perlu diketahui di
sini bahwa ada riwayat yang menekankan pen-tahrif-an (penyimpangan) riwayat-riwayat yang dilakukan Muawiyah. Dalam kitab al-Gharat, pada
bagian akhir riwayat itu disebutkan
bahwa Muawiyah sering melihat tulisan ini dan merasa heran dengannya...
Kemudian al-Walid berkata kepada Muawiyah:
"Pendapat
pribadimu tiadalah berguna. Pendapat pribadi itu masih tetap terjaga, sedangkan orang-orang
tahu bahwa hadis-hadis (yang diriwayatkan) Abu Turab (Imam Ali) ada
padamu. Sementara itu, engkau belajar dari
hadis-hadis itu dan memutuskan hukum sesuai dengan hukum yang diterapkan
olehnya (Abu Turab)? Kalau begitu, mengapa engkau memeranginya?"
Muawiyah menjawab:
"Kalau
bukan karena Abu Turab telah membunuh Usman, kemudian dia
memberikan fatwa kepada kami. sudah pasti kami mengambil darinya."
Dia
berhenti sejenak, lalu melihat orang-orang di sekitarnya seraya berkata:
"Kami tidak
mengatakan bahwa tulisan ini adalah salah satu di antara tulisan-tulisan Ali
bin Abi Thalib. Tetapi kami berkata bahwa ini adalah salah satu di antara tulisan-tulisan Abu Bakar al-Shiddiq; sebelumnya
tulisan itu berasal darinya dan sekarang berada di tangan putranya bernama Muhammad. Karena itu, kami
akan menghukumi dan memberikan fatwa sesuai dengan tulisan (Abu Bakar)."
Dalam Syarh
Nahj al-Balaghah, jil. VI, hal. 73 dan
Al-Mushannif, jil. I, hal. 30, hadis
ke-6.
Sunan Abi Daud, jil. XLII, hadis ke-164.
[9]
Al-Mushannif, jil. I, hal. 30, hadis
ke-6.
[10] Susan
Abi Daud, jil. XLII, hadis ke-164.
[11] Takwil Mukhtalafil Hadis, jil. I, hal.
56.
[12]
Al-Sunan al-Kubra(al-Baihaqi), jil. I, hal.
72; Musnad Ahmad, jil. VI, hal. 358, Dengan sanad yang sahih menurut Bukhari, Ibnu Abbas berkata, "Wudu
itu hanya ada dua basuhan dan dua usapan." Lihat perkataan Ibnu Abbas
ini dalam kitab al-Mushannif (Abdul Razaq), jil. I, hal. 19, hadis
ke-55.
[13]
Tafsir Thabari, jil. VI, hal. 82; Tafsir Ibnu Katsir, jil. I, hal. 44; Tafsir
al-Qurthubi, jil. VI, hal. 92.
Anas bin Malik sering berkata, "Al-Quran telah diturunkan dengan
penjelasan tentang mengusap bagian atas
kedua kaki." Lihatlah perkataan ini dalam TafsirIbnu Katsir,
jil. II, bal. 44 dan al-Durrul Mantsur, jil. II, bal. 262.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar