Referensi: Tim Ahlul Bait
Indonesia, Syiah Menurut Syiah, hlm. 166-168, penerbit DPP Ahlul Bait
Indonesia, cetakan III, Oktober 2014/Dzulhijjah 1435 H.
Definisi Nikah Mut’ah
Ketika menafsirkan ayat 24 surah An-Nisa:
“Dan orang-orang yang mencari kenikmatan (istamta’tum dari akar kata yang sama sebagai mut’ah) dengan menikahi mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban. Tidaklah mengapa atas hal lain yang kalian sepakati selain kewajiban (awal). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Nisa [4]: 24)
Al-Kazhin (salah seorang mufasir Sunni) menjelaskan definisi nikah mut’ah sebagai berikut:
“Dan menurut sebagian kaum (ulama), yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah, yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis, maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibra’ (menanti masa iddahnya selesai dengan memastikan kesuciannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya, pen), dan tidak ada hak waris diantara keduanya…”[1]
Ibnu Hajar mendefinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan dipahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya), bahwa ia sebelumnya mubah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.”[2]
Sedangkan nikah mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlul Bait, adalah seperti definisi di atas.
Kebolehan Nikah Mut’ah
Pada dasarnya kaum Muslimin mempercayai bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Rasulullah Muhammad Saw, baik dilandasi nas ayat Al-Qur’an maupun nas-nas hadis Nabi Muhammad Saw. Namun kemudian ulama Ahlus Sunnah meyakini bahwa syariat itu sudah dihapuskan. Kalau pun pandangan ini memiliki kemungkinan benar, muslim Syiah memilih untuk mengambil dalil yang pasti bahwa mut’ah pernah dihalalkan oleh Nabi, dan bukan dalil pelarangannya oleh Nabi, yang masih bersifat kontroversial.
Larangan dilakukan oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab, yaitu ketika beliau menjabat khalifah, dimana beliau berpidato di hadapan khalayak, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah Saw adalah utusan Allah, dan Al-Qur’an adalah Al-Qur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku dimasa Rasulullah Saw, tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya. Salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.”[3]
Nikah mut’ah dalam Syiah, bukan asal kawin. Tetapi ia memiliki aturan-aturan dan tata krama tersendiri yang membuat persoalan ini sakral seperti laiknya nikah da’im (permanen). Karena itu, ulama-ulama Syiah tidak membenarkan jika nikah mut’ah dijadikan sekedar sebagai media pengumbaran syahwat. Lebih dari itu, nikah mut’ah punya tujuan yang sangat mulia, yaitu menghindarkan seseorang dari terjerumus pada perbuatan zina. Na’udzu billah.
Pada semua nikah disebut mut’ah (bersenang-senang atau menikmati). Kata “mut’ah” bukanlah ciptaan Syiah. Ia ada dalam Al-Qur’an, bahkan beberapa ayat menggunakan kata istamta’tum (bersenang-senang atau menikmati) yang berasal dari kata kerja lampau istamta’a dan masdar istimta’ yang serumpun.
Bila ayat tersebut di atas, yang dijadikan oleh Syiah sebagai salah satu dalil dimubahkannya mut’ah ditolak oleh sebagian besar ulama Sunni dengan menafsirkan kata “istamta’tum” sebagai nikah permanen, maka itu justru menjadi titik temu Syiah dan Sunni. Artinya, Sunni dan Syiah bersepakat bahwa nikah adalah mut’ah, meski keduanya berbeda tentang detailnya, terutama tentang pembatasan waktu.■
[1] Ali bin Muhammad Al-Baghdadi, Tafsir
Al-Kazhin, juz 1, h. 361-2, cet. 1, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut,
Lebanon, 2004 M (1425 H).
[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari
bi Syarh Shahih Al-Bukhari, juz 9, h. 72, tahkik Abd Al-Qadir Syaibah
Al-Hamd, Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyyah, Riyadh, Saudi Arabia, 2001 M,
1421 H.
[3] Al-Imam Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih
Muslim, op. cit., h. 654, hadis 3306, kitab Al-Nikah, bab Nikah
Al-Mut’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar