Referensi: Tim Ahlul Bait
Indonesia, Syiah Menurut Syiah, hlm. 171-172, penerbit DPP Ahlul Bait
Indonesia, cetakan III, Oktober 2014/Dzulhijjah 1435 H.
Tentu, meyakini kehalalannya tidak niscaya membenarkan setiap praktek nikah berjangka waktu secara serampangan tanpa memperhatikan dan mematuhi asas kemaslahatan, kepatutan dan asas-asas etika dan konteks yang berbeda-beda sesuai waktu dan tempatnya. Boleh jadi, meski secara fikih menurut Syiah, mut’ah atau nikah berjangka waktu mubah, namun prakteknya harus memenuhi sejumlah syarat kemubahannya, yang apabila salah satu syarat kemubahannya tidak terpenuhi, ia bisa bergeser menjadi tidak mubah bahkan bisa dianggap zina. Ini juga berlaku atas nikah non-berjangka waktu alias nikah permanen.
Berikut sebagian dari syarat-syarat kemubahan mut’ah yang secara umum disepakati oleh sebagian besar atau bahkan seluruh ulama Syiah:
1. Sebagaimana
ditetapkan dalam nikah tak berjangka waktu, penentu siapa yang menjadi suaminya
adalah hak wanita atau calon istri. Artinya, izin atau restu wali tidak secara
serta merta menjadikan wali berhak menentukan siapa calon suami atau calon
istri.
2. Sebagaimana
ditetapkan dalam nikah tak berjangka waktu, penentuan jumlah dan nilai mahar merupakan
hak wanita atau calon istri. Artinya, tuduhan bahwa nikah berjangka waktu ini
merendahkan wanita tertolak, karena pihak yang menentukan terlaksana dan tidak
terlaksananya adalah wanita atau calon istri. Bila jumlah mahar yang diminta dan
ditetapkan wanita tidak dipenuhi oleh calon suami, maka secara niscaya nikah
batal atau tidak telaksana.
Tidak dapat dipungkiri bahwa institusi perkawinan mut’ah sering kali disalahpahami, baik oleh yang tidak dapat menerimanya, maupun oleh yang menerimanya. Khususnya tekait dengan kelompok yang menerimanya, juga tak dapat dipungkiri adanya penyelewengan-penyelewengan dan praktik-praktik yang tak dapat dibenarkan. Namun, hal ini tentunya tidak serta merta membatalkan keabsahannya. Karena sesungguhnya, bukan hanya mut’ah yang terbuka bagi penyelewengan, melainkan juga aturan-aturan syariat lainnya. Bahkan, bukan tidak mungkin institusi perkawinan biasa (permanen, da’im) tak jarang diwarnai oleh praktik yang bertentangan dengan syariat.■
Tidak ada komentar:
Posting Komentar