Dari Abu Laila al-Ghifari dari Nabi Saw yang bersabda, “Sepeninggalku akan ada fitnah. Jika itu terjadi, maka berpeganglah kepada Ali, karena dialah al-Faruq antara kebenaran dan kebatilan"

Senin, 07 Juli 2025

Sejarah Peperangan Antara Arab vs Israel, Arab Selalu Kalah!


Perang tahun 1948 Arab kalah! Perang tahun 1956 Arab kalah! Perang tahun 1967 Arab kalah total! Perang tahun 1973 (berlangsung 20 hari) Arab juga kalah.

Pertanyaan kita: Pernahkah negara-negara Arab menang lawan Israel? Tidak pernah!

Menariknya, justru Israel harus mengakhiri ambisi hegomoni-nya dan mundur tanpa capaian strategis apapun saat melawan milisi Hisbullah di Lebanon yang didukung Iran (1982, 2000, 2006)!

Kita ke Gaza: Hampir 2 tahun Israel memborbardir Gaza, puluhan ribu rakyat tak berdosa jadi korban, infrastruktur luluh lantak, rakyat dilaparkan, diblokade total: Tak ada satupun tujuan strategis dajjal terkutuk itu yang tercapai:
1. Musnahkan Hamas, gagal.
2. Bebaskan sandera, gagal.
3. Kuasai Gaza, juga gagal.

Dan Hamas, dkk itu hanya MILISI yang dilatih, dibiayai dan dibesarkan IRAN!

Definisi kemenangan dalam perang: tujuan strategis, politik, hukum dan ekonomi dicapai - tak masalah berapapun korban manusia harus mati (Uni Sovyet kehilangan 28 juta perajurit dan rakyatnya dalam perang dunia kedua melawan Nazi Jerman dibanding hanya 4 juta dari pihak Jerman) tapi akhir perang itu dimenangkan Uni Sovyet!

Israel dan AS menyerang Iran selama 12 hari dengan tujuan strategis mereka:
1. Hancurkan situs nuklir Iran.
2. Musnahkan instalasi-instalasi militer strategis Iran (rudal, sistem pertahanan udara).
3. Menjatuhkan sistem Islami Wilayatul Faqih di Iran dan mendukung kelompok kelompok anti Wilayatul Faqih (Rahbar) untuk ambil alih kekuasaan.

Semua tujuan-tujuan dajjalisme Zionis itu gagal total! Sebaliknya setelah 12 hari perang secara sepihak mereka merengek-rengek minta gencatan senjata -
"Jika saja perang itu berlanjut dua minggu lagi, maka dipastikan Israel akan lumpuh sebagai negara" (Larry Johnson, analis milliter dan intelejen AS).

Jadi, pernahkah negara-negara Arab menang melawan Israel? Pernah! Tapi hanya dalam mimpi!

Masihkah ada orang-orang yang berharap, misalnya pada Al-Jolani (HTS) Suriah akan memerangi Israel dan membebaskan Al-Aqsa?

Israel Ekspor Konflik: Dari Gurun Suriah ke Warung Kopi Indonesia?



Israel itu seperti pedagang gelap yang jualan "bom waktu sektarian". Pasar utamanya? Timur Tengah. Tapi matanya kini juga melirik gerai baru, yakni Indonesia. "Devide et Impera" bukan cuma taktik kolonial Belanda tempo dulu—itu menu utama politik Israel. Mereka paham betul: negara multikultural Indonesia yang bersatu adalah mimpi buruk bagi agenda mereka. Sebaliknya, masyarakat yang sibuk bertikai soal SARA adalah ladang subur buat intervensi.

Senjata mereka canggih tapi licik. Di Suriah dan Lebanon, Israel pakai "jasa titip" konflik: dukung kelompok tertentu, dukung para Takfiri yang hobi kofar-kafirkan orang, bikin isu lokal jadi perang agama, lalu duduk manis sambil jual senjata ke semua pihak. Media jadi amplifier-nya, algoritma sosial media jadi distributornya.

Resep ini mau diekspor kemana? Tengoklah bagaimana isu Palestina tiba-tiba dibelokkan jadi debat Sunni-Syiah di grup WA kelas tarkam, atau bagaimana ujaran intoleran tiba-tiba viral persis saat tekanan global ke Israel memuncak. Di sini, di Indonesia, kok ya bisa-bisanya ada ormas sektarian Aliansi Anti Syiah yang entah bagaimana prosesnya bisa dapat izin dari pemerintah. Kemana perginya “Bhineka Tunggal Ika”?

Dulu, kita sering berkata, "Ah, Indonesia kan beda! Kita punya Pancasila!" Benar. Tapi Israel bukan main halus. Mereka tak perlu invasi militer. Cukup kirim 'konten sampah' sektarian lewat buzzer bayaran, biarin influencer gadungan sebar hoax, atau dukung kelompok yang gemar impor konflik Timur Tengah. Tujuannya satu: bikin kita sibuk berselisih internal, alih-alih fokus pada penjajahan Zionis di tanah Palestina. Seperti tukang sulap, mereka ingin kita terkagum-kagum pada ilusi "musuh sesama muslim", sembari mengabaikan penjajahan nyata.

Indonesia ini pasar empuk: populasi besar, gencar digital, tapi rentan hoax. Israel bisa pakai proxy. Bayangkan: dana dari NGO "pendamai" Timur Tengah tiba-tiba mengalir ke ormas Islam radikal lokal. Atau grup media "moderat" di Jakarta tiba-tiba gencar bangun narasi permusuhan atas nama solidaritas Palestina—padahal ujungnya memecah-belah Umat. Mirip jualan obat palsu, bungkusnya agama, isinya racun perpecahan, dan jangan salah, organisasi sektarian ini pada akhirnya akan menyasar semua kelompok, termasuk komunitas non Muslim.

Bahayanya? Konflik impor ini bakal jadi "cap cai" beracun. Isu Syiah-Sunni dari Suriah dicampur sentimen lokal, ditambah politik identitas, dikasih kuah hoax. Hasilnya? Kerukunan jadi korbannya. Mereka bisa terprovokasi jadi "tentara bayaran" perang proxy Timur Tengah—berkelahi sesama anak bangsa, sementara penjajah di Gaza tertawa lebar. Persatuan Indonesia diadu domba seperti kambing kurban.

Solusinya? Waspadai "dangdut politik" Israel. Setiap ada isu sektarian mendadak panas, tanya: Siapa yang nyetel lagunya? Setiap ada kelompok yang gemar impor konflik luar, kritisi: Dapat kiriman minyak goreng dari mana? Jangan sampai NKRI jadi panggung baru drama mereka. Solidaritas Palestina harus tetap murni: satu suara menentang penjajahan, bukan malah pecah belah karena provokasi siluman.

Kita punya senjata ampuh: Pancasila itu perisai, Bhinneka Tunggal Ika itu pedang. Jangan mau dijajah ulang oleh perpecahan gaya baru. Sebab Zionis paling takut pada satu hal: Umat Islam dan bangsa Indonesia yang bersatu padu. Mereka bisa adu domba Suriah, mereka bisa pecah-belah Lebanon—tapi di sini? Gunakan kebhinekaan kita sebagai benteng. Biar Israel gigit jari.