Dentuman serangan Israel di langit Iran mengubah fragmentasi nasional menjadi monolit solidaritas yang padu. Pendukung pemerintah dan penentangnya bersatu dalam denyut tekad yang sama, membanjiri jalan-jalan Teheran, Qom, dan Mashhad dengan satu pesan: penolakan terhadap agresi. Keberanian Iran melampaui tapal batas; rudal-rudal balasannya yang menyibak cakrawala menjadi nyala harapan bagi Palestina di Gaza dan Tepi Barat yang terkepung. Di pelataran Al-Aqsa yang terluka, setiap ledakan di langit musuh dibaca sebagai piagam tanggung jawab kolektif umat Islam. Dunia Arab pun dipaksa merekonfigurasi prasangka sektariannya—dari Riyadh hingga Kairo, tersingkaplah fakta bahwa Syiah, yang kerap dikepung dengan pengkafiran, justru menjadi benteng aktif melawan kolonialisme Zionis.
Dalam pusaran inilah Ali Khamenei berdiri dengan tiga dimensi otoritas yang saling menjalin. Pertama, sebagai Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Iran, ia memegang mandat konstitusional berdasarkan Pasal 5 dan 107 UUD Iran. Kekuasaannya mencakup komando militer, kendali kebijakan strategis, dan pengawasan triad pemerintahan—mengikat setiap warga Iran lintas agama dan mazhab. Kedua, sebagai Marja' Taqlid, ia adalah otoritas keagamaan tertinggi bagi separuh umat Syiah global. Fatwanya dalam ibadah dan muamalat menjadi kompas hidup bagi mukallid di lebih dari 40 negara, melampaui batas kewarganegaraan. Ketiga, sebagai Wali Faqih, ia menyandang otoritas spiritual transnasional berbasis doktrin wilayat al-faqih—perekat iman bagi 600 juta Muslim Syiah sedunia, terlepas dari ikatan kenegaraan.
Sakralitas posisinya terletak pada kemampuan menyatukan dimensi duniawi dan spiritual. Seorang nelayan Syiah di pesisir India tak tunduk pada wewenang politiknya sebagai Rahbar, tetapi sebagai Wali Faqih, otoritas Khamenei meresap dalam kesadaran kolektif komunitasnya yang mungkin lebih kuat dari ororitas keagamaan Paus. Inilah yang membuat ancaman terhadapnya melampaui kalkulasi geopolitik biasa.
Di bawah langit Qom yang hening, di tengah aroma buku-buku kuno dan bisik doa, Ali Khamenei muda menapaki jalan keilmuan yang kelak mengubah sejarah. Dari ruang kelas seminari hingga medan tempur berdebu Perang Teluk, dari penjara SAVAK yang pengap hingga puncak kekuasaan sebagai Rahbar, perjalanan karirnya adalah kisah epik tentang seorang ulama, pejuang, dan arsitek geopolitik yang merajut keimanan, perlawanan, dan visi dalam satu tenunan abadi. Dalam setiap langkahnya, ia membuktikan bahwa kekuatan sejati lahir dari kemampuan menyatukan dimensi-dimensi yang tampak bertentangan, mengubah Iran menjadi benteng perlawanan yang mengguncang dunia.
Di usia muda, Ali Khamenei tenggelam dalam lautan ilmu di Qom dan Mashhad, belajar di bawah bimbingan raksasa seperti Ayatullah Borujerdi dan Ayatullah Milani. Fiqh, ushul al-fiqh, dan filsafat Ishraqi ia serap dengan kecerdasan yang luar biasa, meraih gelar ijtihad di usia 28 tahun pada 1963—prestasi yang menandakan ketajaman intelektualnya.
Ketika Revolusi Iran 1979 mengguncang dunia, Khamenei muncul sebagai arsitek tatanan baru. Sebagai Wakil Menteri Pertahanan pertama, ia membangun Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) dari nol, menjadikannya tulang punggung kekuatan militer Iran. Di Dewan Revolusi, ia merancang dekrit yang mencabut akar monarki, sembari mengoordinasikan operasi militer sebagai Ketua Dewan Keamanan Nasional saat invasi Irak mengguncang negeri pada 1980. Di tengah kobaran Perang Teluk, bom yang merenggut nyawa Presiden Rajai pada 1981 membawanya ke kursi kepresidenan. Selama delapan tahun, ia memimpin Iran melalui badai: merestrukturisasi ekonomi di bawah tekanan embargo Barat, meluncurkan program rudal balistik Shahab, dan menyatukan ulama tradisional dengan garda revolusioner melalui Partai Republik Islam. Kepemimpinannya adalah kisah ketahanan, menjaga nyala revolusi di tengah ancaman dari dalam dan luar.
Pada 8 Juni 1989, ketika Imam Khomeini wafat, Dewan Ahli memilih Khamenei sebagai Rahbar, Pemimpin Tertinggi Iran. Dari puncak kekuasaan ini, ia mengukir visi geopolitik yang mengubah Timur Tengah. Ia merancang doktrin “Strategi Kedalaman,” membangun jaringan koalisi "Poros Perlawanan" yang kokoh.
Paralel dengan peran politiknya, otoritas keagamaan Khamenei tumbuh secara organik. Pasca wafatnya Ayatullah Ali Araki, ia diakui sebagai Marja’ Taqlid global, memimpin jutaan umat Syiah dengan fatwa-fatwa kontemporer dalam Ajwibat al-Istifta’at.
Di balik jubah kebesarannya, tersembunyi jiwa sastrawan: ia menerjemahkan karya Sayyid Qutb dan Muhammad Iqbal ke dalam bahasa Persia, dan menulis puisi mistis dengan nama samaran “Amin” dalam antologi Dar Hadiqeh-ye Ahl-e Bayt. Karya-karyanya adalah cerminan jiwa yang merangkul keimanan dan kepekaan seni di tengah tugas berat memimpin bangsa.
Kehidupan Ali Khamenei adalah mozaik yang menakjubkan. Ia adalah teoretikus fiqh yang pernah memimpin perang gerilya kota, penyair sufi yang mengawasi pengembangan rudal hipersonik, dan kritikus kapitalisme global yang mengutip Hegel dalam pidato kenegaraan. Dari sel penjara SAVAK yang lembap hingga ruang komando nuklir Fordow yang steril, dari mimbar hauzah di Mashhad hingga meja diplomasi dengan Putin dan Xi, setiap fase hidupnya mencerminkan kemampuan luar biasa untuk menyatukan dimensi yang tampak bertentangan. Empat puluh delapan tahun mengajar ilmu agama level tinggi, delapan tahun memimpin negara di tengah perang, dan tiga puluh lima tahun membangun poros perlawanan global bukan sekadar rentang waktu, melainkan bukti visi yang mengubah peta geopolitik abad ke-21.
Di tengah serangan Israel yang mengguncang Iran, peran Khamenei sebagai Rahbar dan Marja’ Taqlid menjadi sorotan. Serangan itu mempersatukan rakyat Iran, dari pendukung hingga penentang pemerintah, dalam tekad melawan agresi. Balasan Iran, dengan drone dan rudal yang menghantam target strategis, membangkitkan semangat rakyat Palestina dan menyadarkan dunia Arab bahwa Syiah adalah perisai umat Islam.
Ali Khamenei adalah legenda hidup, anak kandung revolusi yang menjadi bapak geopolitik resistensi. Dari ruang kelas Qom hingga medan diplomasi global, ia telah membuktikan bahwa kekuatan sejati lahir dari perpaduan iman, ilmu, dan perjuangan. Di tengah badai geopolitik, ia berdiri sebagai mercusuar, memimpin Iran dan umatnya dengan visi yang tak pernah goyah: keadilan adalah darah perlawanan yang tak pernah kering, dan dari tanah suci Karbala hingga jantung Teheran, nyala itu akan terus membakar.
Wibawa Khamenei terletak pada kemampuannya menjalankan ketiga peran sekaligus: negarawan yang mengendalikan arsenal militer mutakhir, pakar multi-ilmu agama yang menguasai kompleksitas syariat dan filsafat, sekaligus katalisator spiritual yang menghubungkan warisan Karbala dengan realitas kekinian. Serangan Israel mungkin memicu persatuan nasional Iran dan membakar semangat perlawanan Palestina. Namun ancaman terhadapnya sebagai Wali Faqih membangkitkan kekuatan umat yang telah lama menanti—sebuah energi kolektif yang tak terpetakan dalam algoritma perang modern.
Namun, menargetkan Khamenei akan memicu kemarahan 600 juta umat Syiah di seluruh dunia. Sebagai Wali Faqih, ia bukan hanya pemimpin Iran, tetapi simbol otoritas spiritual yang melampaui batas negara. Serangan terhadapnya akan membangunkan gelombang perlawanan global, dari milisi Kataib Hezbollah di Irak hingga Hizbullah di Lebanon, dari Houthi di Yaman hingga doa-doa di masjid-masjid Qom dan Najaf. Umat Syiah, baik yang bertaqlid kepadanya maupun yang menghormatinya sebagai Wali Faqih, akan bangkit dengan semangat yang tak terbendung. Di dataran Irak, kelompok seperti Kataib Hezbollah mengintensifkan serangan secara mandiri. Di perbukitan Lebanon, rudal-rudal Hizbullah beroperasi melampaui skala konflik sebelumnya. Di pesisir Yaman, blokade Ansarallah di Laut Merah menjangkau selat-selat vital ekonomi global. Sementara diaspora Syiah di seluruh dunia memobilisasi tekanan politik melalui kanal non-negara.
Di antara puing Gaza dan lorong-lorong Tehran, bergema sebuah kesadaran: selama trinitas otoritas ini berdiri, perlawanan bukanlah taktik semata, melainkan nafas eksistensial suatu peradaban. Di tangan Sang Wali Faqih, otoritas keagamaan menjelma strategi geopolitik, kearifan kitab suci menyatu dengan taktik militer, dan spiritualitas abadi mengalir dalam setiap rudal balasan. Inilah prinsip yang terbukti sepanjang sejarah: ketika kedaulatan politik bersenyawa dengan otoritas keagamaan, lahir ketegaran yang mampu menggeser poros zaman.
Sumber:
https://web.facebook.com/share/p/1F3szCc4WT/